Paman Dhoplang dan Kemarahan dalam Diam

Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
"Tingwe," 90x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.
"Tingwe," 90x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.

jfid – Telah sekian lama desa dimana Paman Dhoplang lahir dan tinggal dikuasai oleh jaringan-jaringan yang berupaya merusak dari dalam. Sebuah desa yang konon damai, sejak beberapa tahun terakhir, menjadi sebuah arena penyingkiran orang-orang “pribumi.” Sungguh ironis ketika orang-orang “pribumi” menjadi warga desa kelas dua di desanya sendiri.

Dahulu sama sekali tak pernah ada yang meributkan kepercayaan dan kebiasaan para warga desa. Semua seolah berjalan sendiri-sendiri. Yang suka sabung ayam ataupun judi tak pernah bentrok dengan yang suka ke masjid atau langgar. Satu sama lain seolah sama sekali tak berurusan. Atau lebih tepatnya, sudah ada yang mengurusi.

Tapi kini tiba-tiba desa itu berubah. Entah kenapa kebiasaan, atau secara umum dikenal sebagai adat istiadat, dipermasalahkan. Tiba-tiba sebagian besar warga desa yang bekerja sebagai petani kerap dicibir sebagai pengangguran hanya karena musim tanam sudah selesai dan panen masihlah lama. Tiba-tiba para tukang pun diperolok sebagai pengangguran hanya karena musim penghujan tiba dimana tak ada orang yang membangun atau sekedar memperbaiki rumah—sekali pun kemarau tak setiap bulannya ada orang yang memperbaiki rumah.

Demikian pula mengenai kebiasaan peling atau penget dimana seseorang atau sebuah keluarga mengadakan acara doa bersama untuk anggota keluarganya yang sudah meninggal dunia. Tiba-tiba kebiasaan semacam ini dihina-hina sebagai kegiatan yang tak berguna, atau bahkan dengan menghujat orang yang sudah meninggal dunia. Lazimnya, kebiasaan penget ini dilakukan baik oleh kalangan yang suka ke langgar maupun yang sama sekali tidak. Sebab, kebiasaan ini tak semata dipraktikkan oleh kalangan Islam yang tak puritan, namun juga kalangan yang menganut naluri leluhur, kalangan kejawen.

Setali tiga uang, kalangan yang kesehariannya tak mengenal masjid ataupun langgar, dan lebih karib dengan warung ataupun palonthen, tiba-tiba juga suka menyerang kalangan yang suka ke langgar ataupun masjid, dengan mengatai mereka sebagai para pemuja kenikmatan akhirat yang tak nyata atau hanya angan semata. Ekstrimisitas seperti ini pada akhirnya membuat runyam tak semata pada kalangan penganut Islam puritan, namun juga kalangan Islam yang ramah pada kebiasaan-kebiasaan lokal.

Dalam keadaan yang demikian, Paman Dhoplang hanya dapat diam dan enggan berurusan dengan hal-hal yang baginya tak berasal dari desa kelahirannya itu. Sebab, dahulu sama sekali tak ada keributan sama sekali mengenai kebiasaan-kebiasaan warga desa. Tak pernah ada penyebutan dan olok-olok pengangguran—paling-paling hanya istilah “nganggur” yang berarti bahwa mereka bukan pegawai yang bekerja di kantor 5 atau 6 hari dalam seminggu dan bergaji bulanan.

Demikian pula para pelaku dari apa yang kerap dicibir sebagai kelakuan-kelakuan rendahan: pergi ke warung-warung nakal, berjudi atau bahkan kumpul-kebo. Tak ada orang yang tak melakoninya kemudian menghujatnya. Sebab, mereka dahulu juga, sekali dalam seminggu, tetap mengikuti acara Yasinan dan arisan RT. Karena hal itu, setidaknya, meskipun mereka tak pernah shalat dan tak bisa mengaji, kuping mereka juga tak asing dengan hal-hal yang berbau keagamaan. Ketika pun mereka nanti mati, lazimnya para warga desa yang ikut pemberangkatan jenazah akan menyaksian dengan jawaban: “Sae.” Dan mereka pun juga dikubur laiknya kebiasaan warga desa dimana tak pernah ada yang dilarung di sungai ataupun dibakar karena dibenci.

“Secara pelahan desa ini telah punah,” kata Paman Dhoplang ketika aku mencoba menelisik kebisuannya.

“Banyak orang telah lupa pada sejarah desa ini. Hari ini semua orang seakan hidup laiknya para pegawai yang hidupnya serba dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga seperti tak ada gunanya ketika mengetahui masa silam atau kisah para moyangnya.”

Kata-kata Paman Dhoplang itu seakan menyibakkan suatu kenyataan dimana para warga desa seolah lupa pada dirinya yang dalam kultur pedesaan tak dapat dilepaskan dari peran atau keadaan leluhurnya. Maka di hari ini, di desa itu, seorang ustadz akan secara kejam merendahkan orang-orang yang tak sesuai dengan standarnya, padahal entah orangtua ataupun kakeknya sama sekali berada diluar standar sang ustadz. Demikian pula para pengolok orang-orang yang suka ke langgar ataupun masjid, dengan mudahnya mereka akan mengatainya “mendem kulhu” atau mabuk ayat, padahal kakeknya sendiri adalah seorang bilal tahlilan di masanya.

Terlebih, yang menjadikan Paman Dhoplang ngungun, bagaimana mungkin orang yang kerjanya serabutan secara moral-kultural dituntut untuk hidup laiknya para pegawai? Bukankah sudah pasti mereka akan kewirangan sebab tak setiap waktu mereka punya uang, tak setiap hari dapat bercakap dengan wong pangkat atau para pejabat dimana berlaku sebuah pepatah desa: ketika si dekil bergaul dengan si penjual parfum, maka ia pun akan berbau harum? 

Maka, benarlah sebuah teori yang mengatakan bahwa untuk menghancurkan sebuah desa, hapuskanlah sejarahnya dan hancurkanlah warisan-warisan kebudayaannya. Dan aku kira, fakta inilah yang sedang dan akan terus terjadi di desa Paman Dhoplang yang kini kemarahan dalam diamnya menjelma laksana bencana alam dan kemanusiaan. 

Heru Harjo Hutomo: Penulis, perupa dan pemusik, penulis buku Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai (2011), Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang (2020), Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok (2021), Sangkan-Paran (2021).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article