Nasib Akal Sehat di Tengah Kebudayaan Klambrangan

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Penakna Lungguhmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014
"Penakna Lungguhmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014

like a leaf falls and flies

the wind knows whereit goes…

—Heru Harjo Hutomo 

jfID – Seseorang tiba-tiba datang ke sebuah kampung dan ia mengabarkan bahwa ada seorang Ratu Adil di sini lengkap beserta jajaran dan aset kerajaannya. Orang-orang kampung pun heboh dengan kabar itu. Dengan cara tutur-tinular akhirnya mereka laiknya kitiran atau komedi putar yang berpusar tiada henti, hingga bahkan membuat muntah orang yang terlibat di dalamnya atau yang sekedar menjadi penonton. Realitas kehidupan yang bahkan pahit mereka lupakan untuk sekedar berjuang demi Sang Ratu Adil yang “embuh” atau tak jelas. Mereka histeris dan menduga-duga tentang kabar itu. Kubu-kubu lalu tercipta dengan sendirinya. Ada yang tiba-tiba memerah, membiru, menghijau, menghitam, dan menguning. Masing-masing berebut klaim. Masing-masing muluk dengan umuk. Dan perang pun berkobar dengan meninggalkan tangis, sesak hati, dendam, dan rasa wirang yang berkepanjangan. Sebab, ketika hari yang ditentukan tiba, ternyata yang biru dan yang merah berada di satu kubu. Atau, yang hitam dan yang kuning, kemudian terpaksa mengubu pada yang biru dan yang merah karena rasa bersalah. 

Padahal tak jelas benar redaksi awal kabar itu. Benarkah kata-kata “di sini” mengacu pada sebuah wilayah dan “Sang Ratu Adil” mengacu pada sosok tertentu? Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur, “wis kadhung,” kata orang-orang kampung (Kadhung Kedhuwung: Goa dan Beberapa Catatan Tentangnya, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).    

Menyimak politik di hari tak ubahnya menyimak dongeng di atas. Dalam istilah Tom Nichols (Parasit dan “Nasionalisme Masturbasif”, Heru Harjo Hutomo, https://www.harakatuna.com), kebudayaan di hari ini ditandai oleh dibantainya apa yang disebut sebagai “para ahli” (the experts). Tak sebagaimana corak masyarakat di masa silam yang ditandainya oleh adanya diversifikasi, pemilahan orang berdasarkan spesialisasi atau keahliannya untuk menghindari kekacaubalauan yang terjadi di masyarakat. Kebiasaan untuk malu bertanya atau meminta dan memberi klarifikasi serta secepat kilat menghakimi adalah karakteristik lainnya masyarakat hari ini. Banyak kita saksikan orang-orang yang minim informasi, kuper, tiba-tiba mengontrol atau mengatur-atur orang—atau setidaknya diberi ruang untuk membunuh dan menggantikan para ahlinya.

Saya pernah menyebut kebudayaan yang dihidupi masyarakat seperti di atas sebagai kebudayaan klambrangan (Era “Klambrangan” Era Desas-desus, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Pasca 2014 saya kira kebudayaan semacam ini telah berunjuk gigi dan menyertai peristiwa-peristiwa politik praktis di Indonesia sesudahnya, khususnya di akar rumput. Banyak dari kita, baik secara sadar ataupun tak sadar, hidup di atas sesuatu yang pada dasarnya bersifat klambrangan, belum pasti kebenarannya tapi sudah menjadi dasar dalam menilai, menimbang, bersikap dan memutuskan sesuatu. Maka tak jarang, orang kewirangan cukup murah dan mudah ditemukan di hari ini laiknya debu yang menempel di lantai, kaca-kaca, atau dedaunan di pinggir jalan.  

(Heru Harjo Hutomo/ Penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article