Pendidikan Sebagai Pencarian Ilmu atau Pengejaran Popularitas (?)

Margo Teguh Sampurno
7 Min Read

jfid – Pendidikan telah menunjukkan status sosial dalam masyarakat untuk sekedar menjaga nilai-nilai moralis yang dikonstruksi melalui proses pembelajaran. Kecenderungan ilmu pengetahuan yang dilembagakan, seolah terjadi kuasa atas ilmu pengetahuan yang diatur secara metodis dan paradigmatik dalam menciptakan kultur akademis. Pergeseran makna pencarian ilmu yang tujuannya untuk memperoleh kemuliaan, telah didistorsi berupa kemuliaan atas pencapaian-pencapaian materiil semata. Sehingga, sebagian besar masyarakat menganggap bahwa keberhasilan suatu pendidikan, jika tujuan akhirnya adalah kesuksesan pencapaian materiil (kaya). Cara berpikir semacam ini hampir menyeluruh dalam tiap lapisan masyarakat, dan tidak mengherankan jika pendidikan telah menciptakan kelas sosial melalui gelar-gelar akademik dan pengakuan pendapat ilmiah.

Begitupun melihat generasi milenial saat ini yang cenderung kehilangan semangat keilmuan dengan ‘minimnya’ kontribusi aktif dalam science for science. Justru ilmu hanya dijadikan ladang prestise, kewibawaan, dan kemuliaan dihadapan orang lain. Hingga muncul kalimat satire yang menyatakan “ jika kalian menganggap pendidikan adalah sekolah, lantas mengapa saya tidak melihat orang bersekolah tetapi tak berpendidikan”.

Sejenak kita lihat lingkungan pendidikan tinggi yang mencetak cendekiawan bangsa dalam berbagai sektor. Beragam tujuan akhir yang ingin dicapai oleh si mahasiswa baru ketika lulus nantinya, atau dalam proses belajar di perguruan tinggi. Atau pula kecenderungan melanjutkan pendidikan menengah yang hanya dilandasi untuk mengisi kekosongan status moral di masyarakat, seperti berkuliah. Lantas inilah sakralitas pendidikan di tengah masyarakat dan posisi moral seseorang ditentukan oleh pendidikannya. Sehingga implementasi yang diwujudkan kuliah hanya dijadikan trend masyarakat agar tidak mendapat persepsi negatif (misal: pengangguran) untuk melanjutkan tahap kehidupan yang baru seperti bekerja atau menikah.

Dalam bahasa lain, kebutuhan kuliah hanya dilandasi karena keterpaksaan sosial oleh teman, keluarga, ataupun lingkungan masyarakat. Oleh karenanya proses dalam mencari ilmu untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, harus dilandasi atau diniatkan untuk meraih keberkahan ilmu, dan niat yang tulus untuk dijadikan sarana meningkatkan kemuliaan di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Ketakutan akan kondisi masa depan seperti kemiskinan, kehilangan duniawi, dapat dikatakan telah melecehkan Tuhan. Hal tersebut dikarenakan takaran rezeki tiap makhluk telah diatur-Nya, yang selanjutnya hanya bergantung pada seberapa besar usaha manusia untuk memperoleh rezekinya.

Demikianlah konsep mencari ilmu yang hanya berwujud fisik, tanpa menyentuh substansi ilmu yang diperoleh. Lulus hanya sekedar lulus, tetapi menjadi asing ketika di masyarakat. Kurangnya perubahan signifikan negara dengan keberadaan para ribuan sarjana yang hanya berbekal gelar akademik. Segalanya menuntut negara dalam perbaikan di berbagai sektor kehidupan masyarakat, dan ribuan sarjana tadinya hanya menambah masalah sosial. Pengejaran popularitas hidup yang dibingkai dalam nuansa keilmuan, justru merusak esensi ilmu itu sendiri, karena terkadang terdapat kekeringan spiritualitas yang diakibatkan oleh nikmatnya dunia.

Tujuan pendidikan nasional yang memuat nilai luhur manusia Indonesia dalam menempuh sebuah proses pendidikan, pada akhirnya perlu diterjemahkan ulang dengan kondisi kekinian. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi adanya penyelewengan nilai-nilai dan wujud implementasinya. Sehingga ketercapaian tujuan, dapat mencakup seluruh ranah masyarakat dan menjadi hak setiap orang untuk memperoleh pendidikan. Begitupun kajian kurikulum yang dilaksanakan, tentu harus dijalankan secara tertib dan profesional. Wujud pendidikan nasional tersebut untuk menghindari tidak terjerumusnya pada arah kapitalisasi pendidikan, yang menyatakan pendidikan hanya diperuntukkan kaum-kaum tertentu saja dan dijadikan barang dagangan. Tentu pendidikan akan selalu menjadi persoalan klasik sebuah bangsa, karena didalamnya mencitrakan tingkat sumber daya manusia dalam berbagai sektor nantinya.

Hal yang tidak disadari bagi sebagian orang dalam menempuh pendidikan adalah tujuan dan proses. Dua hal tersebut perlu dikonsepsikan diawal karena kaitannya dengan esensi ilmu itu sendiri. Seseorang dapat menjadi mulia karena ilmu, tetapi dapat juga menjadi hina karena ilmu yang diwujudkan dengan profesi keilmuan masing-masing. Sungguh risau kiranya ketika melihat banyaknya para lulusan akademik dengan keilmuan masing-masing, justru menjadi hina karena ketika implementasi ilmu yang diwujudkan dalam sebuah lembaga dilakukan secara tidak benar. Semisal masih banyaknya kasus-kasus korupsi yang justru menjerat para sarjana-sarjana terdidik di instansi pemerintahan. Hal tersebut dapat dikatakan telah terjadi penyelewengan keilmuan yang hanya dilandasi oleh sekedar kebutuhan nafsu. Sehingga menjadi tantangan yang sangat berat bagi seorang yang berilmu adalah nafsu duniawi, yang justru membuat diri seseorang akan menjadi hina di masyarakat.

Tentunya menjadi seorang yang berilmu dalam kaitannya semangat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tidak dilandasi keinginan dalam pengejaran popularitas, tetapi kebergunaan diri, baik secara pemikiran maupun secara perilaku bagi sesama. Sehingga kebiasaan menuntut perlu dirubah cara bagaimana untuk berkontribusi bagi masyarakat, meskipun peran negara tidak dikesampingkan. Para sarjana-sarjana terdidik tidak pula hanya mengkritik, namun secara sadar mampu berinovasi dan tergerak untuk mengatasi problematika masyarakat sekitarnya dengan bekal keilmuan masing-masing. Hingga pada akhirnya mitos negara berkembang bagi Indonesia dapat dinaikkan status menjadi negara maju, jika para sarjana terdidik melakukan hal yang berguna bagi masyarakat dengan tulus bagi perbaikan negara. Sebagai pengingat bagi pencari ilmu dalam sajak Seonggok Jagung karya W.S Rendra yang menyatakan “Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja, jika pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya, ia berkata: disini aku merasa asing dan sepi!”

Margo Teguh Sampurno Penulis buku “Karya-Karya Monumental yang Terlahir dari Penjara (2020)”

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article