Pada Secangkir Kopi

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Bardud," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Bardud," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

Tan ingsun maparangah kahananmu

Sakaliring dudu jati

Amung daden kang ngreridhu

Nanging tumraping margi

Linampahan kanthi tanggon

—Heru Harjo Hutomo

jfid – Sebagaimana rokok, kopi pun telah memiliki sejarah panjang di Bumi ini. Sebagaimana rokok pula, citarasa kopi pun kerap ditentukan oleh racikan dan bagaimana meraciknya. Tak salah seandainya Kyai Ihsan Jampes menuliskan catatannya tentang hukum kopi dan rokok.

Kyai Ihsan Jampes merupakan salah seorang kyai dari Kediri yang konon sangat produktif dalam menulis. Dalam suatu kisah, semasa mudanya ia adalah seorang penggila pertunjukan wayang kulit yang saat itu, di berbagai komunitas pesantren masih dianggap lekat dengan warung abang dan judi kopyok yang juga tergelar seiring pagelaran wayang kulit.

Atas kebiasaannya itu, nenek Kyai Ihsan muda menyerahkan “kebengalan” cucunya pada almarhum eyangnya, Syekh Yahuda. Tak dinyana, kelak Kyai Ihsan menjadi seorang kyai yang disegani atas kepandaian, ilmu dan karyanya.

Tradisi menulis dan intelektualitas sebenarnya sudah lama menjadi cara hidup di kalangan pesantren. Tapi entah kenapa saat itu tradisi ini seolah menjadi monopoli kalangan modernis. Apakah pembenaman ini bersifat alamiah atau politis memang membutuhkan penelitian lebih lanjut. Yang jelas, ketika intelektualitas itu diukur dengan kekaryaan dan pemikiran yang bersifat visioner, pesantren dengan segala habitusnya sudah menerapkannya sejak lama.

Tak ada keterangan yang pasti, meskipun pernah menulis tentang kopi dan rokok, apakah Kyai Ihsan Jampes juga hobi ngopi dan merokok. Dalam tarekat tertentu memang ada anjuran untuk tak merokok, meskipun boleh ngopi. Entah kenapa dalam beberapa tarekat itu para pengikutnya tak dianjurkan untuk merokok.

Nasab Kyai Ihsan, selain Syekh Yahuda, memang sudah pasti bersambung pada Mbah Mesir di Trenggalek yang konon, dalam catatan Gus Dur, membawa tarekat Syadziliyah yang pertama kali di Jawa Timur. Tarekat yang diwariskan oleh Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili ini memang terkenal dengan citra kebersihannya.

Tarekat pun, dengan demikian, adalah seperti halnya upaya meracik kopi yang pada akhirnya menentukan citarasanya. Itulah kenapa ada beragam kopi di dunia ini sebagaimana tarekat yang konon seturut dengan jumlah helaan nafas manusia yang terasa berbeda ketika dilambari rokok yang ternyata juga ditentukan oleh racikan dan bagaimana meraciknya.

Meracik, baik pada kasus kopi maupun rokok, pada dasarnya adalah menyatukan beragam anasir agar dapat berfungsi secara optimal. Ibarat mengumpulkan dan menyatukan lidi untuk dibuat sapu, pada akhirnya semua itu berpulang pada diri masing-masing. Pertanyaan besar drama spiritualitas manusia pada dasarnya adalah setelah meraih apa yang semestinya diraih: untuk apa kemudian?

Pada kasus Arya Sena dalam lakon Dewa Ruci, karena ibarat tenggelam dalam menikmati racikan kopi dan rokok, Dewa Ruci segera menggugah dan menyadarkannya bahwa tugasnya sebagai seorang ksatria belumlah selesai.      

(Heru  Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article