Nelayan Lobster Santapan Hukum

Rusdianto Samawa
9 Min Read

jfid – Masalah perikanan tangkap yang melanggar hukum atau lebih dikenal dengan istilah Illegal Fishing sebenarnya sudah menjadi masalah klasik. Mengapa dikatakan klasik? karena masalah ini telah ada dari zaman dulu yang seakan-akan tidak ada habisnya.

Namun, bukan dalam arti berantas IUUF itu mengeneralisasi seluruh alat tangkap nelayan. Sebagaimana yang terjadi pada banyak nelayan Lobster yang distigmatisasi sebagai pelanggar konservasi sumber daya kelautan perikanan.

Makna berantas ilegal fishing bukan pada area dalam negeri. Tetapi area antar negara. Berantas Ilegal fishing tidak mesti diterapkan pada nelayan kecil.

Berita penangkapan Nelayan Lobster oleh POKMASWAS POTO TANO adalah bentuk AROGANSI. Aparat penegak hukum dibidang perikanan / PPNS makin sering kita dapatkan jauh dari rasa keadilan terhadap nelayan lobster. Kasus nelayan dijadikan sapi perah.

Berbagai tindakan kriminal inilah kemudian dikenal istilah Illegal, Unreported, dan Unregulated Fishing (IUU Fishing) yaitu kegiatan penangkapan ikan yang tidak sah, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, dan penangkapan tidak sesuai aturan.

Mengatasi permasalahan ini Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan beberapa kebijakan penanggulangan IUU Fishing salah satunya yaitu penguatan penegakan hukum tindak pidana perikanan.

Kegiatan penegakan hukum tindak pidana perikanan dilaksanakan melalui dua cara, yaitu pencegahan kasus tindak pidana perikanan dan penanganan kasus tindak pidana perikanan.

Pencegahan kasus tindak pidana perikanan meliputi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Mestinya PSDKP Poto Tano dan POKMASWAS Poto Tano melakukan pencegaha. Bukan langsung menangkap dan memenjarakan nelayan.

Terkait hal ini yaitu pengawasan perizinan dan armada kapal perikanan. Sementara itu penanganan kasus tindak pidana perikanan dikategorikan ke dalam tiga tahapan yaitu penyidikan (investigation level), penuntutan (prosecution level) dan tahap pemeriksaan di pengadilan (court level) tahapan inilah yang disebut dengan integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu).

Penyidikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang perikanan.

Untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 Angka 2 KUHAP).

Dalam kerangka sistem peradilan pidana, peran aparatur penegak hukum, khususnya Penyidik, sangat strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran materil karena melalui proses penyidikan sejatinya upaya penegakan hukum mulai dilaksanakan.

Namun, dalam kasus penangkapan terhadap nelayan Lobster Pulau Bungin oleh Pokmaswas Poto Tano sewenang-wenang dengan langsung memenjarakan nelayan tanpa ada proses apapun.

Padahal, nelayan sedang istirahat, belum melakukan aktivitas penyelaman penangkapan lobster. Kemudian, ditangkap oleh Pokmaswas. Posisi Pokmaswas Poto Tano tidak ada dalam struktur hukum dan aturan perundang – undangan. Walaupun, itu hanya sebagai organisasi mitra yang disahkan oleh kepala desa.

Konteks Ilegal Fishing, kompresor tidak katakan Ilegal karena kompresor sebagai alat pernafasan ketika menyelam. Namun, tafsir pelarangan terhadap kompressor itu ada beberapa kajian, yakni:

  1. Ruang lingkup dan pengertian kompressor adalah alat penangkapan, bukan alat bom dan potas.
  2. Pelarangan Kompressor karena dianggap merusak kesehatan karena 50porsen angin dan 50porsen oksigen.

Nelayan berfungsi mencari nafkah dengan melakukan penangkapan lobster dengan cara menyelam. Soal kajian alat kompresor yang mereka pakai menangkap Lobster alam, juga masih disebutkan terlarang di UU Perikanan.

Pemahaman aparat penegak hukum: TNI AL, POLRI, Kejaksaan, PSDKP dan PPNS tidak ada singkronisasi terhadap kriminalisasi yang sering terjadi terhadap nelayan sehingga sudah rahasia umum nelayan menjadi sapi perah.

Dikatakan Ilegal Fishing ketika terjadi secara sengaja melakukan upaya Ilegal fishing berupa bom dan potas. Sudah jelas proses menyelam memakai kompresor.

Jadi harus dibedakan antara kompresor sebagai alat pernafasan dengan tindakan melawan hukum atau sedang melakukan illegal fishing secara destructive: bom potasium.

Penangkapan terhadap 5 orang nelayan Lobster adalah bentuk keonaran pokmaswas Poto Tano yang mentang – mentang sebagai mitra pengawasan sumber daya laut.

Apalagi penangkapan terhadap 5 orang nelayan Pulau Bungin Sumbawa oleh Pokmaswas tidak bisa membuktikan adanya tindak pidana illegal fishing. Karena nelayan tidak sedang lakukan penangkapan lobster dengan menyelam.

Mengapa? karena posisi 5 orang nelayan saat ditangkap Pokmaswas Poto Tano itu: Tidak sedang melakukan penangkapan lobster atau tidak sedang menyelam.

Penangkapan terhadap 5 orang nelayan Pulau Bungin itu menandai bahwa: Arogansi Pokmaswas di wilayah Pto Tano Sumbawa merupakan upaya penciptaan eskalasi konflik baru masyarakat.

Ini tidak bisa dibiarkan, agar pemerintah: GUBERNUR, BUPATI, POLRES KSB – SUMBAWA untuk lakukan mediasi dan menyelsaikan persoalan ini. Karena kalau tidak diselesaikan ESKALASI KONFLIK MASYARAKAT semakin panjang. KKP harus turun ikut menyelsaikan eskalasi konflik nelayan antara masyarakat Pulau Bungin dengan Pokmaswas Poto tano.

PPNS BPSDL juga menerima laporan secara mentah-mentah yang langsung jadikan TERSANGKA kepada 5 orang nelayan tersebut. Yang menyedihkan dari Arogansi pokmaswas adalah langsung penjarakan nelaya di PSDKP Poto Tano Sumbawa Barat.

Padahal kegiatan penyidikan tindak pidana perikanan sesuai dengan tercantum dalam Pasal 73 UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 (Selanjutnya disebut UU Perikanan) menjelaskan bahwa penyidikan tindak pidana perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Perwira TNI AL, dan/atau Pejabat Polri.

Secara terminologi PPNS Perikanan menurut PP Nomor 58 Tahun 2010 Pasal 1 angka 6, adalah Pegawai Negeri tertentu sebagaimana disebutkan dalam KUHAP, baik yang berada di pusat mauapun di daerah yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dalam hal ini wewenang dalam penanganan tindak pidana perikanan.

PPNS Perikanan merupakan salah satu trisula dalam memperkarakan tindak pidana perikanan sebagaimana yang tertuang dalam UU Perikanan pada pasal 73A, penyidik memiliki 12 kewenangan, yaitu : 1). menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; 2). memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; 3). membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; 4). menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 5). menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 6). Memeriksan kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan; 7). memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; 8). mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; 9). membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; 10). melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; 11). melakukan penghentian penyidikan; dan 12). mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan.

Proses Penanganan Tindak Pidana Perikanan

Kewenangan PPNS Perikanan yang diatur dalam UU Perikanan merupakan lex specialis derogat legi generalis, salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus kesampingkan aturan hukum yang umum. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik, Ditjen PSDKP kemudian menetapkan Keputusan Dirjen PSDKP No.372/DJ-PSDKP/2011, tanggal 29 Desember 2011 tentang Petunjuk Teknis Penyidikan Tindak Pidana Perikanan.

Juknis tersebut menjadi petunjuk bagi PPNS perikanan untuk melaksanakan penyidikan yang dimulai dari pemeriksaan pendahuluan, serta penerimaan dan penelitian perkara tindak pidana perikanan yang diserahkan oleh Kapal Pengawas Perikanan.

Selain itu, juga menjadi petunjuk dalam melaksanakan proses penyidikan yang meliputi Surat Perintah Tugas, Surat Perintah Penyidikan, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, Pemanggilan, Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Pemeriksaan, dan in Absentia.[]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article