Pemilu dan Ukuran Kaping IV

Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
Megatruh, 35x47 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas (gambar: Heru Harjo Hutomo)
Megatruh, 35x47 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas (gambar: Heru Harjo Hutomo)

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermusik)

jfID – Wabah corona yang telah sekian lama melanda Indonesia seakan menjelma segurat koma atau sebuah jeda atas segala rutinitas dan perealisasian sebuah rencana. Pilkada yang sedianya akan dihelat pada pertengahan tahun ini juga molor menjadi akhir tahun, pada bulan Desember 2020. Ada hal yang menarik terkait pemilu yang akan digelar di tengah wabah yang tentunya harus seturut dengan prosedur kesehatan di mana wabah corona, menurut WHO, tak akan melenyap dengan cepat. Prosedur kesehatan sebagaimana menghindari kerumunan (physical distancing) rupanya tetap menjadi pilihan otoritas kesehatan di tengah wabah. Dalam hal ini saya tak akan membahas perkara teknis penyelenggaraan pemilu tersebut, yang menarik perhatian saya adalah pada perilaku para pemilih, seperti halnya saya pribadi, dalam sebuah kondisi darurat.

Saya akan berkaca pada pilkada Jawa Timur dua tahun yang lalu di mana dalam beberapa hal penyelenggaraan dan keberlangsungannya, khususnya pada perilaku para pemilihnya, hampir mendekati prosedur kesehatan di tengah wabah corona yang digariskan oleh otoritas yang berwenang (Perspektif Moral dalam Politik, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Peristiwa pilkada yang memenangkan pasangan Khofifah-Emil atas pasangan Gus Ipul-Puti dua tahun lalu itu berlangsung dengan suasana yang biasa-biasa saja. Tak ada gelaran kampanye yang sifatnya menggugah gelegak publik. Tak ada konvoi motor seperti halnya di Jogja dan Jawa Tengah—kebiasaan-kebiasaan yang sudah usang di Jawa Timur. Tak ada black campaign sebagaimana pembunuhan karakter, saling ejek, dan perendahan-perendahan di ruang publik seperti yang tercermin pada pilpres setahun lalu. Dari pihak penyelenggara, menurut ukuran saya, sosialisasinya sebenarnya tak massif dilakukan, tapi masyarakat atau para pemilih sepertinya sudah paham dan tak butuh gaduh—sama halnya ketika menyikapi pemaparan visi-misi dan debat kandidat di ruang-ruang publik. Tak ada pula baik kader maupun simpatisan dari kedua belah pihak kandidat bergerak secara militan dengan turun ke desa-desa untuk membuai warga sebagaimana kebiasaan menjelang pemilu—sekalipun hal itu ada masyarakat menyikapinya dengan santai dan tak banyak cakap. Tapi begitu hari H, masyarakat datang ke bilik-bilik pemilihan dengan sama sekali tanpa paksaan untuk menggunakan hak pilihnya.

Rupanya ada keuntungan tersendiri ketika para pemilih atau masyarakat cenderung memilih senyap dalam menanggapi dan kemudian menggunakan hak pilihnya: otonomi diri. Hal yang paling membikin muak para pemilih sebenarnya adalah diatur-atur laiknya bocah, khususnya oleh kalangan-kalangan yang sebenarnya hanya memanfaatkan momen itu demi kepentingannya sendiri: kalangan umuk dan wani wirang (Genealogi Politik Wani Wirang, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Pada perilaku para pemilih, saya melihat seperti terdapat sebentuk  “musical accord” atau kesepahaman yang tak gamblang di mana pada akhirnya yang menentukan sang pemenang. Hal ini juga tercermin pada pilpres 2019 di Jawa Timur di mana, khususnya di Ponorogo, orang-orang yang cenderung menghindari gaduh dan euphoria pemilulah yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dengan angka perolehan sekitar 68%.

Perilaku politik para pemilih tersebut pernah juga saya temukan di dusun Balong, Bantul, Jogjakarta, tempat di mana Kawruh Beja Ki Ageng Suryomentaram diteliti secara ilmiah (Suryomentaram di Tengah Temaram Zaman, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Pernah suatu ketika di dusun itu tak mengharapkan orang yang memiliki ambisi politik untuk muncul ke permukaan atau datang dengan membawa embel-embel identitasnya: partai, golongan, dan seterusnya. Ia mesti muncul atau datang sebagai, seperti halnya wejangan Ki Ageng Suryomentaram, “pribadi tanpa ciri” atau orang yang sudah sanggup memilah apa yang disebut sebagai “kramadangsa.” Ukuran yang ia terapkan dalam bebrayan atau kehidupan bermasyarakat dan bernegara sudah tak menggunakan ukuran kaping I (logika titik), kaping II (logika garis), kaping III (logika bidang), dan kaping IV (logika ruang). Ketika menggunakan ukuran kaping IV inilah sang kandidat pejabat publik memiliki gelombang yang sama dengan para calon konstituennya sehingga melahirkan apa yang dikenal sebagai “raos sami” atau dalam konsep demokrasi deliberatif lebih dikenal dengan istilah mufakat. Karena itulah, saya kira, dalam penyelenggaraan pemilu ke depan mesti ada keseriusan dan ketegasan dari pihak penyelenggara—dan juga para kandidat—untuk membungkam atau merepresi hal-hal yang dapat merusak batin masyarakat yang diharapkan berpartisipasi dalam perhelatan-perhelatan politik. Sehingga pejabat publik yang dihasilkan dari sebuah pemilu benar-benar terlahir dari aspirasi masyarakat, bukan terlahir dari sebuah konspirasi busuk atau sistem yang bejat yang hanya akan berujung pada pemerintahan “masturbasif” dan kemuakan publik.       

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article