Pendaratan Ikan Hasil Tangkapan di Laut Lepas: Percepatan Industrialisasi Perikanan

Rusdianto Samawa
6 Min Read
Foto: russgeorge.net
Foto: russgeorge.net

jfID – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali memudahkan beroperasinya usaha penangkapan ikan di laut lepas di seluruh perairan Indonesia. Tentu, untuk mendukung usaha industrialisasi di sektor Kelautan dan Perikanan.

Negara–negara berkembang yang berada dalam lingkaran pengelolaan perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat sehingga manajemen penangkapan ikan dilaut lepas dapat terkontrol secara baik.

Untuk keberlanjutan harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, baik tingkat lokal, nasional dan subregional. Hal itu didasarkan pada kelestarian jangka panjang sumber daya perikanan yang mendukung pencapaian tujuan dari pemanfaatan dan pertahankan ketersediaannya untuk masa mendatang.

Stok ikan pelintas batas dan stok ikan laut lepas, yang diusahakan oleh dua negara atau lebih, maka negara bersangkutan, termasuk negara pantai yang relevan dalam hal stok, harus kerjasama dalam menjamin konservasi dan pengelolaan sumber daya yang efektif. Upaya ini harus dicapai, jika perlu melalui pembentukan sebuah organisasi atau tatanan perikanan bilateral, subregional atau regional.

Karena itu, harus ada keterbukaan atas semua masalah, tantangan, dan manajemen pengelolaan. Artinya, penangkapan dan pendaratan ikan hasil tangkapan laut lepas harus dilengkapi ketentuan laporan kepada pelabuhan pangkalan di Indonesia dan penyampaian bukti pendaratan ikan di luar negeri.

Kebijakan itu, dilakukan dalam rangka pendataan sumber daya dan untuk mengantisipasi kegiatan penangkapan ikan yang melebihi kuota yang telah ditetapkan organisasi internasional.

Selain itu, dapat melakukan transhipment (pengalihan muatan kapal) dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan baik di tengah laut maupun di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota Regional Fisheries Management Organisation (RFMO) pada wilayah RFMO yang sama.

Sebagaimana dalam Pasal 106 Peraturan Menteri Pengelolaan Perikanan Tangkap, bahwa: “Setiap Kapal Penangkap Ikan dan/atau Kapal Pengangkut Ikan yang beroperasi di Laut Lepas wajib mendaratkan ikan hasil tangkapan di Pelabuhan Pangkalan di Indonesia atau di pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan Port State Measure Agreement (PSMA) dan resolusi RFMO sebagaimana tercantum dalam SIPI dan/atau SIKPI.”

Hal ini mempercepat industrialisasi perikanan tangkap, dengan aturan yang membolehkan pengadaan kapal perikanan baru dan bukan baru dari dalam negeri dan luar negeri dengan ukuran yang memadai atau lebih besar.

Pada ayat 2 dalam Pasal 106 Peraturan Menteri Pengelolaan Perikanan Tangkap, bahwa: “Pendaratan ikan hasil tangkapan di Pelabuhan Pangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk pemindahan ikan hasil tangkapan ke kapal pengangkut di kolam Pelabuhan untuk Pelabuhan Pangkalan yang belum memiliki fasilitas fungsional yaitu tempat penanganan dan pengolahan hasil perikanan dan/atau es.”

Kemudian, Kapal Penangkap Ikan atau Kapal Pengangkut Ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapan di negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan Port State Measure Agreement (PSMA) dan resolusi RFMO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberitahukan kepada kepala Pelabuhan Pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI melalui media elektronik dalam jangka waktu paling lama 48 (empat puluh delapan) jam setelah pembongkaran meliputi: identitas Kapal Perikanan; jumlah ikan hasil tangkapan; daerah Penangkapan Ikan; dan pelabuhan negara tujuan.

Selain itu, mengoptimalkan pemanfaatan dan produksi hasil penangkapan ikan di ZEEI di luar 200 mil. Nah, Permen baru perikanan tangkap ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat perikanan, melalui aturan kewajiban usaha perikanan tangkap terpadu dan pemilik kapal kumulatif di atas 200 GT untuk mengolah ikan hasil tangkapan pada unit pengolahan ikan di dalam negeri.

Menurut Andri (2009) bahwa: sesuai dengan hukum nasional masing-masing negara, harus melaksanakan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan perikanan yang efektif serta langkah penegakan hukum, jika perlu, termasuk pengamatan, pola inspeksi dan sistem pemantauan kapal. Langkah–langkah tersebut harus digiatkan dan jika perlu dilaksanakan oleh organisasi dan tatanan pengelolaan perikanan subregional atau regional sesuai dengan prosedur yang disepakati oleh organisasi atau tatanan itu.

Pasal 107 Peraturan Menteri Pengelolaan Perikanan Tangkap, bahwa: “Pemilik Kapal Perikanan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dan/atau ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa: teguran / peringatan tertulis; pembekuan SIPI dan/atau SIKPI; dan pencabutan SIPI dan/atau SIKPI.”

“Teguran/peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan 1 (satu) kali dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender. Pembekuan SIPI dan/atau SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan selama 30 (tiga puluh) hari kalender apabila sampai dengan berakhirnya teguran / peringatan tertulis tidak memenuhi kewajiban. Pencabutan SIPI dan/atau SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan apabila sampai dengan berakhirnya pembekuan SIPI dan/atau SIKPI tidak memenuhi kewajiban.”[]

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article