Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
No Result
View All Result
Kirimkan
Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
Kirimkan
  • Login
  • Register
New & Opini
Home Fokus

Paceklik yang Tak Terbetik

by Heru Harjo Hutomo
4 bulan ago
in Fokus, Opini
Reading Time: 7min read
0
"The Plague (bluk)", 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

"The Plague (bluk)", 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

Share on FacebookShare on Twitter

Dhedhep tidhem prabawaning ratri

Sasadara wus manjer kawuryan

Tan kuciwa memanise

Menggep srinateng ndalu

Siniwaka sanggya pra dasih

BACAJUGA

No Content Available

Aglar neng cakrawala

Winulat ngelangut

Prandene paksa kebegan

Saking kehing taranggana kang sumiwi

Warata tanpa sela

—Dhandhanggula

Lanskap langit ketika malam dan di tengah musim kemarau cukup berserak dengan nyala dan seperti sepenggal momen khusus dalam khazanah kesusastraan Jawa klasik. Apalagi sehabis tengah malam, di atas jam 12, berbarengan dengan apa yang lazim disebut di pedesaan sebagai bedhidhing, hawa dingin yang akrab dirasakan di pertengahan kemarau. Pada saat itu seluruh indera manusia benar-benar berfungsi: mata menatap langit, hidung menghidu wangi kembang pandhan, peraba merasakan dingin yang menusuk, dan kuping hingar oleh derik jengkerik.

Kesusastraan Jawa klasik saya kira begitu kuat dan detail ketika melukiskan alam dan bahkan terkesan hiperrealistis. Sebagaimana juga sastra pedalangan, deskripsi tentang alam setidaknya membutuhkan waktu sekitar 15 menitan untuk sang dalang men-jantur-nya. Barangkali, untuk ukuran kesusastraan dan dramaturgi modern, hal itu terlalu menghambur-hamburkan waktu yang dapat mengurangi suasana dramatiknya. Tapi saya kira tak demikian, deskripsi alam dalam kesusastraan Jawa dan sastra pedalangan klasik tak semata mengetengahkan sebuah seting lokasi.

Seperti se-pupuh tembang dhandhanggula di awal esai ini, lanskap dan suasana alam semacam itu seolah dipandang sebagai olah “kerinduan” pada suasana yang purba. Di masa silam ada sebuah laku yang diambil para simbah ketika dalam kondisi gelisah: tumengeng tawang. Tumengeng merupakan tembung garba dari kata “tumenga” atau menengadah dan sufiks “ing” atau “di” dan “tawang” yang berarti langit.

Hening suasana malam

Rembulan menggantung di langit

Keindahannya tak mengecewakan

Seakan raja malam

Yang dihadap oleh para awam

Bertebaran di cakrawala

Terlihat tak bertepi

Tapi penuh berisi

Saking banyaknya bintang yang hadir

Rata tanpa sela

Se-pupuh tembang dhandhanggula itu lazim ditembangkan dengan memakai tangga nada slendro barang miring, dimana dalam pagelaran wayang kulit digunakan untuk menandai pathet 9 ketika waktu menginjak jam 12 malam. Sang dalang membubuhkan pula lukisan yang sekilas hiperbolis, “Samirana datan lumampah, ron-ronan datan ebah (angin tak berarak, dedaunan tak bergerak).” Pada saat-saat inilah dipercaya lagi bahwa para Dewa tengah nganglang jagat (mengudara seperti sinterklas), membawa bokor (wadah yang terbuat dari kuningan) yang berisi doa-doa tolak balak, sandang dan juga pangan.

Aja turu sore kaki

Ana Dewa nganglang jagat

Nyangking bokor kencanane

Isine donga tetulak

Sandhang kalawan pangan

Ya iku bageanipun

Wong sabar lan nrima    

Dari tembang ber-pupuh asmarandana itu secara tersirat terdapat pagebluk yang berbarengan dengan paceklik. Dalam kesusastraan Jawa, khususnya pada pewayangannya, kedua bentuk “bencana” itu memang sering datang bergandengan. Pagebluk berkaitan dengan wabah dan paceklik berkaitan dengan kelangkaan pangan. Taruhlah wabah semacam corona yang merupakan sebentuk pagebluk yang dilukiskan oleh para dalang saat adegan gara-gara tiba: “Para kawula esuk lara sore mati.” Pada dasarnya adalah juga mengakibatkan paceklik dimana aktivitas ekonomi nyaris mati yang otomatis mengakibatkan kehidupan tak berjalan sebagaimana biasanya. Di masa lalu paceklik memang sering dilukiskan sebagai sebentuk gagal panen karena mayoritas masyarakat Jawa ketika itu adalah petani atau orang-orang yang mengandalkan sawah sebagai sumber penghidupan. Maka dari itu, kini pun paceklik sebenarnya telah pula hadir sebagai akibat dari pagebluk corona. Tanaman seperti padi dan sebagainya di masa lalu hanya bernilai simbolik ketika diterapkan pada masa kini dimana pertanian bukan lagi menjadi sumber penghidupan yang dominan pada corak masyarakat kontemporer. Efek paceklik di masa lalu pada dasarnya serupa dengan efek resesi atau bahkan krisis ekonomi di hari ini.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

ShareTweetSendShare

Related Posts

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo saat sidak Gudang Pupuk di Indramayu

Syahrul Yasin Limpo Jabat Menteri Pertanian, Kelangkaan Pupuk tak Selesai

5 hari ago
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping (Foto: AFP)

Pasti di Take Down Lagi Informasi tentang Tiongkok ini (Baca Cepat)

5 hari ago
Foto : Wakil Gubernur NTB bersama Presiden RI melalui vidio conference dan 34 Gubernur dan Wakil Gubernur se-Indonesia.

Presiden RI: Vaksinasi Dimulai 14 Januari 2021

1 minggu ago
Pantai Tlangoh di Desa Tlangoh, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan (foto: redaksi)

Lagi Penat! Nikmati Merdunya Deru Ombak di Pantai Tlangoh

1 minggu ago
Rusdianto Samawa, dalam Kongres Nelayan Indonesia

Membedah PNBP KKP, Target Strategis; Mampukah?

1 minggu ago

Sikap Front Nelayan Indonesia (FNI) Soal Drone Ngepet

1 minggu ago
Load More
Next Post

Gebrak Masker Terus Berlanjut ke Kabupaten Sumbawa

Discussion about this post

POPULER

  • Baca
  • Opini
  • Berita
Foto : Suasana pelaksanaan Muswil PKB NTB. PKB NTB menegaskan tetap solid dan kompak pasca Muswil.
Berita

Pasca Muswil, PKB NTB Siapkan Program Kerja Kemenangan Partai 2024

16/01/2021
Foto : Gubernur NTB Dr.H.Zulkieflimansyah bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno saat meninjau kerajinan di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah (NTB)
Berita

Sandiaga Uno Ingin Kerajinan Tangan Siap Sambut MotoGP

15/01/2021
Berita

Klaster Perkantoran Semakin Parah, 10 Kepala OPD Pemkab Bangkalan Positif Covid 19

15/01/2021
Foto : Kesaksian Polisi dan warga sekitar di dusun Teluk Nara Desa Malaka Kecamatan Pemenang KLU saat ditemukan kuburan mayat bayi yang diduga hasil aborsi.
Berita

Polisi Temukan Kuburan Bayi Diduga Hasil Aborsi

14/01/2021
Jurnal Faktual

© 2020

Informasi

  • Pedoman
  • Redaksi
  • Periklanan
  • Privacy Policy
  • Tentang
  • Rilis Berita
  • Saran Translate

Terhubung

No Result
View All Result
  • Opini
  • News
    • Birokrasi
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Wisata
    • Profil
    • Polling
  • Kirim Tulisan
  • Login
  • Sign Up

© 2020

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.