Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
No Result
View All Result
Kirimkan
Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
Kirimkan
  • Login
  • Register
New & Opini
Home Opini

Radikalisme, Konsep dan Transformasi Diri dalam Tasawuf

by Heru Harjo Hutomo
4 bulan ago
in Opini
Reading Time: 6min read
0
"Ndologog," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

"Ndologog," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

Share on FacebookShare on Twitter

jfID – Sebagaimana banyak kearifan lokal yang dapat dijumpai di Nusantara, pada dasarnya tasawuf atau sufisme adalah sebentuk “ngelmu kamanungsan” atau ilmu humaniora yang bercorak transendental. “Ngelmu” di sini tak semata berarti ilmu yang beralaskan “logos” atau proposisi sebagaimana yang dipahami oleh peradaban Barat-modern (Gabah Den Interi: Antara yang Sampah dan yang Bertuah, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Serat Wedhatama mencandra “ngelmu” ini sebagai sesuatu yang bersifat eksperiental.

Ngelmu iku

Kalakone kanthi laku

Lekase lawan kas

Tegese kas nyantosani

BACAJUGA

Menguak Struktur Jaringan Radikalisme dan Terorisme Kontemporer di Indonesia

The Nun: Ketika Kebejatan Berbalut Kesucian

Mengakrabkan Diskursus Kontra Radikalisme-Terorisme Pada Anak-anak

Sebatas Kata Cinta dari Sang Sufi

Setyabudya pangekese dur angkara

Pernyataan seseorang yang belum pernah mencicipi kekecutan buah jeruk akan berstatus batal dan merupakan sebuah kebohongan ketika panjang-lebar pun ia berupaya menjelaskan kekecutan buah jeruk. Pada tahap inilah pada dasarnya jalan analogi dalam teologi klasik berstatus lebih rendah daripada jalan negasi dan penyucian diri (purgativa).

Tasawuf atau sufisme sebagai sebentuk spiritualitas yang berbingkai agama Islam tak pelak lagi merupakan disiplin ilmu yang tak semata bersifat empiris dan rasional. Ia lebih bersifat eksperiental sesuai dengan kategori “ngelmu” dalam Serat Wedhatama di atas. Ada yang memang tak dapat menerima eksistensi bidang yang lebih mengurusi post-software (habitus) manusia ini.

Di sepanjang sejarah beberapa kali tasawuf mengalami berbagai penolakan dari otoritas keagamaan yang juga berkelindan dengan otoritas politik tertentu. Sampai suatu ketika sang hujjatul Islam, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Syafi’i, berupaya mendamaikan kedua kecenderungan dalam beragama: kalangan dhahiriyah dan batiniyah. Upaya ini pun tak semulus seperti yang dibayangkan. Masih saja tersisa kalangan yang secara syar’i menampik keabsahan tasawuf. Pernah para kalangan modernis dan puritan menghakiminya sebagai sebentuk bid’ah dan sumber kemerosotan peradaban Islam (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, Heru Harjo Hutomo, 2011). Padahal pada masa itu justru tasawuf, dalam penilaian saya, pernah menjadi sumber kebesaran kebudayaan Islam. Tak jarang ilmu pengetahuan dan seni lahir dari rahim para sufi.       

Pada esai ini saya akan menunjukkan sisi praktis dari disiplin ilmu tasawuf dalam kaitannya dengan radikalisme dan terorisme. Pada konsep diri dalam diskursus tasawuf ada beberapa kategori sekaligus transformasinya yang dapat dijadikan pegangan dalam pemetaan diri, radikalisasi dan deradikalisasi manusia.

Ada beberapa rujukan di al-Qur’an yang menjadi dasar dari konsep dan karakteristik diri sebagaimana yang digarap oleh disiplin ilmu tasawuf (Kanan Terantuk, Kiri Terketuk, dan Paradigma Kehidupan Baru, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Yang pertama adalah diri “ammarah” (12: 53) yang memiliki karakteristik “ngocokan” (“Masturbasi Antiklimaks” FPI, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id). Diri orang-orang yang radikal tepat berada pada level ini dengan karakteristiknya yang khas selalu berpegang pada kebenaran sendiri dan menafikan kebenaran lainnya. Atau dengan kata lain, mereka cenderung enggan untuk berbagi ruang atau senantiasa menampik keberagaman.

Diri ammarah dapat pula, ketika ditransformasikan, berubah menjadi diri yang kedua, “lawwamah” (75:2), yang memiliki karakteristik “wis wani wirang” yang suka mencela dirinya sendiri. Para teroris, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari orang-orang yang radikal, tepat berada pada level ini dimana kegamblangannya yang ekstrim adalah kentara pada aksi bom bunuh diri.

Pada transformasi diri yang ketiga, diri lawwamah ini akan akan menjadi diri “muthmainah” yang dijanjikan oleh al-Qur’an akan kembali dengan riang gembira, ridha dan diridhaiNya (89:27-28). Pada tahap ini diri lawwamah akan mengalami sebentuk deradikalisasi yang memiliki karakteristik “utun,” selalu berhati-hati, tenang, enggan untuk durhaka, selalu berkecenderungan untuk baik dan berbuat kebajikan.

Cukupkah transformasi diri ini berhenti pada diri muthmainah belaka? Al-Ghazali sebenarnya masih memerinci kembali diri-diri lainnya pasca muthmainah, tapi untuk keperluan pemetaan diri, radikalisasi sekaligus deradikalisasinya, cukuplah saya kira tiga diri tersebut yang menjadi pegangan.  

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

ShareTweetSendShare

Related Posts

Artidjo Alkostar, (antara foto)

Artidjo Alkostar Kyai Hakiki, bukan Asesori

17 jam ago
Rusdianto Samawa, Tinjau Lokasi pembibitan benih bening Lobster

KKP Belum Memberi Perlindungan untuk Nelayan Lobster

5 hari ago
Foto: kompas.com/Nansianus Taris

Bagaimana Jokowi Bisa Ditahan?

6 hari ago
Deklarasi Pemuda dan Mahasiswa untuk kabupaten kepulauan Sumenep pada tahun 2016

Menunggu Sumenep dalam Pertanyaan?

1 minggu ago
Ilustrasi: Derrida dalam sampul buku Muhommad Al Hayad

Orang yang Masuk Surga Pertama adalah Perokok

2 minggu ago
Baju punggawa Bajau dalam perang mempertahankan Sulawesi dari Belanda

Pulau Sulawesi Sebagai Asal Usul Pertama Orang Bajau

2 minggu ago
Load More
Next Post
Ketua DPRD Sumenep, Ingatkan Masyarakat Untuk Tidak Lengah Hadapi Covid

Ketua DPRD Sumenep, Minta Anggota Dewan yang Ikut Kampanye untuk Ambil Cuti

Discussion about this post

POPULER

  • Baca
  • Opini
  • Berita
Berita

Penghormatan Terakhir Pemkab Sumenep pada Soengkono Sidik dan Novi Sujatmiko

04/03/2021
Afan Afandi, kepala desa Lenteng Barat kecamatan Lenteng
Profil

Keberhasilan Afan Afandi, Pimpin Desa Lenteng Barat dengan Heroik

04/03/2021
Foto kiri, Soengkono Sidik, ketua DPC Demokrat Sumenep dan Novi Sujatmiko, Dirut BPRS Bhakti Sumekar
Berita

Dua Orang Penting di Kabupaten Sumenep, Meninggal di Hari yang Sama

03/03/2021
Soengkono Sidik ketua DPC Sumenep bersama AHY ketua umum DPP Partai Demokrat
Berita

Demokrat Sumenep Berduka, Ketua DPC, Soengkono Sidik Tutup Usia

03/03/2021
Jurnal Faktual

© 2020

Informasi

  • Pedoman
  • Redaksi
  • Periklanan
  • Privacy Policy
  • Tentang
  • Rilis Berita
  • Saran Translate

Terhubung

No Result
View All Result
  • Opini
  • News
    • Birokrasi
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Wisata
    • Profil
    • Polling
  • Kirim Tulisan
  • Login
  • Sign Up

© 2020

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.