Pancasila dan Ancaman Potensi Negara Gagal

Tjahjono Widarmanto
5 Min Read
Ilustrasi Potensi Negara Gagal (Sumber gambar: tubasmedia.com/istimewa)
Ilustrasi Potensi Negara Gagal (Sumber gambar: tubasmedia.com/istimewa)

jfID – Seorang sosiolog kontemporer, Francis Fukuyama menengarai bahwa ancaman terbesar abad ini bagi seluruh bangsa di belahan manapun adalah “negara gagal”. Negara gagal adalah negara yang menuju kebangkrutan yang menyandang tanda-tanda kemiskinan, pengangguran, konflik antar kelompok dan merebaknya aksi teror dan ketidaktentraman. Melihat perkembangan situasi dan kondisi akhir-akhir ini, potensi kemungkinan Indonesia menjadi “negara gagal” cukup besar. Kehidupan negara dan berbangsa kita masih saja diwarnai dengan permasalahan-permasalahan kemiskinan, kesehatan, ekonomi, perilaku korupsi serta kekerasan, teror dan konflik antar golongan.

Potensi “negara gagal” ini tentu saja harus dilihat sebagai sebuah realitas yang tidak boleh dinafikan namun harus dihadapi dengan mencari berbagai alternatif yang kritis. Sikap kritis menjadi faktor yang penting untuk bisa jernih melihat fakta bahwa telah terjadi berbagai krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti krisis identitas, krisis kepercayaan, krisis hati nurani, krisis politik dan krisis intelektual. Semua krisis tersebut sebenarnya bermuara pada krisis ideologi.

Selama ini, diakui atau tidak, kita berada dalam sebuah kegamangan dan ketidakyakinan terhadap ideologi. Ideologi menjadi sesuatu yang terpinggirkan baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam hidup keseharian. Sebenarnya dengan kembali kepada penghayatan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila, kembali menempatkan ideologi Pancasila di atas segala aktivitas kehidupan berbangsa akan dapat menjadi penangkal potensi “negara gagal”.

Ideologi dimaknai oleh Cornelis Castoriadis (1975) sebagai sebuah imajinasi sosial. Imajinasi merupakan sesuatu yang memberikan kemungkinan-kemungkinan terhadap kehadiran beberapa objek dan image. Pada ranah sosio-historis, ideologi membangun sebuah imajinasi yang memperhitungkan sebuah orientasi (tujuan) institusi sosial, pembentukan motif-motif, pembentukan kebutuhan-kebutuhan, pengadaan simbol-simbol, tradisi dan mitos. Lebih tajam, Claude Lefort (1978) menegaskan bahwa ideologi harus membuat variasi dan menempatkan makna acuannya pada masa lalu dan masa depan, sain, moral dan etika dalam sebuah tatanan yang utuh untuk membenarkan upayanya mengunci setiap potensi perpecahan dan menjustifikasi tatanan yang mapan.

Penerimaan ideologi Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara merupakan sejarah yang panjang. Proses penerimaannya merupakan pergulatan yang dialektis terhadap berbagai pemikiran yang merupakan proses ideologis yang dinamis. Dengan diterimanya ideologi Pancasila maka imajinasi mengenai bangunan kenegaraan telah menemukan kristalisasinya. Kelima sila Pancasila merupakan rumusan nilai-nilai sekaligus cita-cita yang hidup dan dicita-citakan masyarakat Indonesia. 

Pancasila merupakan rumusan konkrit dalam konteks obsesi bersama untuk membentuk sebuah negara kesatuan yang ideal, dipercaya dan harus selalu diperjuangkan. Pancasila merangkai kondisi sosial historis, kultur bahkan mitos ke dalam sebuah jembatan yang akan membawa Indonesia menuju kejayaan. Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa dan negara, melalui sila-silanya mengarahkan semua elemen masyarakat pada satu gerak.

Sebagai sebuah ideologi, Pancasila harus dibaca dengan dinamika pemikiran yang terus berkembang sehingga bisa menjadikannya sebagai working ideologi yang selalu kaya dengan penafsiran baru sesuai konteks zamannya. Harus diyakini pula, Pancasila sebagai sebuah ideologi kebangsaan memiliki fungsi integratif yaitu menjamin kelangsungan kesatuan bangsa Indonesia yang pluralistik.

Namun sayang sekali, sekarang ini Pancasila terkesan sudah ditelantarkan dan disisihkan. Bahkan muncul berbagai godaan yang meragukannya sebagai sebuah ideologi bangsa dan negara. Upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini masih setengah hati. Wacana tentang Pancasila cenderung melemah, bahkan mulai muncul pemikiran-pemikiran ideologi yang sektarian yang hanya memikirkan kepentingan kelompok dan mayoritas. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang belum menempatkan dirinya untuk tunduk kepada ideologi dan konstitusi. Sedang di sisi yang lain, tidak ada upaya yang menggairahkan untuk mengartikulasikan Pancasila secara berkesinambungan agar semakin kuat tertanam dalam tatanan berbangsa dan bernegara.

Sudah saatnya kita harus menata kembali sekaligus mengupayakan terwujudnya nilai-nilai Pancasila secara sungguh-sungguh. Harus diwujudkan secara kongkret pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila yang pada gilirannya nanti akan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan. Dan itu tugas kita semua!***

Tjahjono Widarmanto. Sastrawan Indonesia, kelahiran Ngawi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article