Pergaulan Bebas dan Dekadensi Moral Remaja di Tengah Pandemi

Hanafi Samsi
16 Min Read

jfid – Pergaulan bebas di era digitalisasi saat ini sudah menjadi tidak asing lagi di mata masyarakat. Arus globalisasi yang semakin pesat memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat.

Globalisasi yang tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat, melahirkan dua segmen yang sulit dipisahkan (positif dan negatif). Dampak positif dapat menciptakan perubahan yang  membuat masyarakat semakin maju dan tidak ketinggalan zaman. Juga bersaing dengan negara-negara lain seperti hadirnya tekhnologi dan pemanfaatannya yang mampu membuat tatanan masyarakat berubah menjadi modern.

Adanya tekhnologi mempermudah segala aktifitas manusia menjadi lebih praktis dan lebih ringan. Pada esensinya, tekhnologi lahir karena hasil perkembangan ilmu pengetahuan manusia, yang semakin berkembang pesat. Dengan tujuan, diciptakan di awal untuk mempermudah segala aktifitas manusia atas fugsionalnya tekhnologi itu diciptakan. Namun disisi lain kemajuan tekhnologi yang semakin berkembang pesat juga dapat memberikan dampak negatif bagi manusia itu sendiri.

Penyalahgunaan terhadap fungsi utama tekhnologi yang hadir disalahgunakan ke jalan yang menyimpang. Norma-norma yang mengikat baik agama maupun di masyarakat dilabrak oleh manusia.

Sementara itu, manusia berbeda dengan hewan karena kelebihan manusia adalah diberikan akal oleh Tuhan dan itu yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di luar manusia di muka bumi ini. Hal demikian, juga yang menandakan bahwa manusia hadir di muka bumi ini ditugaskan sebagai khalifah untuk merawat bumi dengan pola pikir dan perilaku sebaik-baiknya. Dengan demikian, manusia dapat menjalankan fungsi tekhnologi yang dihasilkan oleh manusia demi kepentingan bersama baik bangsa maupun agama.

Namun, apa jadinya jika manusia yang seharusnya menggunakan tekhnologi sesuai fungsinya, mengabaikan norma yang dipegang erat sebagaimana manusia yang berhamba kepada Tuhan. Kasus-kasus telah menggambarkan, tekhnologi sebagai alat untuk merusak moralitas masyarakat. Akibatnya, dekadensi moral dalam masyarakat meningkat semakin parah. Hal ini juga tidak terlepas kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan falsafah negara. Seperti maraknya konten-konten berbau dewasa (pornografi) yang masuk ke lokal bangsa ini dan itu memang mudah diakses oleh masyarakat. Sehingga berimplikasi terhadap perbuatan ingin meniru karena dorongan seksual yang sudah tidak bisa dikontrol para remaja yang endingnya disalurkan dengan perbuatan seksual yang menyimpang.

Konten-konten yang memuat situs-situs pornografi dengan mudah diakses oleh siapapun, bagi mereka yang melek akan tekhnologi, baik kalangan anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, hingga lansia pun dengan mudah mengakses situs-situs pornografi. Terutama akhir-akhir ini, tragedi moral marak terjadi di kalangan remaja tingkat SMP atau SMA. Seperti yang kita ketahui, bahwa remaja merupakan generasi estafed bangsa yang harus dipupuk sebaik mungkin sebagai pengganti estafet sebelumnya.

Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia selalu dipertontonkan oleh media sosial dengan maraknya pergaulan bebas, maupun tindak asusila terhadap anak seperti seks pra nikah, pemerkosaan, sodomi, hingga perbuatan asusila berkaitan dengan seksual lainnya. Pemicu besar dipengaruhi oleh mudahnya akses.

Usia remaja merupakan ujung tombak penting bagi bangsa dalam menciptakan generasi yang unggul dan produktif. dengan berkarakter religius dan nasionalis yang berkemajuan. Dengan demikian, merupakan harapan besar wajah-wajah emas bangsa berikutnya. Siti Sundari mengatakan:

masa remaja merupakan peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua baik aspek/fungsi untuk memasuki dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Biasanya usia tersebut di dalam pendidikan sedang menempuh antara tingkat SMP hingga SMA,”

Di tengah pandemi Covid 19 sudah kita ketahui bersama bahwa aktivitas manusia serba terbatas, terutama dalam ruang lingkup masyarakat (social society). Sebaiknya, anak remaja didorong dan dikontrol dengan baik oleh orang tua agar lebih beraktiftas di rumah, namun tetap produktif.

Memberikan izin terhadap anak remaja untuk bermain di luar rumah agar tidak tertekan secara mental, merupakan bagian alternative dalam menciptakan iklim psikologi yang kondusif bagi anak remaja. Namun, dengan catatan, tetap dalam pengawasan atau kontrol agar tetap mengindahkan protokol Covid 19. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan apalagi di tengah pandemi yang dihantui dengan ancaman kesehatan.

Namun apa jadinya, di tengah pandemi Covid 19 yang masih lalu lalang berjalan, anak remaja tidak mengindahkan protokol Covid 19 dengan berkeliaran bebas di luar hingga terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Adanya pandemi, seharusnya membuat mereka lebih mengurangi aktivitas di luar rumah dan lebih belajar dari rumah, utamanya bagi daerah yang masih berada di zona merah seperti di kota-kota.

Seharusnya anak remaja bagi orang tua lebih dikontrol dengan maksimal. Selain pengawasan kedua orang tua juga dari pihak keamanan seperti Satpol PP begitu pula kontrol peran guru sebagai tanggung jawab moral. Selain pendidik sekaligus sebagai orang tua kedua bagi mereka. Seperti kontrol dengan melalui komunikasi daring dengan memberikan motivasi bagi anak, supaya tetap menciptakan iklim produktif dari rumah serta mematuhui Covid 19, agar dapat menciptakan sinergitas bersama.

Di tengah wabah Covid 19 yang masih belum tuntas dengan berbagai macam krisis yang terjadi, baik krisis ekonomi, sosial, kesehatan, malah akhir-akhir ini justru diperparah dengan dipertontonkan dengan dekadensi moral anak remaja, seperti pergaulan bebas anak remaja yang masih marak terjadi.

Dilansir dari beberapa media seperti, Tribunnews.com, diberitakan bahwa tim gabungan TNI/Polri bersama Pemerintah Kecamatan Pasar Kota Jambi menggelar razia penyakit masyarakat (pekat), Rabu (2/7/2020) malam.

Hasilnya, dalam razia itu didapati sedikitnya 37 pasangan remaja di bawah umur yang diduga hendak melakukan pesta seks di hotel. Hampir serupa juga dialami remaja di Makassar, dilansir oleh media Kompas.com, bahwa terdapat belasan remaja di Makassar yang terjaring razia aparat kepolisian usai diduga terlibat dalam praktik prostitusi online di salah satu hotel. Saat di grebek oleh Tim Polri di kamar hotel sebagian remaja dalam keadaan telanjang bulat (10/04/2020).

Peristiwa pergaulan bebas di tempat yang berbeda sangat miris, masih terjadi di tengah bahaya akan wabah serta memberikan simbol bersama bahwa krisis dekadensi moral terhadap anak remaja masih sangat memprihatinkan di bangsa ini, apalagi di tengah pandemi Covid 19.

Perhatian khusus baik dari pemerintah, pihak keamanan, pendidik, masyarakat utamanya orang tua yang paling sentral dalam mendidik dan mengontrol anak, apalagi bagi mereka di usia remaja. Yang masih menuju masa-masa transisi, masa untuk lebih dewasa, dimana perkembangan peningkatan emosional, dorongan seksual, pencarian jati diri hingga pembentukan karakter sangat ditentukan refrensi lingkungan yang tepat.

Perhatian khusus dari pemerintah dapat dilakukan dengan menutup serapat-rapatnya konten-konten pornografi yang bisa diakses oleh masyarakat, karena konten pornografi di media massa mampu memberikan pengaruh meniru terhadap dorongan seksual bagi masyarakat utamanya seperti anak remaja akhir-akhir ini. Selain konten pornografi ditutup atau istilahnya di “blokir”, pengawasan ketat dilingkungan terutama di pusat kota, untuk lebih diperketat lagi. Salah satunya dengan sasaran pengawasan terhadap perkumpulan remaja yang biasanya juga rentan melakukan kegiatan-kegiatan menyimpang seperti balap liar, penyalahgunaan obat-obatan, seks bebas, maupun pergaulan bebas lainnya dengan menurunkan petugas keamanan untuk selalu on-time dalam mengawasi penyakit masyarakat atau patologi sosial lainnya yang akhir-akhir ini masih marak terjadi yakni seks pra-nikah.

Hal lain yang juga bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberikan surat edaran terhadap minimarket khususnya bagi yang menjual alat kontrasepsi atau istilah lain “kondom” untuk dibatasi penjualannya terhadap masyarakat terutama bagi mereka anak-anak remaja yang masih di bawah umur. Bagian dari mengantisipasi mereka agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Terutama kondom yang sering laris biasanya di hari-hari perayaan tertentu seperti tahun baru, valentine day, dan hari-hari perayaan lainnya. Dilansir dari Tribunnews.com,

“Pada hari-hari perayaan tertentu seperti tahun baru mengalami omset peningkatan penjualan kondom di kota-kota besar. Hal tersebut juga dialami di tengah wabah ini terdapat puluhan kondom sering laris di apotik-apotik terutama kota-kota besar meskipun di tengah pandemi yang itu pembelinya salah satu sebagian banyak adalah kalangan anak remaja”.

Larisnya kondom tersebut terutama di kalangan remaja menandakan bahwa pergaulan seks bebas masih memprihatinkan. Untuk mencegah praktek pergaulan seks bebas yang dapat diupayakan oleh pemerintah. Salah satunya adalah memberikan peringatan terhadap apotik bagi konsumen pembeli kondom untuk menunjukkan identitas status seperti KTP atau SIM bagi konsumen pembeli kondom demi mencegah pergaulan seks bebas. Karena salah satu efek dari kebijakan tersebut adalah apabila penjualan kondom di batasi dan harus menunjukkan bukti KTP atau SIM tentang identitas mereka dapat membuat pembeli berfikir ulang keinginan mereka melakukan seks bebas yang dapat mengancam hamil di luar nikah apabila tidak menggunakan kondom terutama bagi perempuan karena ketika membeli harus menunjukkan bukti KTP atau SIM berkaitan dengan identitas dan status mereka.


Selain pemerintah, peran pendidik seperti guru sebagai orang tua kedua sangat berperan penting untuk mencegah pergaulan bebas anak. Pendidik seperti guru-guru di sekolah maupun madrasah memberikan ilmunya tentang bahaya akan pergaulan bebas di tengah arus pusaran globalisasi yang semakin marak mempertontonkan dekadensi moral baik di media massa maupun lingkungan masyarakat.  Hal ini dilakukan agar dekadensi moral anak tidak semakin merosot di tengah pusaran arus globalisasi yang sangat masif, apalagi di tengah pandemi yang sudah menyebabkan berbagai krisis dari berbagai lini terjadi. Dan yang terakhir yang sangat paling urgent adalah peran orang tua terhadap anak. Orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan anak. Orang tua adalah refrensi utama bagi anak remaja, dimana jati diri anak akan berkembang/tidaknya kearah yang baik dapat ditentukan sejauh mana pola asuh dan kontrol yang baik terhadap anak remaja.

Apabila pola asuh orang tua dengan pola yang salah terhadap anak remaja, maka akan berakibat buruk bagi perkembangan anak, membuat anak lebih mengabaikan norma maupun nilai-nilai yang berlaku di masyarakat maupun agama. Orang tua harus memberikan pengawasan dan pola asuh yang baik terhadap anak remaja. Jangan memberikan pola asuh secara otoriter dan permisif. Otoriter artinya orang tua memberikan kontrol sepenuhnya dengan peraturan-peraturan yang dibuat dan pusat kebenaran berada pada orang tua. Artinya anak remaja direnggut kemerdekaannya untuk mengembangkan potensi diri dan menemukan jati diri.

Sedangkan permisif artinya anak diberikan kehendak sebebasnya-bebasnya untuk berbuat apa saja yang diinginkan tanpa adanya kontrol untuk melihat norma-norma yang berlaku. Anak remaja di buat manja oleh orang tua sehingga implikasinya, anak remaja menjadi tumbuh dengan jiwa yang labil dan cenderung mengabaikan nilai norma-norma yang berlaku baik di masyarakat.


Friedman (1997) mengatakan model yang otoriter dan permisif cenderung mengakibatkan konsep diri dan kompetensi sosial yang rendah karena tidak memberikan iklim yang kondusif bagi perkembangan konsep diri positif bahkan mengarah terhadap perkembangan konsep diri negativ.

Sebaliknya, Friedman (1997) mengatakan pola asuh yang pas bagi anak adalah model otoritatif. Hal ini dimungkinkan karena model otoritatif di samping melakukan kontrol, namun juga memberikan kebebasan sehingga anak remaja dapat pula menerima dirinya dan mengembangkan konsep diri yang positif.

Orang tua sebagai modal besar terhadap perkembangan konsep diri anak. Sebagai contoh, orang tua yang senantiasa memandang dirinya secara negatif dan mengekspresikan perasaan-perasaan negatifnya akan berpengaruh negatif pula terhadap perkembangan konsep anak remaja. Hal ini sangat berkesinambungan di tengah pandemi karena selain remaja lebih besar mengadopsi beraktifitas di dalam rumah di tengah bahaya akan wabah sekaligus kesempatan besar bagi orang tua dalam menciptakan iklim yang harmonis, kondusif dan produktif untuk lebih dekat lagi degan anak.

Bahaya akan pergaulan bebas utamanya seks pra-nikah lebih mudah disosialisasikan terhadap anak remaja dengan menanamkan nilai-nilai keagamaan yang kuat di dalam keluarga. Oleh karenanya, dalam mencegah maupun meminimalisir akan terjerumusnya ke dalam pergaulan bebas bagi anak remaja apalagi di tengah pandemi Covid 19 yang seharusnya aktifitas lebih besar di rumah dengan menciptakan iklim produktif.

Sebaiknya, konsolidasi antara pemerintah, pihak keamanan dan masyarakat baik yang terdiri dari guru maupun orang tua lebih ditingkatkan lagi untuk merawat generasi bangsa agar memiliki karakter religius dan nasionalis yang tinggi. Religius berarti setiap aktifitas selalu bernafaskan nilai-nilai Ketuhanan dengan moralitas yang kuat. Nilai Nasionalis menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dengan menciptakan peradaban yang maju yang ‘beradab’. Salah satu yang konkret adalah sesuai sila-sila yang terdapat di Pancasila terutama sila pertama yang telah memerintahkan kita untuk taat beragama bagi setiap pemeluknya sehingga dengan dasar yang kuat ini dekadensi moral masyarakat, terutama remaja yang semakin merosot meskipun di tengah pandemi dapat dicegah bersama dengan pengamalan yang terintegrasi antara nilai-nilai religius maupun nasionalis.

Peran pemerintah, pihak keamanan, pendidik seperti guru, dan masyarakat terutama ke dua orang tua harus terkoneksi secara kolektif untuk mengimplementasikan pencegahan anak remaja terhadap bahaya akan pergaulan bebas di tengah pusaran globalisasi semakin pesat. Apalagi di tengah pandemi, perlu dengan menanamkan nilai-nilai religius dan nasionalis yang kuat.***

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article