Paradoks Korona

Tjahjono Widarmanto
6 Min Read

jfID – Manusia dikelilingi paradoks, manusia tak mungkin bebas dari paradoks. Paradoks-parodoks yang mengitari manusia itu selalu memperlihatkan sisi-sisi yang saling bertentangan dalam diri manusia. Shusaku Endo, seorang novelis modern Jepang (1923-1996) menertawakan ketidakbebasan manusia dari paradoks. Melalui berbagai paradoks itulah manusia menampilkan wajah aslinya sebagai malaikat sekaligus iblis. Manusia adalah paradoks kebaikan yang berdampingan dengan keburukan, keagungan yang bercampur kenistaan. Situasi tersebut dengan sinis dikatakan Shusaku Endo dalam novelnya Chinmoku yang diterjemahkan  William Johson , sebagai “Manusia yang memang rapuh dan menjijikan, tapi Tuhan ogah meninggalkannya!”

    Secara ilmiah paradoks dirumuskan sebagai suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis, yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan yang akan tiba atau menuju pada sebuah kontradiksi atau ke sebuah situasi atau keadaan yang berlawanan dengan intuisi. Paradoks seolah-olah pertentangan atau perlawanan dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya memiliki atau mengandung kebenaran yang tak terbantahkan. Paradoks-paradoks yang muncul dalam diri manusia selalu menunjukkan sisi-sisi yang saling bertentangan.

    Masih Shusaku Endo, dalam novelnya yang lain berjudul Skandal (1998), melalui tokoh utamanya bernama Sugoto, menampilkan paradoksal-paradoksal dalam diri manusia yaitu kebaikan sekaligus keburukannya, kebenaran sekaligus kebusukan, yang suci sekaligus yang merosot. Paradoks-parodok itu ditampilkan habis-habisan dan ditelanjangi sepenuhnya. Shusaku Endo seolah menggarisbawahi dengan warna merah pendapat Freud yang menyabdakan manusia yang diam-diam ternyata memendam berbagai hasrat tak senonohnya di dalam lubang kuburan bawah sadarnya.

    Sebenarnya secara implisit, Shusaku Endo tak hanya menertawakan dan membongkar paradoks-paradoks dalam diri manusia habis-habisan, namun dia pun menawarkan sesuatu. Shusaku Endo memang tak hanya menertawakan paradoks-paradoks yang ada dalam diri manusia namun juga mencari atau menawarkan cerah jalan pembebasan dari situasi paradoks itu. Paradoks-parodoks yang tak terelakan itu ternyata bisa menjadi jalan katarsis manusia. Manusia memang tak bisa mengingkari takdirnya yang paradoksal antara kesucian dan kemesuman, paradoksal yang indah sekaligus menjanjikan, paradoksal yang agung sekaligus nista, namun paradoksal itu bisa menjadi kesadaran untuk mengubah nilai dan marwah kemanusiaannya. Kenistaan sebagai salah satu paradoks dari kemuliaan, harus diterima dan dijalani sebagai upaya meneguhkan kemuliaan manusia, seperti kata Rendra: tanpa tangan kita kotor, tak bisa ciptakan itu firdaus!

    Paradoks-paradoks yang mengitari manusia sebetulnya menyisihkan ruang bagi ketidakmasukakalan. Paradoks-paradoks itu seolah-olah menjungkir-balikkan nalar manusia. Paradoks mencampuradukkan irasional dan absurditas untuk melawan rasionalitas. Hal itu terjadi karena paradoks-paradoks tersebut acapkali harus diterima tanpa harus dipahami secara nalar. Misalnya, situasi tragedi dan komedi pada diri manusia itu sesuatu yang bertentangan, namun sebuah senyum tak hanya merespons sesuatu yang komedi atau menggembirakan. Senyum pun bisa muncul untuk sebuah tragedi, senyum untuk menertawai kemalangan nasib, pendek kata senyum pun untuk merayakan keterbatasan diri. Situasi paradoks itu mungkin tepat digambarkan orang Jawa sebagai ngono ning ora ngono!

    Paradoks-paradoks tak muncul begitu saja. Paradoks-paradoks bisa muncul karena dilahirkan oleh situasi-situasi tertentu. Situasi-situasi tertentu bisa merangsang dan memancing timbulnya paradoks-paradoks. Pada zaman revolusi kemerdekaan, Idrus pernah menulis novel Surabaya dan Corat-Coret di Bawah Tanah yang menggambarkan berbagai paradoks cowboy sekaligus bandit yang muncul pada diri pemuda-pemuda revolusi.

    Situasi pagebluk atau pandemi korona ini ternyata melahirkan paradoks-paradoks baru atau sudah ada namun tak disadari. Pagebluk korona membuat semua orang untuk mengambil jarak dengan orang lain, memaksa untuk memisahkan diri dengan orang lain. Namun, di sisi lain tindakan memakai masker berarti melindungi diri sendiri dan orang lain. Sikap untuk menjaga diri sendiri atau mencegah orang lain tertular jelas merupakan paradoks yang berupa batas tak jelas antara sikap ‘mementingkan diri sendiri atau memikirkan keselamatan orang lain’.

    Paradoksal lain yang muncul adalah sikap empati yang muncul saat tetangganya terpaksa mengisolasi diri dan di sisi lain, pada saat bersamaan, muncullah rasa takut tertular sehingga menjauh atau menolak keberadaan tetangga.

    Paradoksal yang lain muncul pada situasi ketika harus tinggal di rumah dengan keluarga. Semestinya batin atau keluarga akan menjadi kokoh ketika seseorang diharuskan ‘lockdown’  di rumahnya sendiri. Apalagi selama ini kita sering mengeluh merasa kurang memiliki waktu untuk keluarga, sehingga semestinya lockdown di rumah bisa menjadi sarana membangun kembali kebersamaan keluarga. Namun apakah yang terjadi? Muncullah  keluhan-keluhan jenuh dengan keluarga, bosan berdiam di rumahnya sendiri, dan tragisnya konon memicu tingginya perceraian atau ambruknya rumah tangga karena selalu bertemu dengan istri yang justru memicu kebosanan.

    Situasi pagebluk atau pandemi korona itu memang memunculkan situasi-situasi tak terduga bahkan melahirkan paradoks-paradoks baru. Namun setidaknya paradoks-paradoks tersebut bisa menjadi celah jalan bertahan dari pandemi ini, minimal bisa menjadi jalan menertawakan ketakutan dan kecemasan. 

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article