Paman Dhoplang dan Komunisme

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Paman Dhomplang," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.
"Paman Dhomplang," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.

jfID – Bulan September adalah bulan “Darah itu merah, Jenderal.” Kita cukup mengenal salah satu potongan dialog seorang komunis sebelum menyayat pipi salah satu tuparev sebagaimana yang dikisahkan oleh film garapan Arifin C. Noer, Pengkhianatan G30S/PKI. Ketika saya masih SD, pada setiap tanggal 30 September, para guru mewajibkan para anak muridnya untuk melihat film tersebut.

Biasanya saya selalu melihat dari balik punggung ibu saya, apalagi ketika adegan anak salah satu tuparev yang saya tak ingat namanya membasuh wajahnya dengan genangan darah. Saya akui, Arifin C. Noer sangat berhasil dalam membangun ketegangan—bahkan trauma—psikologis para penontonnya, khususnya anak-anak SD saat itu. Ia berhasil menyuguhkan apa itu PKI dan komunisme buat para anak-anak belia yang belum terbentuk nalar kritisnya.

Lain Arifin C. Noer lain Soeharto yang memprakarsai film itu lahir. Salah satu presiden Indonesia itu terkenal dengan kepiawaiannya membungkam, menutup dan membalikkan suara-suara sumbang yang berpotensi mengancam kekuasaannya. Kehebatan seorang Soeharto saya kira tak terletak pada bagaimana ia meraih kekuasaan, sebagaimana yang tersirat dalam roman Arok Dedes Pramoedya Ananta Toer, tapi pada bagaimana ia mempertahankan kekuasaan yang telah diraihnya—yang entah kenapa asosiasi saya selalu merujuk pada Sunan Amral atau Amangkurat II (Membaca Yudhistira, Menengok Kebengisan Kuasa Jawa di Akhir Abad Ke-17, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Berbeda dengan saya yang merupakan generasi ‘80-an, yang ketika peristiwa ’65 entah masih dimana, Paman Dhoplang cukup nyata dalam menyuguhkan peristiwa ’65 sebagaimana ia menyuguhkan zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Ia tak sekedar saksi sejarah, melainkan adalah pelaku sejarah. Dari orang-orang seperti Paman Dhoplang itulah terkadang apa yang terselip atau bahkan absurd dalam sejarah mayor menjadi cukup gamblang. Maklum, sejarah ditangan sejarawan hanyalah hasil abstraksi yang tak jarang seperti halnya melihat selembar potret seorang gadis manis dimana kita hanya dapat melihatnya, tanpa sama sekali tahu ada berapa tahi lalat di sekujur tubuhnya.

Paman Dhoplang, yang sehari-harinya hidup di pelosok desa dan menggantungkan kehidupannya pada sawah, hanya tahu bahwa tetangganya ada yang diam-diam absen setiap hari Senin dan Kamis di kantor kepolisian dan tiba-tiba raib tak berbekas (tak ada sedikit pun pernyataan resmi bersalah, pernyataan resmi kematian, dan kejelasan jasad dari pihak yang berwenang). Konon tetangganya itu seorang jawara di desanya yang, sebagaimana orang-orang lainnya pula, terpaksa ikut-ikutan memperlancar atau membuat aman agenda orang-orang asing yang datang ke desanya. Tak sekedar PKI dengan komunismenya, Masyumi dengan Islam puritannya saat itu juga getol-getolnya ingin mengatur desanya. Konflik pun akhirnya pecah dengan pihak-pihak yang terlibat seperti sama sekali tak tahu tentang apa dan bagaimana seharusnya menjadi seorang komunis maupun muslim. Sebab, dari pihak-pihak yang bertikai itu, adalah sama-sama jawara yang karib dengan kekerasan, sabung ayam, dan azimat-azimat serta kedigdayaan.

Paman Dhoplang pun seolah sadar bahwa benarkah itu semua, peristiwa ’65, adalah konflik ideologis, antara komunisme dan Islam, PKI dengan Masyumi, NU ataupun PNI? Sebab setahunya, para jawara yang terjebak pada konflik itu adalah laiknya orang-orang desa sebagaimana dirinya yang untuk mencari nafkah sehari-hari pun tak gampang. Tiba-tiba kehidupan desa menjadi ramai oleh sesuatu yang datang dari luar desa, baik paham maupun atribut kelompok beserta vokabularinya yang sama sekali tak mereka mengerti. Dan orang-orang pun kemudian berkubu, garis demarkasi ditetapkan, pekik “aku-kau,” “kami-kalian,” “kita-mereka,” digemakan di sepanjang jalan dan ruang-ruang publik. Prinsip utang wirang nyaur wirang, utang pati nyaur pati, akhirnya menjadi prasetya sehari-hari.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article