Pemuda Elim Panite dan Masalah Lingkungan

honing alvianto bana
9 Min Read
Krisis air di NTT (Sumber : Promosi Wisata TTS)
Krisis air di NTT (Sumber : Promosi Wisata TTS)

jfid – Bila kita sering membaca dan mengikuti isu-isu terkini diberbagai media di Nusa Tenggara Timur (NTT), mungkin kita akan berjumpa dengan masalah kekeringan, jalan yang rusak, proyek bangunan desa yang mangkrak, gizi buruk, dan deretan permasalahan lainnya.

Permasalahan-permasalahan tersebut, sudah berulang kali dijawab dengan deretan program dari pemerintah. Baik pemerintah desa, kabupaten, hingga pemerintah pusat. Puluhan miliar dana telah dianggarkan setiap tahun untuk menjawab berbagai masalah itu, sayangnya, dana-dana itu seakan menguap sia-sia. Uang sebesar itu akan terus terbuang percuma bila kita hanya sibuk pada gejala, tanpa tidak mau mengenali deretan penyebabnya, kemudian berusaha mengatasinya.

Setidaknya, menurut saya, ada tiga permasalahan mendasar yang menjadi penyebab munculnya berbagai permasalahan di NTT. Yang pertama, permasalahan krisis lingkungan. Kedua, salah mendeteksi akar masalah. Dan ketiga, defisit kerja kolektif.

Permasalahan Krisis Lingkungan

Lingkungan alam merupakan lingkungan yang telah ada dan merupakan ciptaan Tuhan. Kita, manusia dan alam mempunyai hubungan yang bukan sekedar erat tapi sangat vital. Kehidupan kita sangat bergantung pada alam. Seluruh kebutuhan primer hidup kita mulai dari oksigen, air, makanan, papan dan sumber daya alam lainnya yang menghasilkan papan sampai kebutuhan sekunder, disediakan oleh alam.

Mengetahui akan hal itu, sebagian diantara kita sangat mensyukuri, kemudian menjaga dan memelihara serta melestarikan keberlangsungan alam beserta segala sumber kekayaannya. Namun sebagian dari kita, baik disengaja (karena ego dan keserakahan) maupun tidak sengaja (karena kebodohan), masih terus melakukan perbuatan-perbuatan yang merusak alam.

Dampak dari perbuatan-perbuatan itu, akhirnya menuai akibat dari timbulnya berbagai permasalahan lingkungan hidup. Di kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, setidaknya ada beberapa masalah lingkungan yang sedang kita hadapi, diantaranya penebangan pohon di sekitar mata air dan bantaran sungai, krisis air, pembakaran hutan untuk membuka kebun baru, pembuangan sampah (bungkusan sabun disungai) secara sembarangan dan lain sebagainya. Masalah-masalah lingkunagan tersebut menimbulkan bencana yang sangat merugikan kita semua. Munculnya berbagai peyakit,  banjir, kekeringan, longsor, krisis air dan lain sebagainya adalah dampak dari cara kita memperlakukan lingkungan.

Selama ini, penebangan pohon secara liar masih kita biarkan. Akibatnya, kita kekurangnya cadangan air hingga krisis air. Hal itu tentu merugikan kita semua, sebab kebutuhan  akan air justru semakin bertambah terutama untuk mendukung kehidupan sehari-hari (mandi, mencuci, memasak, mengairi sawah, dan lain sebagainya).

Penyebab lanjutan dari krisis air adalah masalah kesehatan, masalah gagal panen dibidang pertanian, dan lain sebagainya. Tak heran, masalah-masalah seperti busung lapar, gizi buruk dan sejenisnya kian meningkat di daerah kita.

Melihat permasalahan krisis air, pemerintah sering mengambil jalan pintas dengan membuat embung dan bendungan. Sayangnya, hal itu saja tak cukup jika tidak diikuti dengan melakukan penanaman pohon di hulu dan bantaran sungai untuk penyerapan air, dan menjaga stok air tanah kita.

Salah Mendeteksi akar masalah

Mendeteksi akar masalah adalah hal paling utama sebelum kita melakukan berbagai usaha untuk mencari berbagai solusi. Sayangnya, di daerah kita, kesalahan mendeteksi masalah sudah sering terjadi.

Salah satu alasan, mengapa ini terjadi adalah karena para pemangku kebijakan tidak melihat masalah secara mendalam. Mereka hanya melihat masalah sebagai masalah itu sendiri, seolah tanpa keterkaitan dengan hal-hal lainnya.

Banyak contoh soal itu. Salah satu contoh adalah cara pemerintah daerah menyelesaikan masalah gizi buruk. Kita tahu, masalah gizi buruk adalah masalah multi faktor. Oleh karena itu, untuk menyelesaikannya harus dilihat secara keseluruhan. Harus dilihat hubungannya dengan masalah-masalah lain seperti pendapatan keluarga, pengetahuan ibu tentang gizi, kelaparan, dan yang terpenting adalah masalah krisis air bersih.

Sayangnya, sering kali para kepala daerah tidak mau melihat akar masalah tersebut. Dan lebih sibuk mengurus gejala-gejala yang muncul di permukaan.

Pada awal 2010, pemerintah daerah kita beranggapan bahwa masalah seperti busung lapar dan gizi  buruk dikarenakan daerah kita kekurangan tenaga kesehatan. Padahal itu bukan akar masalah dari permasalahan gizi buruk dan busung lapar.

Kita tahu, masalah seperti busung lapar dan gizi buruk berhubungan dengan banyak hal. Dipermukaan, kita akan dengan mudah mengatakan bahwa hal itu terjadi karena kelaparan, kekurangan pangan, tidak diberikan ASI, kurangnya mengkomsumsi makanan bergizi dan lain sebagainya. Tapi jika kita mau melihat secara mendalam, kita akan menemukan bahwa akar masalah gizi buruk dan busung lapar berhubungan erat dengan masalah lingkungan, terutamaa masalah krisis air.

Salah mendeteksi akar masalah ini seringkali berujung pada program dan penggunaan anggaran yang tak menjawab masalah. Tidak hanya itu,

Mengatasi gejala berbeda dengan menyelesaikan masalah, mengatasi gejala bahkan bisa menggelembungkan masalah. Karena berlangsung lama, solusi-solusi sementara itu akan menjadi kebiasaan, menghalangi orang untuk berpikir tentang sumber masalah—dan masalah itu akan bertahan lalu memperkuat dan membelah diri menciptakan masalah-masalah baru.

Krisis air di NTT (Sumber : Promosi Wisata TTS)

Defisit kerja kolektif

Kerja kolektif adalah tindakan terkoordinasi yang melibatkan sekelompok orang dengan kepentingan bersama dan tujuan bersama. Kerja  kolektif biasanya dilakukan secara sukarela, hal itu untuk membedakannya dengan kerja upahan atau kerja paksa. Bentuknya bisa beragam mulai dari mengambil  keputusan bersama, membuat aturan bersama, menerapkan atau mejalankan keputusan bersama, hingga memonitor aturan bersama.

Dalam kerja kolektif, masing-masing anggota dapat berkontribusi dalam beraneka bentuk: tenaga, uang atau barang. 

Kerja kolektif inilah yang kian memudar diberbagai desa di NTT. Dengan memudarnya kerja kolektif ini, kita akhirnya melihat orang bekerja untuk mengatasi masalah-masalahnya sendiri. Jika kekurangan air, beli. Bila ada hama, semprot. Dan lain sebagainya. Padahal, untuk mengatasi masalah-masalah seperti kekeringan, dibutuhkan kerja kolektif.

Melihat hal-hal itu, kita lantas bertanya, apa penyebab kerja kolektif kurang diminati?

Jika kita tenang dan merenungi hal ini, kita akan menemukan setidaknya tiga pola.

Pertama, kerja kolektif kurang tampak pada kegiatan berjangka panjang, terutama dalam mengatasi permasalahan bersama. Dalam banyak hal, kita akan dengan mudah melihat bahwa dalam proses musyawarah dan perencanaan, anak muda sama sekali tidak dilibatkan. Forum-forum lebih didominasi oleh tokoh-tokoh masyarakat, yang kebanyakan laki-laki dewasa.

Selain itu, belakangan ini, masyarakat kita lebih berperan aktif hanya ketika menyambut bantuan, daripada membicarakan dan menyelesaikan persoalan bersama.

Kedua, kerja kolektif lebih tampak pada kegiatan-kegiatan yang bersifat jangka pendek. Misalnya, kerja kolektif dalam pesta pernikahan, merayakan hari kemerdekaan, atau kematian. Pada kesempatan seperti itu warga bisa dengan sangat cepat berkumpul.

Ketiga, kerja kolektif jangka panjang hanya tampak dalam bidang keagamaan seperti pembangunan gereja dan sarana belajar berbasis gereja.

Gerakan Pemuda Gereja

Ditengah berbagai permasalahan lingkungan dan defisitnya kerja kolektif, tentu kita tak boleh pesimis dan pasrah. Oleh karena itu, kawan-kawan Pemuda Gereja Elim Panite mencanangkan gerakan membersihkan sungai, menanam pohon, dan kampanye  kreatif untuk memberikan penyadaran serta mengajak masyarakat lewat media sosial.

Gerakan ini adalah kerja-kerja sunyi yang membutuhkan banyak energi atau keterlibatan anak muda. Dan dengan kerja-kerja seperti ini, pemuda  gereja akan menjadi titik sentral pendorong perubahan sosial.

Pemuda Gereja Elim Panite, telah menjadi lilin atau penerang di masyarakat. Semoga, banyak kawan-kawan pemuda lainnya bisa tergugah dan ikut melakukan gerakan sejenis untuk mengatasi berbagai permasalahan di daerah kita. Salam

Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Penulis Puisi, Cerpen, dan Kolom.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article