Radikalisme Sebagai Sebentuk Pembatalan Ibadah

Heru Harjo Hutomo
3 Min Read
"Penakna Lungguhmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014
"Penakna Lungguhmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014

Telas wulangira Dewa Ruci
Wrekudara wus tan kasamaran
Wruh arane ing dheweke
Engganing swara muluk
Tanpa elar anjajah bangkit
Wewengkon jagad raya
Angga wus kawengku
Pantes pinardikeng basa
Kadyanggane sekar maksih kudhup mingit
Mangkya mekar ambabar
—Serat Bimasonya

jfid – Dalam khazanah tasawuf dikenal adanya sebuah “pemerintahan” spiritual yang berkaitan pula dengan wilayah geografis. Barangkali, kita cukup familiar dengan istilah “Sultan” dalam khazanah tasawuf ataupun tarekat, semisal gelar “sulthanul auliya’” pada Syekh Abdul Qadir al-Jilani atau dedengkot-dedengkot sufi lainnya.
Sang sultan dalam dunia tarekat itu adalah semacam poros atau qutub yang konon yang menjaga ketertiban kosmis. Qutub itu dikelilingi oleh empat autad yang menguasai empat penjuru mata angin. Maka, seperti dalam tarekat Naqsyabandiyah ataupun Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, sang sultan atau sang qutub itu ada yang digelari sebagai sang khalifah, sebagaimana Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi yang melahirkan tiga khalifah-nya di Indonesia.
Usut punya usut, ternyata wali dan wilayah-nya tak semata hidup di dunia tasawuf, tapi juga hidup dalam agama Hindu dan Buddha. Taruhlah konsep mandala pada zaman Majapahit yang akhirnya bertransformasi menjadi dewan walisanga, keduanya sama-sama merujuk pada satu figur penguasa spiritual yang mendiami salah satu wilayah yang berada dalam 8 penjuru mata angin dan satu pusat.


Dengan demikian, pengertian khalifah dengan khilafah-nya ataupun wali dengan wilayah-nya tak memiliki makna yang tunggal. Barangkali, istilah “wali” bukanlah sebuah persoalan dalam lingkaran Nahdhliyin yang dapat menjadi masalah di lingkaran Muhammadiyah seumpamanya. Namun tidak dengan demikian dengan istilah “waliyul amri” dimana kedua-keduanya, baik Nahdhiyin maupun Muhammadiyah, dapat bersepakat.


Radikalisme, oleh karena itu, adalah sikap yang lebih mengutamakan sisi lahiriah segala sesuatu. Padahal, apa yang bersifat lahiriah senantiasa dibatasi oleh konteks. Konsep khalifah dan khilafah, yang dari sisi sejarah dan spiritualnya bukanlah suatu hal yang semestinya terlahirkan, yang bahkan menjadi sistem politik, adalah ibarat wali beserta wilayah-nya yang telah batal dan karena itu menjadi gugurlah kewaliannya.


Sampai di sini, barangkali orang bertanya, kenapa dalam spiritualitas Islam mesti terdapat konsep khalifah ataupun wali. Spiritualitas Islam terkenal dengan prinsip dan ajaran keseimbangannya dimana sang khalifah itulah yang menjadi penentu. Sebagaimana dalam konsep spiritualitas Jawa tentang sedulur papat lima pancer, dimana keseimbangan hidup seorang manusia ditentukan oleh keselarasan empat anasir dan satu pusat itu. Maka dari itu, tepatlah ketika dikatakan bahwa jihad terakbar adalah justru upaya untuk menyeimbangkan keadaan diri sendiri—dengan asumsi ketika masing-masing orang mampu menjadi khalifah bagi dirinya sendiri, maka tanpa adanya upaya-upaya penyeragaman dan pemaksaan tercapailah apa yang dikenal sebagai “hayuning bawana.” Radikalisme, dengan doktrin khilafah dan jihad-nya, oleh karena itu, adalah ibarat kebatalan sebuah ibadah.

Tentang Penulis: Heru Harjo Hutomo: penulis, perupa dan pemusik, pemerhati radikalisme dan terorisme.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article