Paman Dhoplang, Muludan, dan Musikalitas Sholawatan Gaya Pedesaan

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Paman Dhomplang," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.
"Paman Dhomplang," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.

jfID – Saya tak tahu pasti soal kedekatan Paman Dhoplang dan Nabi Muhammad. Yang jelas, sebagaimana kalangan pedesaan lainnya yang telah berusia lanjut, ia sering menyematkan gelar “sayyidina” ketika sholawatan bersama teman-teman sebayanya. Pada bulan Mulud atau Rabiul Awal ia selalu ikut nimbrung di masjid desa untuk menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad.

Ketika saya tanya sehabis sholawatan gaya pedesaan, ia tak tahu benar tentang bagian-bagian atau nama pola sholawatan tersebut. Seingatnya, ia hanya mengenal pola “paksi” dimana nada-nada lagunya ngelik atau menginjak pada nada-nada tinggi.

Sholawatan gaya pedesaan, yang hingga kini masih dapat dijumpai di pelosok-pelosok desa pulau Jawa, berkembang dengan cara tutur-tinular. Sama sekali tak ada notasi lagu laiknya karawitan Jawa yang memudahkan pembelajaran. Maka, seperti halnya Paman Dhoplang, sholawatan gaya pedesaan pun tak urung akan tergilas oleh sang waktu. Pada universitas-universitas seni jurusan karawitan tak pula saya jumpai upaya-upaya tertulis untuk melestarikan jenis kesenian keagamaan yang entah telah tercipta sejak kapan ini.

Tapi bagi saya pribadi, ada satu catatan dari Serat Centhini yang mengisahkan gaya sholawatan yang tak lagi mementingkan aspek syair atau kata-katanya (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, Heru Harjo Hutomo, 2011). “Ak, ik, uk, ek, ok,” demikian Centhini mencatat rekamannya yang berlangsung sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19.

Bagi kalangan muslim puritan yang songong dan “masturbasif” tentu hal ini telah menyalahi kaidah bahasa Arab yang bagi mereka kefasihan akannya mencerminkan tingkat keislaman seseorang. Tentang reaksi kalangan muslim yang songong dan berani malu (wani wirang) semacam ini, biasanya Paman Dhoplang hanya berkilah seperti biasanya, “Nyumanggaaken.” Sebab, ia hanya menjalani warisan dari leluhurnya tanpa perlu mengerti kenapa mesti demikian.

Ada beberapa hal yang perlu saya ungkapkan di sini, perihal keutamaan keyakinan di atas kaidah kebahasaan. Sefasih apapun orang ngomong dengan bahasa Arab, apalagi ketika berdoa, selama ia tak yakin, maka sia-sia pula segala ucapan dan doanya. Seperti halnya kisah Paman Dhoplang tentang teman mudanya yang pernah bertugas di Sumenep, Madura, yang hanya berucap “La wala kuata” ketika membekuk 8 perampok sendirian.

Berkaca pada kasus tersebut, pada akhirnya iman adalah sesuatu yang terletak di seberang bahasa dan logika. Barangkali, Nabi Muhammad yang digelari pula sebagai seorang yang ummi—tanpa perlu meminggirkan peran nalar dan ilmu pengetahuan—menyiratkan bahwa kevakuman pikiran adalah awal bagi adanya penyingkapkan yang terkenal sebagai sebentuk penafian. Ibaratkan seandainya kita adalah seorang tuan rumah, tentu agar sang tamu datang dan nyaman bertamu, kita mesti rajin untuk membersihkan dan membuat elok rumah kita tersebut.

Sholawatan gaya pedesaan, yang bagi kalangan tertentu dianggap bid’ah atau sekedar racauan tanda ketakmengertian agama, pada dasarnya adalah sebentuk penyelarasan gelombang otak yang berwujud musik selaiknya dupa ataupun wewangian lainnya yang dapat memengaruhi kelenjar pineal (Habitus II: Musik Sebagai Sebentuk Deradikalisasi, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Maka, pada akhirnya hanya orang-orang “masturbasif” atau merasa benar sendiri yang berani malu.     

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article