Politik Islam Kebangsaan vs. Politik Nasionalisme: Menakar Rivalitas Antara Khofifah dan Risma

Heru Harjo Hutomo
8 Min Read

jfId – Pandemi corona yang terjadi hari ini tak urung menyingkapkan hal-hal yang selama ini tak pernah mencuat ke permukaan. Setidaknya, untuk publik Jawa Timur, terenduslah rivalitas antara Khofifah selaku gubernur Jawa Timur dan Risma selaku wali kota Surabaya. Tentu, berbicara tentang kedua pemimpin di Jawa Timur itu tak dapat dilepaskan dari latar-belakang keduanya: Khofifah yang nahdliyin dan Risma yang nasionalis.

Pada aras ideologi, saya kira sebenarnya rivalitas antara politik Islam kebangsaan yang selama ini lekat dengan citra diri Khofifah dan politik nasionalisme yang lekat dengan citra diri Risma tak semata rivalitas pribadi kedua orang itu. Tapi juga rivalitas laten antara NU, di mana Khofifah berasal, dan PDI Perjuangan, di mana Risma berumah. Saya mengatakan rivalitas pada tataran ideologis karena keduanya memang memiliki sumber yang berbeda terkait dengan ide besar nasionalisme dan ketika konteks pragmatisme menuntut adanya rivalitas, maka terjadilah ketegangan di mana yang satu tak akan tunduk pada yang lain.

PDI Perjuangan memang sama sekali tak membutuhkan sumber agama bagi kelangsungan paham mereka tentang kebangsaan dan turunannya. Seandainya Bung Karno pernah menyitir atau membawa-bawa agama dalam rumusannya tentang kebangsaan adalah karena faktor pragmatis-strategis belaka. Berbeda dengan KH. Hasyim Asy’ari yang kala itu tak sekedar seorang pemimpin masyarakat tapi juga seorang pemimpin agama, untuk merumuskan paham kebangsaan dan sikap-sikap turunannya seperti prinsip bela negara, mesti menggali dari sumber agama untuk kemudian mengkontekstualisasikannya dengan realitas yang saat itu melingkupinya (Pancasila Dalam Perspektif Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Dengan demikian, pada dasarnya, daripada PDI Perjuangan, secara modal politik NU lebih memiliki keuntungan karena tak sekedar berbasis kalangan religius yang ingin terbuka terhadap perkembangan zaman tapi juga kalangan sekular yang bagaimana pun membutuhkan sandaran agama dalam dinamika kehidupannya, apa lagi di tangan Gus Dur, paham kebangsaan nahdliyin itu merambah pula kalangan non-muslim. Maka paham kebangsaan yang NU lahirkan sebenarnya merupakan sintesis dan karena itu lebih dapat mengakomodir kemajemukan. Sementara PDI Perjuangan, karena sebuah partai politik, rumusan paham dan sikapnya senantiasa akan dibatasi oleh kepentingan pragmatis belaka. Seandainya NU mampu melahirkan negarawan sekaligus politisi, maka PDI Perjuangan selama ini hanya mampu melahirkan sekedar politisi yang tentu saja tak akan pernah memedulikan aspek kemaslahatan maupun moralitas.

Kekuatan Orang-orang Perjuangan

Ketika dalam beberapa tahun terakhir agama turut menghiasi kontestasi politik di Indonesia—mulai dari pilkada Jakarta 2017 hingga pilpres 2019—orang-orang perjuangan akan lebih memilih berafiliasi dengan golongan Islam modernis yang komposisinya tak sebesar nahdliyin di Jawa Timur. Alasan seperti ini pragmatis saja, mereka memang secara ideologis tak pernah mendasarkan diri pada agama sebagai suluh berpolitik dan bermasyarakat. Pilihan pada Muhammadiyah, yang cenderung tak ribet secara ritus dan lebih berorientasi pada dunia sebagai ladang akhirat memungkinkan orang-orang perjuangan tak membutuhkan budaya ewuh-pakewuh dan feodalisme—untuk tak menyebutnya adab. Tapi seandainya pilihan tersebut yang diambil, orang-orang perjuangan harus pula mempertimbangkan standar moral kalangan Muhammadiyah yang notabene tinggi. Apalagi di hari ini ketika aspirasi keislaman masih dominan dalam percaturan politik di Indonesia (Perspektif Moral Dalam Politik, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Ekspresi orang-orang perjuangan yang terkenal egalitarian dan lugascenderung tak disukai oleh kalangan nahdliyin, khususnya di luar Surabaya yang masih menjunjung tinggi adab. Bagaimana pun adab dan citra diri yang positif masih menjadi hal yang utama di kalangan nahdliyin Jawa Timur. Egalitarianisme orang-orang perjuangan memang bertepuk dengan semangat pembaharuan kalangan Muhammadiyah yang tak menyukai taklid dan feodalisme yang, bagaimana pun, memang menjadi bagian atau kekhasan kultur kalangan nahdliyin.

Tantangan lain orang-orang perjuangan adalah karakter lugas yang sewaktu-waktu, ketika terpaksa harus berkongsi dengan kalangan Muhammadiyah atau yang sejenis, akan memiliki pola yang sama dengan penganut Islam radikal. Karena, sesuai dengan sebuah adagium, ketika orang berada pada satu titik ekstrim, maka ia akan bertemu dengan titik ekstrim yang lain (Corona dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://harakatuna.com).

Tapi ada satu kemungkinan bahwa orang-orang perjuangan tetap akan berkongsi dengan kalangan Muhammdiyah varian lainnya. Saya menyebut varian ini sebagai varian Muhammadiyah pragmatis atau Muhammadiyah abangan—di mana kemuhammadiyahan mereka berbanding terbalik dengan kehidupan kesehariannya—dengan resiko, mereka mesti mampu menyingkirkan kalangan Muhammadiyah ideologis yang tak abangan dan memiliki standar moral yang tinggi.

Hanya akan ada dua kemungkinan seandainya orang-orang perjuangan yang menang: pada tataran agama mereka akan melahirkan kultur keagamaan yang cenderung puritan dan radikal, atau justru sebaliknya, kultur yang terlalu bebas karena sejak sebermulanya memang tak pernah menjadikan agama sebagai suluh berpolitik dan bermasyarakat. Dan jelas, dua kemungkinan ini telah dan akan tetap menjadi seteru aspirasi kalangan nahdliyin yang merupakan mayoritas di Jawa Timur.

Kekuatan Islam Kebangsaan

Secara ideologis kalangan nahdliyin memiliki sumber sendiri atas nasionalisme mereka. Untuk menyebut beberapa di antaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan Gus Dur. Mereka semua adalah para pemikir yang meletakkan dasar politik kebangsaan kalangan nahdliyin (Hikayat Kebohongan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Ini semua, pada tataran ideologis, menjadi kelebihan kalangan nahdliyin selama ini ketika mesti bersinggungan dengan realitas Indonesia yang majemuk. Lebih daripada itu, semangat kemandirian yang diwariskan oleh Gus Dur khususnya, akan menjadi modal tersendiri ketika selama ini NU telah berbenah dan akan senantiasa berbenah: pendirian lembaga-lembaga pendidikan sampai pada tingkat tinggi, rumah sakit, pelayanan sosial, media, lembaga advokasi, penerbitan, riset dan intelektualitas, dst., yang seandainya disandingkan dengan kalangan perjuangan tak sebanding. Tentu, ukuran utamanya bukanlah pada hasil kongkritnya, tapi pada semangat yang sudah teruji dan terbukti, selain bahwa NU adalah ormas keagamaan sementara PDI Perjuangan adalah organisasi politik. Standar moral kalangan nahdliyin yang moderat pun juga menjadi salah satu kelebihannya. Moderatisme ini setidaknya akan mencegah sebuah kultur jatuh pada titik ekstrim sebagaimana yang mungkin terjadi pada kultur orang-orang perjuangan: radikal atau justru sebaliknya liberal.

Satu lagi kelebihan nahdliyin adalah pada paham serta sikap kenusantaraan yang selama ini dikedepankan tanpa harus kehilangan watak kosmopolitannya. Ekspresi-ekspresi lokalitas diberi ruang atau bahkan dapat diakomodir sebagai salah satu warisan yang patut dilestarikan. Pemberian ruang ini sudah diteladankan oleh Gus Dur pada pengakuan dan kesediaannya mengakui saudara pada kalangan kapitayan (Matahari dan Rembulan Kemanusiaan, Heru Harjo Hutomo, Majalah Adiluhung Edisi 15).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article