Pawuwungan

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
Gambar ilustrasi: "Pecah Ndasmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014
Gambar ilustrasi: "Pecah Ndasmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014

jfid – Dalam setiap arsitektur rumah nusantara, utamanya yang bergaya klasik, senantiasa terdapat apa yang disebut sebagai “pawuwungan.” Bentuk pawuwungan terdapat pada bagian paling atas dari atap yang mengerucut. Pada bentuk rumah joglo, bucu (Jogja, Jateng, Jatim) ataupun dara gepak (Jatim), ia berderet memuncak dengan bentuk genteng yang khusus.

Pawuwungan sendiri berasal dari istilah “awang-uwung” yang berarti angkasa yang tak terbatas. Ada satu ungkapan dalam Wirid Hidayat Jati karya Ronggawarsita yang berkaitan dengan awal-mula segala sesuatu: “Awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji.Awang-uwung di sini mengacu ke kosongan, belum ada sesuatu apapun.

Tak ada keterangan yang pasti kenapa arsitektural bangunan klasik selalu mengerucut atau melancip—seperti pucuk (ujung) dan bongkot (pangkal) gunungan dalam pertunjukan wayang kulit yang mesti dipegang oleh sang dalang ketika hendak mengawali pertunjukannya.

Di nusantara banyak pula candi yang memiliki bentuk dominan kerucut yang menyiratkan bahwa spiritualitas itu berjenjang, mulai dari yang kasar menuju halus, dari wujud menuju nir-wujud, dari yang fana menuju yang baka (Membaca Ronggawarsita, Mencerna “Ngelmu” Rasa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Bahkan konon, dipercaya bahwa semakin maju dan tinggi sebuah kebudayaan, maka semakin spiritual perwujudannya. Barangkali, di sinilah letak ungkapan “Yen ginulung sak mrica jinumput, yen ginelar ngebaki jagat” mendapatkan ruangnya.

Tapi memang, salah satu alasan pragmatis kenapa bangunan-bangunan tradisional selalu berbentuk kerucut, dari lebar menuju sempit, dari besar menuju kecil, dari yang material menuju spiritual, adalah agar ketika hujan airnya tak tergenang. Tepat di sinilah saya kira, secara filosofis, berbagai bentuk bangunan klasik yang mengerucut menyiratkan bahwa ketika menerima cobaan, ujian ataupun bendu, tak menumpuk atau membendung yang dapat mengakibatkan kerubuhan, sebab sudah sepantasnya itu semua meresap ke dalam tanah.

Barangkali, banyak dari sebagian kita yang menyangsikan teori bahwa semakin maju dan tinggi sebuah kebudayaan, maka semakin spiritual pula perwujudannya. Abad digital yang kita hidupi di hari ini membuktikan teori tersebut (New Normal Life dan Kondisi Postmodernitas, Heru Harjo Hutomo, https://www.harakatuna.com). Sama sekali tak menutup kemungkinan seandainya beberapa tahun mendatang kehidupan kita akan dimanjakan dan diwakili oleh teknologi (Zaman Tubuh Tak Lagi Ampuh, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Saya pernah menyeksamai perihal janturan dalam pertunjukan wayang kulit yang selalu berulang dalam mendeskripsikan kondisi sebuah kerajaan dimana saya memaknainya sebagai rekaman memori kolektif atau kerinduan laten pada sesuatu yang nun jauh di masa silam, dimana gempa dan tsunami telah memporak-porandakannya (Mahapralaya: Seputar Wayang, Gempa dan Tsunami, Heru Harjo Hutomo, https://filsafatwayang.filsafat.ugm.ac.id). Bukankah kini ramai para pakar geologi menyingkapkan tentang adanya siklus gempa dan tsunami di nusantara, khususnya di bagian selatan pulau Jawa?

Dengan demikian, saya kira, selain sesuatu yang bernilai praktis-pragmatis, pawuwungan adalah juga sebuah sanepan atau perlambang tentang sebuah kenangan, sebuah kerinduan pada sesuatu yang nun jauh di masa silam, yang barangkali, jauh sebelum kita berada di sini dan kini. Orang beragama terkadang menyebutnya sebagai “surga yang hilang,” di mana segala amal ibadah kita adalah sebentuk pengingatan (eling) atasnya.   

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)    

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article