Pancasila Sebagai Sebentuk Nalar Publik

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read

jf.id – Suatu ketika saya sempat berdiskusi dengan seorang pemuda yang, menurut klaimnya, seorang ‘nasionalis sejati.’ Baginya, pancasila sudah cukup sebagai suluh berbangsa dan bernegara. Jadi, secara konyol, ia menolak peran agama di sini.

Saya pun sempat tergelitik untuk memblejeti dasar dari argumennya. “Ketika kamu menikah atau mati,” selidik saya, “cukupkah Pancasila sebagai dasar persaksian dan pengesahan atas apa yang kamu lakukan?.”

“Siap dan puaskah bahwa kelak kamu akan mati sebagai seorang nasionalis sejati dengan segala eskatologi dan tata caranya?”

Pemuda konyol itu pun terdiam. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini saya kira penting dikemukakan karena banyaknya orang yang terjangkit pola pikir yang radikal, termasuk kalangan yang mengklaim sebagai ‘nasionalis sejati’ (Parasit dan “Nasionalisme Masturbasif,” Heru Harjo Hutomo, harakatuna.com).

Entah dari mana pola pikir warisan PKI di masa lalu seperti ini mengendapi kepala orang-orang yang mengklaim sebagai “nasionalis sejati.” Saya pribadi tak anti-PKI, tapi ada beberapa hal mendasar yang saya kira luput dari analisis dan pemetaan mereka. Seperti halnya perumusan mereka terhadap kaum feodal yang secara praktis memicu terjadinya aksi sepihak di berbagai wilayah, khususnya di pulau Jawa.

Apakah benar kyai dan pesantren saat itu termasuk kaum feodal mengingat tanah mereka juga tak sempit? Bukankah konflik antara NU dan PKI di akar rumput disebabkan pula oleh salah pengidentifikasian ini?

Kyai di masa lalu memang banyak memiliki tanah yang luas untuk membangun pesantrennya, tapi kebanyakan semua itu adalah hasil wakaf. Dan tentu saja orang-orang PKI tak tahu apa itu wakaf. Berbeda dengan keraton yang memiliki hak tunggal atas tanah, yang pada tahun 1945-46 memicu tuntutan adanya swapraja di Surakarta.

Tanah wakaf adalah tanah hasil pemberian dari masyarakat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Seumpamanya untuk membangun masjid, langgar ataupun pesantren. Dengan demikian, pada dasarnya, ia tak bisa disamakan dengan tanah pribadi. 

Analisis dan pemetaan kaum PKI di masa lalu, yang kini kentara menjejali kalangan yang mengklaim sebagai ‘nasionalis sejati’—atau yang saya istilahkan sebagai kalangan ‘nasionalis masturbasif’—terlalu sempit dan tak dapat menilik berbagai varian yang ada. Maka, dengan mudahnya mereka tergencet dan tumbang ketika keadaan berbalik.

Seumpamanya lagi, eksistensi kalangan nahdliyin yang di masa lalu juga bukan kalangan pemilik modal dan alat-alat produksi, dalam pemetaan kaum PKI tersebut, di manakah mereka mesti diletakkan: kalangan proletar, borjuis, ataukah kalangan kontra-revolusi?.

Bagaimana pun agama, entah dianut secara munafik atau tidak, tetap menjadi pola pikir orang-orang nusantara. Semisal prinsip bela diri dan diperluas lagi sebagai prinsip bela negara.

Bukankah prinsip ini diteladankan pula oleh kanjeng nabi Muhammad (Muhammad, Heru Harjo Hutomo, jalandamai.net)? Demikian pula classless society, bukankah prinsip ini juga menjadi prinsip dari seorang Sidharta Gautama?

Dalam salah satu esai saya, Agama Sipil dan Pecah-Belah Ukhuwah Wathaniyah-Basyariyah (jalandamai.org), saya meletakkan Pancasila sebagai sebentuk hasil dari nalar publik sekaligus menjadi nalar publik itu sendiri. Ia sepadan dengan agama sipil: titik-singgung semua agama dalam urusan etik, bukannya metafisik.

Etika berkaitan dengan bagaimana semestinya orang hidup yang otomatis berkaitan pula dengan orang lainnya sehingga melahirkan pola hidup bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Sedangkan metafisika adalah menyangkut urusan-urusan keimanan yang bersifat privat yang lazimnya bersifat tak tersepadankan—seumpamanya masalah fiqh keseharian, orang-orang muslim wajib melakukan mandi junub seusai berhadas besar, adapun para pemeluk agama lainnya tak mewajibkan hal itu.

Karena itulah, bagi saya, kalangan ‘nasionalis masturbasif’—sebagaimana yang saya kisahkan di atas—hanyalah sekumpulan orang-orang konyol yang maunya enak sendiri: berbuat apapun cukup dengan dasar klaim “nasionalis” dan Pancasila.

Andaikata mereka konsisten, saya kira mereka perlu pula merumuskan tata cara kelahiran, menikah dan kematian. Tapi, kenyataannya hal itu tak ada. Di sinilah kemudian orang mengenal yang namanya batas jangkauan Pancasila sebagai sebentuk agama sipil dan nasionalisme sebagai sebentuk keimanan sipil. 

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article