Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
No Result
View All Result
Kirimkan
Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
Kirimkan
  • Login
  • Register
New & Opini
Home Fokus

Politik Rantai Emas

by Heru Harjo Hutomo
7 bulan ago
in Fokus, Opini
Reading Time: 5min read
0
"Semar Tan Semar," 60x100 cm, kapur di atas papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)

"Semar Tan Semar," 60x100 cm, kapur di atas papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)

Share on FacebookShare on Twitter

jfID – Dalam kebudayaan Jawa tradisional waktu tak dipahami secara linear dan progresif, tapi sirkular dan repetitif (Berlalu di Zaman [yang Tak Benar-Benar] Baru, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Salah satu parabel tentang waktu yang sirkular dan repetitif ini adalah roman tentang Raden Panji Inukertapati dan Galuh Sekartaji. Semasa saya masih kanak sering diperdengarkan berbagai dongeng yang di akhir cerita selalu saja adalah kisah asmara antara Raden Panji Inukertapati dan Galuh Sekartaji: Ande-Ande Lumut atau Klenthing Kuning, Jaka Kendhil, dan kisah di balik seni reyog Ponorogo versi Bantarangin yang merupakan lambang pernikahan antara Prabu Klana Sewandana (Bantarangin) dan Dewi Sanggalangit (Kediri). Belum lagi berbagai varian cerita yang melahirkan seni tari topeng Malangan dan Cirebonan dimana kesemuannya, ketika terkait dengan asmara, secara struktural selalu mengacu pada kisah babon Raden Panji Inukertapati dan Galuh Sekartaji.

Secara historis-politis, ada pendapat yang menyatakan bahwa semua kisah di atas berkaitan dengan kisah penyatuan kerajaan Jenggala dan Kediri yang merupakan warisan Prabu Airlangga di Kahuripan. Tapi boleh jadi, kisah asmara antara Raden Panji Inukertapati dan Galuh Sekartaji hanyalah sebuah tilaran dari kisah penyatuan antara Rakai Pikatan yang Hindu (wangsa Sanjaya) dan Pramowardhani putri Samaratungga yang Buddha (wangsa Sailendra) pada masa kerajaan Mataram purba. Ki Martopangrawit (1975), seorang empu karawitan di Surakarta, pernah berpendapat bahwa tangga nada slendro merupakan warisan dari wangsa Sanjaya, sementara tangga nada pelog merupakan warisan wangsa Sailendra. Dalam romannya Arok-Dedes (Lenyapnya Sisi Politis Reyog, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com), Pramoedya Ananta Toer pernah mencatat bahwa kesenian reyog Ponorogo, di lihat dari segi musikalitasnya, merupakan perpaduan antara dua tangga nada tersebut, instrumen slompret yang melog dan instrumen lainnya yang nylendro. Dengan demikian, kesenian reyog Ponorogo, secara historis-politis, juga merupakan lambang penyatuan (baca: pernikahan) antara wangsa Sanjaya dan wangsa Sailendra di masa Mataram purba.

Saya kira kisah-kisah roman semacam itu tak sekedar kisah biasa yang berkaitan dengan perdamaian atau penyatuan dua unsur yang semulanya bertentangan. Kisah-kisah itu hanyalah sebuah pasemon tentang pendekatan politik Jawa tradisional, dimana pada masa Panembahan Senapati, raja pertama Mataram Islam, dikenal sebagai politik “rante emas” (rantai emas). Ki Ageng Mangir Wanabaya dan Pambayun merupakan kisah dari politik rantai emas ini yang untuk selanjutnya juga diambil oleh Pangeran Mangkubumi (HB I) dalam usahanya untuk menakhlukkan Pangeran Sambernyawa—meskipun pada akhirnya pendiri Pura Mangkunegaran itu mengembalikan putri HB I dan melanjutkan pemberontakannya. Dalam khasanah budaya Jawa pedesaan, yang barangkali terbit dari pihak yang tak menyukai pendekatan politik rantai emas, dikenal istilah “tundhuk turuk” yang merujuk pada pudarnya mental revolusioner sang pemimpin pemberontakan karena diberi wanita, dimana istilah “turuk” mengacu pada alat vitalnya.

Tentu, kisah penyatuan ataupun perdamaian dengan lambang pernikahan antara pria dan wanita tak semata kisah yang berkonotasi negatif. Seperti yang tampak pada kisah Rakai Pikatan dan Pramodawardhani yang pada akhirnya dapat menguntai kebhinekaan, mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda menjadi satu kekuatan kreatif baru. Dalam konteks Mataram purba adalah agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha.

Tapi tak pula politik rantai emas itu menyelesaikan persoalan. Ketika atas nama perdamaian, keadilan dan kesetaraan masih dikangkangi, maka hal itu hanyalah perdamaian semu (Sepatu, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com) yang menyisakan bara di dada Pangeran Sambernyawa yang telah kehilangan ayah karena difitnah. Ia pun memilih untuk tak “tundhuk turuk” dan terus memberontak sampai mendapatkan keadilan dan kesetaraan dengan mendapatkan Pura Mangkunegaran dan kedudukan seorang Adipati. Ketika keadilan dan kesetaraan itu ada, maka barulah perdamaian dan kebersamaan dapat diwujudkan.  

BACAJUGA

No Content Available

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

ShareTweetSendShare

Related Posts

Artidjo Alkostar, (antara foto)

Artidjo Alkostar Kyai Hakiki, bukan Asesori

20 jam ago
Rusdianto Samawa, Tinjau Lokasi pembibitan benih bening Lobster

KKP Belum Memberi Perlindungan untuk Nelayan Lobster

5 hari ago
Foto: kompas.com/Nansianus Taris

Bagaimana Jokowi Bisa Ditahan?

6 hari ago
Deklarasi Pemuda dan Mahasiswa untuk kabupaten kepulauan Sumenep pada tahun 2016

Menunggu Sumenep dalam Pertanyaan?

1 minggu ago
Ilustrasi: Derrida dalam sampul buku Muhommad Al Hayad

Orang yang Masuk Surga Pertama adalah Perokok

2 minggu ago
Baju punggawa Bajau dalam perang mempertahankan Sulawesi dari Belanda

Pulau Sulawesi Sebagai Asal Usul Pertama Orang Bajau

2 minggu ago
Load More
Next Post

Solat Idul Adha Besok, Ra Latif Minta Masyarakat Bangkalan Tetap Ikuti Protokol Kesehatan

Discussion about this post

POPULER

  • Baca
  • Opini
  • Berita
Berita

Penghormatan Terakhir Pemkab Sumenep pada Soengkono Sidik dan Novi Sujatmiko

04/03/2021
Afan Afandi, kepala desa Lenteng Barat kecamatan Lenteng
Profil

Keberhasilan Afan Afandi, Pimpin Desa Lenteng Barat dengan Heroik

04/03/2021
Foto kiri, Soengkono Sidik, ketua DPC Demokrat Sumenep dan Novi Sujatmiko, Dirut BPRS Bhakti Sumekar
Berita

Dua Orang Penting di Kabupaten Sumenep, Meninggal di Hari yang Sama

03/03/2021
Soengkono Sidik ketua DPC Sumenep bersama AHY ketua umum DPP Partai Demokrat
Berita

Demokrat Sumenep Berduka, Ketua DPC, Soengkono Sidik Tutup Usia

03/03/2021
Jurnal Faktual

© 2020

Informasi

  • Pedoman
  • Redaksi
  • Periklanan
  • Privacy Policy
  • Tentang
  • Rilis Berita
  • Saran Translate

Terhubung

No Result
View All Result
  • Opini
  • News
    • Birokrasi
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Wisata
    • Profil
    • Polling
  • Kirim Tulisan
  • Login
  • Sign Up

© 2020

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.