Pelabuhan Kesepian: Arus Ekspor Impor Anjlok

Rusdianto Samawa
15 Min Read

Penulis: Rusdianto Samawa, Front Nelayan Indonesia (FNI) Menulis dari Pelabuhan Paotere Zona Merah Covid-19 Makassar.

jfID – Pelabuhan Paotere dan Pelabuhan Internasional yang baru Makassar, sejak 30 tahun lalu sangat ramai hingga akhir Desember 2019 kemaren. Saya mengamati betul dari dalam pelabuhan sendiri. Bertanya kepada beberapa petugas jaga pelabuhan, katanya: “permintaan ekspor, impor, dagang dan tata niaga hasil pertanian, kelautan dan perikanan sangat sepi sejak Covid-19 ini.” Padahal harapannya, sektor kelautan dimulai dari transportasi laut, pelabuhan, dan industri perkapalan nasional sebagai akselerasi masa depan kelautan akan secara positif membaik dan biaya logistik semakin murah.

Sebenarnya, kita sangat paham. Bukan karena sepi disebabkan oleh turunnya permintaan dan penawaran ekspor maupun tata niaga lainnya. Tetapi, karena kebijakan pemerintah memang menyepikan seluruh sentra aktivitas yang bisa menyebabkan penyebaran Covid-19. Padahal perlu diketahui, berdasarkan hasil penelitian British Petroleum, Indonesia pusat terbesar kedua bagi jalur ekspor impor setelah Arab Saudi. Sehingga dengan kenyataan ini, gangguan apapun terhadap lalu-lintas pelayaran melalui perairan Indonesia berdampak besar terhadap kepentingan seluruh dunia.

Covid-19 berdampak pada pelambatan aktivitas produksi Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki perairan laut yang memiliki potensi sangat besar; mulai dari ikan, sumber mineral, energi laut non-konvensional, hingga pariwisata. Bagi dunia, perairan Selat Malaka Indonesia merupakan akses jalur perdagangan paling mudah dan murah dalam menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selat ini merupakan penghubung antara Timur Tengah dan Eropa dengan Asia dan merupakan salah satu selat paling penting bagi jalur perdagangan dunia.

Letaknya yang berada pada pertemuan Samudera Hindia dan Pasifik dan diantara Benua Asia dan Australia, membuat Indonesia memiliki keragaman ekosistem seperti pantai, hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, alga, dan perairan laut dangkal yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut. Bagi Indonesia sendiri, posisi ini memungkinkan untuk berlayar kemana saja. Dari pulau kecil yang berada di tengah Indonesia, seorang dapat berlayar langsung menuju Singapura, Hongkong, Pelabuhan Moresby, atau Darwin.

Selat ini merupakan selat alternatif bagi kapal-kapal dari Timur Tengah (Teluk Persia atau Terusan Suez), Afrika dan Eropa yang hendak menuju Laut Cina Selatan (Cina, Taiwan, Jepang, Korea) dan Samudera Pasifik (Amerika, Kanada). Selat Lombok (yang kemudian melalui Selat Makasar) merupakan rute dari Australia dan Selandia Baru menuju Laut Cina Selatan dan Samudera Pasifik.

Tanpa selat ini, kapal-kapal tangki yang mengangkut minyak mentah dari Timur Tengah ke Asia harus memutar melewati Selat Lombok yang mana lebih jauh 1.600 km atau sekitar 3 hari pelayaran. Menurut U.S. Energy Information Administration, selat ini dilalui kapal-kapal tanker dengan total 15,2 juta / barel setiap harinya.

Menyimak pidato Ir. Soekarno yang disampaikan pada forum National Maritime Convention I (NMC) tahun 1963 bahwa “membangun Indonesia menjadi negara besar, kuat, makmur dan damai yang merupakan National Building bagi Indonesia, maka harus kuasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada pelayaran yang seimbang”. Ingat, Indonesia memiliki luas lautan 70 persen dibandingkan daratan.

Rasanya sulit, untuk merealisasikan pidato Bung Karno diatas, karena Covid-19 menjadi isu strategis dunia yang menghambat proses pembangunan, termasuk tersendatnya sektor kelautan dan perikanan Indonesia kedepannya. Ironis, Indonesia bersama bangsa lain begitu masih sibuk menghadapi penyebaran Covid-19 yang mematikan itu.

Harapan konektivitas logistik (logistics connetion) maritim ditengah Covid-19 ini sedikit muram sehingga daya saing ekonomi tidak terjaga yang terjun pada level 4% kebawah. Sangat sulit, kembalikan kejayaan maritim ditengah wabah ini. Padahal keuntungan wilayah maritim bisa mendatangkan keuntungan sepuluh kali lipat dari APBN setiap tahun.

Maraknya wabah Covid-19 ini menghapus memori Indonesia sebagai negara yang mempesona atas ribuan pulau Indonesia. Fatalnya lagi, pemangku kebijakan kehilangan akal dan semangat untuk mengelolanya modal besar kekayaan dilaut ditengah Covid-19 ini. Semua berhenti kegiatan produksi.

Padahal, bukan suatu kebetulan, penguasaan atas laut menjadi faktor penentu dalam percaturan global karena permukaan bumi sebagian besar adalah lautan yang lebih dari 2/3 dari luas daratan. Orientasi pembangunan maritim lebih kepada power market comparative yang tentunya harus untung besar dengan memasok produk unggulan berasarkan sumber daya alam nasional sebagai kekuatan tawar.

Ditengah Covid-19 ini, ribuan pulau Indonesia berhenti berproduksi dengan total kerugian ekonominya khusus pada sektor kelautan-perikanan sebesar US$ 1,2 triliun / tahun atau 1,2 PDB Nasional saat ini. Sementara, potensi kerugian produksi perikanan 49 juta ton / tahun. Apalagi, prediksi kerugian dari total produksi perikanan dunia tahun 2020 sejumlah 182 juta ton. Apalagi serapan lapangan kerja sebanyak 50 juta orang (40%) dari total angkatan kerja Indonesia.

Berdasarkan data dari Trade map, pada 2018 nilai ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 17,126 miliar dari total nilai ekspor Indonesia senilai US$ 180,215 miliar. Nilai ekspor Indonesia ke China terus mengalami peningkatan. Pada 2016 dan 2017, nilai ekspor Indonesia ke China masing-masing senilai US$ 16,785 miliar dan US$ 23,049 miliar. Potensi angka ekspor ini tidak lagi berlaku yang dapat diandalkan karena kegiatan maritim (pelayaran) tol laut terhambat karena faktor kurangnya produksi maupun pembatalan cargo internasional yang berakibat pada kerugian. Bahkan diprediksi terjadinya pemutusan hubungan kerja akibat Covid-19 ini.

Begitu pun, jumlah utilitas industri pengolahan ikan yang saat wabah Covid-19 ini masih berada di bawah 60% yang tidak dapat lagi didongkrak peningkatan ketersediaan bahan bakunya. Ditambah, kesulitan karena faktor pemberlakuan peraturan pemerintah Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) sehingga berdampak pada aktivitas perusahaan, kapasitas produksi dan utilisasi industri tidak dapat dimaksimalkan sehingga suplai bahan baku tersendat.

Pilar utama maritim mengalami perlambatan pada distribusi potensi kelautan dan perikanan serta hasil produksi melalui koridor ekonomi dan melemahkan konektivitas pembangunan nasional. Tentunya adanya PSBB akan berdampak terhadap penghasilan masyarakat dan perusahaan. Akan tetapi, seharusnya dampaknya tidaklah terlalu besar dan akan menjadi short term effect pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berdasarkan data Badan Pusat Stastistik (BPS), kapasitas produksi industri pengolahan ikan awal tahun 2019 mencapai 3,65 juta ton. Dari jumlah tersebut, olahan tuna atau cakalang kaleng berkapasitas 365.000 ton dan sardin atau makarel kaleng sebanyak 235.000 ton. Adapun, dari kapasitas terpasang: utilisasi industri masih berada di bawah 60%. Padahal nelayan sudah dibolehkan melaut, tetapi karena Covid-19, jadi harus terbatas dan produksi pun tambah mengecil.

Sementara, efek kebutuhan guna melindungi ekonomi pribadi, keluarga dan lingkungan dari pukulan akibat wabah virus corona (Covid-19) menjadi darurat pada pertengahan 2020 ini. Pemerintah sendiri sudah melihat resiko penurunan ekonomi dan defisit sehingga memutuskan memangkas suku bunga acuan dan memulai kembali menjual asset obligasi besar-besaran untuk memompa stimulus ke dalam sistem perbankan itu sendiri agar industri pengolahan ini bisa bertahan.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, prediksi perkiraan adanya penurunan volume ekspor maka utilisasi Unit Pengolahan Ikan (UPI) sekarang turun juga sekitar 10%–12% dibandingkan 2019. Jumlah penurunan tersebut menambah angka defisit ekonomi nasional. Prediksi kedepan, hantaman Covid-19 ini mengarah pada kontraksi ekonomi yang akan berlangsung, guncangan ekonomi sudah cukup bukti membawa sistem ekonomi nasional Indonesia menuju krisis. Karenanya, krisis terus memberikan tekanan lebih lanjut pada inflasi, yang terus berada dibawah target.

Apalagi aktivitas ekonomi ilegal di Indonesia sangat marak ditengah Covid-19 ini, bahkan negara mengalami kerugian capai Rp300 triliun per tahun, seperti terjadi illegal fishing, illegal mining, illegal trading. Dengan demikian, kebijakan, strategi dan program ditengah Covid-19 membuat sektor maritim terhenti.

Apabila, menghitung pendapatan dan budgeting pengiriman dengan kapal laut (shipping cost) di dalam wilayah Indonesia lebih mahal ketimbang budgeting pengiriman barang dari Jakarta ke berbagai Negara, misal dari Jakarta ke Surabaya sebesar 350 dollar AS, dari Jakarta ke Medan sebesar 400 dollar AS, dan dari Jakarta ke Sorong sebesar 2.000 dollar AS. Sedangkan dari Jakarta ke Singapura sebesar hanya sebesar 200 dollar AS.

Sebenarnya usaha sektor-sektor ekonomi kelautan sangat highly profitable dan menyerap banyak tenaga kerja, mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan kaya vs miskin. Lagi pula, hampir semua kegiatan pembangunan dan bisnis kelautan berlokasi diwilayah lautan, pesisir, dan pulau kecil mengurangi disparitas pembangunan, urbanisasi, dan brain drain.

Kegiatan – kegiatan eksplorasi, produksi (eksploitasi), dan pengolahan (processing) SDA non-konvensional yang ada di wilayah pesisir dan lautan Indonesia, seperti industri air laut dalam (deep sea water industry), gas hidrat dan shale gas, deep sea mining, mengalami pelambatan dan berpotensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas pekerjanya.

Posisi ekonomi Indonesia belum aman dan rentan pada kebangkrutan dibawah 5%. Sehingga berpengaruh kuat pada lintasan perdagangan dunia (the global supply chain system), dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1500 triliun dolar AS per tahun melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia).

Covid-19 membuat pembangunan tol laut terhenti sehingga upaya samaratakan pendapatan daerah di seluruh Indonesia juga mengalami stagnan, seperti pemanfaatan aneka hayati, biota laut, perdagangan dan pengiriman barang lokal yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi stagnan hanya kisaran dibawah 5%. Seperti diketahui, pergerakan barang dan jasa membutuhkan infrastruktur yang menjangkau kegiatan-kegiatan distribusi barang dan jasa.

Sepinya pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, membuat lalu lintas kapal-kapal besar juga kesepian untuk berlayar dari sabang sampai merauke dan Indonesia – Eropa – Asia. Covid-19 menganggu keseimbangan stabilitas ekonomi Indonesia yang dipredikai tidak dapat teratasi dengan baik.

Secara praktis, Deep Seaport permintaan pelayaran mengalami kesepian itu seperti, pelabuhan sentral untuk berlabuhnya kapal besar pengangkutan seperti Belawan, Tanjung Priuk, Tanjung Perak, Tanjung Mas, Tangjung Karang Mataram, Berang Biji Sumbawa, Labuhan Aji Lombok dan Papua.

Selama ini, pelabuhan besar tersebut mengangkut komoditas-komoditas yang telah sampai dan diangkut oleh kapal besar akan diangkut kembali oleh kapal-kapal kecil yang menjangkau pulau-pulau pedalaman sehingga manajemen distribusi terjadi secara merata dan tercipta rasa keadilan bagi masyarakat dari Sabang sampai Merauke.

Namun, sejak Covid-19 dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tentu membawa dampak juga. Termasuk sepinya pelabuhan, yang selama ini menjadi sentra perdagangan internasional. Apalagi, melarang pusat industri dan perdagangan berproduksi yang memiliki fasilitas pelabuhan modern dan berkapasitas besar.

Pemberlakuan PSBB membuat produksi dan aktivitas logistik menurun. Apalagi, penerapan prosedur pemeriksaan yang lebih ketat terhadap kapal dan pekerjanya, membuat arus barang berhenti. Hal itu berdampak besar terhadap industri pelayaran dunia yang membatalkan pelayarannya, seperti: Maersk line batalkan dua pelayaran Asia-Eropa yang dijadwalkan berlayar dalam dua minggu ke depan, dengan kapasitas setara 26.000 kaki (TEU). Begitu juga, Ocean Alliance, yang dipimpin CMA CGM, membatalkan tiga jadwal pelayaran rute Asia-Eropa untuk tiga minggu ke depan, yang melibatkan kapal CMA CGM Laperouse (13,380-TEU), Ever Globe (20,160-TEU), dan CSCL Saturn (14,074-TEU).

Kemudian, di China terdapat sepuluh pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia, juga ditutup sementara waktu, seperti COSCO untuk kargo, awak kapal dan logistik. Sekitar 70 persen lalu lintas barang di dunia melewati kawasan Asia dan 50 persen didominasi kargo armada China. Begitu juga, perusahaan firma riset kontainer dari Inggris, juga merasakan dampak Civid-19 yang membuat anjloknya demand sehingga membatalkan beberapa scedul pelayarannya.

Walaupun, pemerintah sudah memutuskan pengiriman kargo dari dan ke negara China, baik melalui pelabuhan dan bandara, tetap berjalan seperti biasa. Namun, tetap saja sepi dan terbatas sehingga lebih besar kerugian: logistik yang dikeluarkan daripada keuntungan. Pada januari lalu, International Maritime Organisation (IMO) melalui rekomendasinya, juga meminta agar seluruh negara-negara agar tetap mengambil tindakan untuk membatasi risiko penyebaran Covid-19, tanpa pembatasan terhadap lalu lintas barang internasional.

Covid-19 ibaratnya, sekali pukul langsung dua tiga pulau terlampaui. Begitu juga saat ini, terjadinya sepinya pelabuhan, pelayaran berkurang, pengiriman barang menurun, perlambatan ekonomi dan permintaan barang ekspor. Semua menurun. Apalagi, kegiatan impor mengalami pelambatan kegiatan produksi.

Selain itu, pelaku usaha menjerit karena tak bisa berproduksi sehingga tertutupnya peluang ekspor komoditas apapun, terutama sektor kelautan dan perikanan yang dinilai berpotensi mengakibatkan ketidakstabilan global dan iklim investasi lari keluar sehingga menambah beban sektor perbankan. Perlambatan ekonomi membuat industri Indonesia terdampak yang sangat sulit untuk mensubstitusi kebutuhan industri atau negara tujuan ekspor dan negara asal impor karena kapal-kapal cargo membatalkan pelayarannya.[]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article