Pil Koplo Demokrasi

Citra Dara Trisna
10 Min Read
Sampul Majalah Faktual Edisi Politik (Desain Gambar: Galaksi.id)
Sampul Majalah Faktual Edisi Politik (Desain Gambar: Galaksi.id)

jfid – Konon, debat adalah salah satu jalan untuk demonstrasi pikiran, kesadaran dan akal sehat. Tapi bagi saya, di era demokrasi ini, debat adalah pil koplo penghilang kewarasan. Karena, konon, hanya orang gila yang tidak sakit hati; tidak butuh marah lantaran ditelanjangi dan tidak dianggap konstituen yang wajib diperjuangkan. Memang inilah yang menarik, karena demokrasi  Indonesia tidak lebih dari jalan tiada ujung yang penuh kenang sejarah pemerkosaan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya.

Saya pikir di musim sakit jiwa massal ini, KPU mengambil langkah cerdas untuk menyelenggarakan debat capres guna membuat rakyat Indonesia merasa punya harapan dan berduyun-duyun mencoblos di TPS. Karena, irasional kehidupan politik di Indonesia perlu ditutupi dengan jalan demonstrasi akal sehat. Dan mungkin, debat adalah satu-satunya jalan agar masing-masing capres terlihat waras dengan beraneka visi-misi serta  kecakapan berdiplomasi.

Meski demikian, bukan berarti debat—yang dianggap sebagai ajang perang akal sehat—tidak punya celah untuk menunjukkan sisi gelap inkonsistensi kebenaran dari capres yang maju di pilpres 2019 ini.  

Sejak dulu, setiap orang berpikiran waras percaya bila dua kali dua sama dengan empat. Biar nyawa terancam dan disuap berapapun, dua kali dua sama dengan empat. Akal pun akan bersetia pada empat. Tapi, kalau dalam suasana debat, dua kali dua bisa jadi bukan empat. Karena dalam debat—apalagi debat capres di televisi—dua kali dua mungkin bisa jadi relatif; menjadi bukan empat.  

Yang menarik buat saya dari debat adalah ketika salah satu kubu menanggapi sesuatu. Biasanya, proses itu selalu diikuti dengan menegasikan argumentasi lawan bicara. Kalau si A menyatakan hal yang benar menurut logika umum, tentu haram hukumnya bagi si B atau lawan debat membenarkan pernyataan si A. Meski si B pun menyadari kebenaran argumen si A. Berbagai cara akan dikerahkan si B agar dua kali dua menjadi tidak empat, atau menjadi empat aksen, empat dobel aksen. Begitu juga sebaliknya. Dan ini dilakukan semata-mata hanya agar nampak paling cerdas di mata penonton.

Kalau sudah setengah mati berpikir dan tak menemukan cara menegasikan apa yang dikatakan lawan, maka yang perlu dilakukan peserta debat adalah menambahi pernyataan itu dengan renda-renda; membawa pernyataan itu ”piknik” agar nampak berbeda. Meski ujung-ujungnya adalah dua kali dua sama dengan empat. Usai menyampaikan argumen, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah meyakinkan penonton debat bila apa yang baru saja ia sampaikan adalah kebenaran baru yang lebih masuk akal ketimbang sebelumnya.  

Kalau dulu, kita diajarkan untuk mencari apa yang benar. Maka tentu saja, sebagai pil koplo, debat memberikan kemungkinan lain untuk tidak mencari apa yang benar tapi mencari siapa yang benar. Terutama apabila ”benar” itu dikaitkan dengan perang gengsi, persaingan intelektual dan atau bahkan gengsi dan persaingan memperebutkan kursi (mudarat) kepresidenan.

Hari ini manusia modern boleh saja merelatifkan kebenaran. Tapi, kebenaran adalah kebenaran. Bila dua kali dua bukan sama dengan empat, maka kebenaran itu akan bergeser menjadi tidak lagi benar. Dari sini saya yakin, kebudayaan mengingkari kebenaran—dua kali dua sama dengan empat—bukan buah dari perang akal sehat dalam debat, tapi lebih dari itu: gengsi, keangkuhan, manipulasi, dan ketidakjujuran. Silahkan pilih!

Akal selalu setia menyebut dua kali dua sama dengan empat. Dari sinilah penonton debat melihat dagelan; melihat akal dihilangkan dan dibuat mabuk serta berkhianat. Jadi jangan heran bila Prabowo bilang A, maka Jokowi perlu mengolahnya menjadi A’ (aksen). Begitu juga sebaliknya, kalau Jokowi bilang B, maka wajib hukumnya Prabowo mengolahnya menjadi B’ (aksen). Sehingga bukan A atau B yang benar, tapi kemampuan menghasilkan aksen, dobel aksen, tripel aksen inilah yang penting.

Gengsi dong kalau harus sama. Bahkan dalam kehidupan pemerintahan, nama program kerja pun harus berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Kalau SBY merumuskan pendulum nusantara, Jokowi harus punya konsep yang sama tapi dengan nama yang berbeda. Seperti tol laut misalnya. Tidak penting esensi kedua program itu, tapi gengsi selalu bicara lebih jauh dari kebenaran.  Alih-alih bukan fungsi memperbaiki perekonomian dan mengurangi disparitas harga antar pulau di Indonesia, tapi produksi aksen-aksen itulah yang penting. Soal esensi dari kebijakan itu, bisa diurus nanti saja kalau sempat.

Penghianatan akal inilah yang seharusnya menyadarkan penonton debat agar tidak berekspektasi lebih usai menenggak pil koplo. Karena kebenaran yang digoreng sesuai kepentingan tidak selalu sejalan dengan laku atau perbuatan usai debat.

Agar tidak kecewa, masyarakat tidak perlu merasa yakin bila kelak korupsi akan diberantas sampai akar-akarnya hanya karena salah seorang peserta debat mengatakan: ganyang korupsi! Karena korupsi justru dimulai dengan akal yang curang; dari kebiasaan mengingkari kebenaran dengan memproduksi aksen-aksen yang dipaksakan. Jadi anda tidak perlu nggumun bila penindakan korupsi harus tebang pilih. Karena penindakan korupsi itu benar bila yang ditindak adalah oposisi, bukan koalisi.

Usai menonton debat, jangan pula untuk terlalu polos dan percaya kesejahteraan bisa merata, hanya karena seorang peserta debat membicarakan pentingnya kemerataan ekonomi. Karena, waktu yang tepat dalam memeratakan kemakmuran adalah pada saat masa kampanye. Di luar masa kampanye, pemerataan kemakmuran sifatnya bukan wajib, tapi sunah. Karena yang perlu dimakmurkan adalah para penyumbang dana yang mengantar dua capres ini sehingga sampai ke panggung debat.

Sampah Pikir Lima Tahun Sekali

Terkadang saya berpikir, kalau debat benar-benar diperlukan dalam hidup untuk menguji kewarasan dan akal sehat, maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apa tidak ada calon yang lebih masuk akal dari dibanding dua peserta debat di pilpres 2019 ini? Apakah tidak ada calon lain yang lebih perlu didengarkan; perlu diuji logika dan pemikirannya?

Terus terang, saya hampir percaya dan menaruh harapan pada demokrasi Indonesia yang maha benar ini. Tapi, setelah saya pikir lagi, kapan partai-partai dari dua kubu itu hadir dalam hidup saya? Kapan partai-partai itu menjaring aspirasi saya dan butuh bertanya apa yang saya dan rakyat perlukan dalam menjalani kehidupan berbangsa-bernegara. Sampai setua ini pun, ketika menjelang tanggal tua, saya tidak pernah ditanya sudah makan atau belum, sudah ngopi, sudah merokok. Perwakilan dari partai-parti itu tidak pernah bertanya apa yang saya cemaskan sebagai rakyat. Kalau pun keberadaan keduanya tidak pernah otentik dalam kehidupan rakyat,  mengapa harus mereka yang jadi peserta debat?

Memang menyenangkan hidup di Indonesia ini. Karena kita hanya perlu yakin bila demokrasi itu benar. Kita hanya perlu tahu partai-partai oposisi atau koalisi dan para capres itu benar-benar dipilih oleh Gusti Allah; benar-benar dipilih seisi alam semesta.

Sampai hari ini, debat, pamer visi-misi, sejarah panjang penghisapan yang berujung kemelaratan rakyat, terus berlangsung sebagai dejavu. Terus terang saya terharu melihat salah seorang tokoh perempuan dalam salah satu stasiun televisi marah-marah karena pemaparan visi misi capres akan ditiadakan. Meski, sebenarnya dia tidak perlu repot-repot menambah kapasitas berpikir rakyat dengan visi-misi dan komitmen di debat capres. Ia tak perlu menambah-nambahi sampah pikir  yang rutin disuntikkan lima tahun sekali.

Tapi begitulah nasib debat.  Selain menjadi pil koplo demokrasi, ternyata debat juga dibutuhkan dan punya dampak yang positif bagi hidup kita. Debat diperlukan untuk membuat masyarakat percaya akan sesuatu. Setelah Indonesia puas diperkosa dan dikuasai badut gembelengan, debat jadi obat mujarab untuk mengobati luka lima tahun silam dan memandang optimis lima tahun mendatang. Debat adalah salah satu kunci agar KPU tidak kehilangan muka dan ditampar kenyataan peningkatan angka golput. Tapi, bagi penonton debat yang cerdas, debat bisa memberikan alternatif tontonan lawak di televisi. Dan bagi televisi, debat sangat bermanfaat untu meningkatkan rating dan membuat pengamat politik tidak kehilangan obrolan. Jadi, saran saya, mengingat potensi debat yang mampu menjadi obat bius dan pil koplo yang manjur menyembuhkan luka rakyat, maka debat perlu dilestarikan.  

Bagi yang hendak golput, ”Sampeyan sakit hati dan putus asa? Makanya nonton debat!”

Sabtu Wage, 2019

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article