Mualaf di Bawah Bayang-Bayang Radikalisme

Heru Harjo Hutomo
11 Min Read
"Ruang Ambang" 29x37 cm. Goresan jari, abu rokok di atas kertas (Karya Heru Harjo Hutomo, 2017)
"Ruang Ambang" 29x37 cm. Goresan jari, abu rokok di atas kertas (Karya Heru Harjo Hutomo, 2017)

jfIDMualaf  dalam agama Islam dimengerti sebagai orang yang hatinya dilunakkan oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari sistem kepercayaan di luar agama Islam tapi tertarik pada agama yang dirisalahkan oleh kanjeng nabi Muhammad itu. Ketertarikan mereka dilatari oleh berbagai sebab: pernikahan, proses belajar dan menemukan Islam secara keilmuan, hidayah (mimpi, ilham, pengalaman batin, dsb). Lebih jauh lagi, mereka tak hanya tertarik tapi juga sampai mengucapkan kalimat syahadat sebagai syarat rukun Islam yang pertama. Kalimat Syahadat tersebut  berbunyi: “Asyhadu Alla Ilaaha Illalah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” (Aku bersaksi bahwa tak ada Tuhan melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah). Dengan mengucapkan kedua kalimat syahadat tersebut, idealnya ia dituntut untuk secara sadar menerima konsep tauhid (monoteisme) dan mengakui bahwa kanjeng nabi Muhammad sebagai rasul pungkasan yang membawa risalah kenabian sekaligus secara lahir dan batin memeluk rukun iman dan menjalankan rukun Islam. Kami kira ada beberapa permasalahan ketika pengertian ini yang disematkan pada mualaf.

Pertama, persoalan identitas formal yang bagaimana pun terkait pula dengan sengkarut teologis: iman ‘inda Allah yang tak dapat diukur dan iman ‘indannas yang dapat diukur. Ada sebuah hikmah bahwa sealim dan sesaleh apapun seorang jin, kita sebagai manusia tak wajib berguru padanya dan mematuhinya. Sebab bagaimana pun, ia bukanlah golongan kita. Hal ini adalah sebentuk analogi ketika seorang non-muslim, meskipun seumpamanya ia lebih pandai dan lebih saleh dari kita yang notabene sudah beragama Islam secara formal, segala khotbahnya akan senilai dialog ketoprak karena jelas ia tak melakoninya. Begitu di sadarkan pada satu fakta formal bahwa ia bukanlah seorang muslim, maka runtuh sudah ia punya khotbah. Ada memang adagium yang mengatakan bahwa tak peduli siapa yang mengatakannya seandainya perkataannya memiliki nilai kebenaran, maka ia perlu didengarkan. Tapi agama bukanlah budaya, meskipun keduanya tak dapat diceraikan. Konsekuensi keyakinan bahwa Jesus menebus dosa umatnya tentu berbeda dengan keyakinan bahwa kanjeng nabi Muhammad adalah sang pemberi syafaat. Demikianlah logika sederhananya, bukankah kanjeng nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak, lebih daripada ilmu dan kata-kata berhikmah semata?

Belum lagi status keislaman yang tak memiliki bukti formal yang membuat si mualaf lemah secara hukum. Taruhlah seorang pengendara motor yang tak memiliki SIM, tentu tak akan membuat jenak perjalanannya, yang akan senantiasa dihinggapi kekhawatiran—padahal khawatir jelas bukanlah sikap seorang yang memiliki iman (sapa was bakale tiwas). Apalagi nanti seandainya si mualaf yang tak memiliki identitas formal mati, jasadnya akan disikapi dengan tata cara yang mana, keislamannya yang secara ‘indannas terbenam (khumul), tak dapat dibuktikan secara formal, atau identitas agama formalnya yang lama? Tentu, mati dengan cara terlalu merepotkan orang lain bukanlah ideal kematian seorang muslim. Analogi semua ini adalah bukti bahwa iman ‘indAllah pada akhirnya tak dapat dilepaskan dari iman ‘indannas. Dengan demikian, pengertian bahwa mualaf adalah orang yang tengah belajar agama Islam ataupun belajar beragama Islam adalah keliru yang justru akan melemahkan posisi mereka secara hukum. Ketika mereka tanpa identitas formal tengah belajar tentang agama Islam, maka akan aman secara hukum ketika diperlakukan sebagaimana mahasiswa/i ilmu perbandingan agama atau bahkan islamolog.  

Kedua, permasalahan muncul saat banyak mualaf (dalam pengertian lamanya) berpindah ke agama Islam tanpa bekal wawasan yang cukup tentang Islam dan dinamikanya, atau kalau tak demikian, tanpa “tangan pertama” yang tepat. Mereka kebanyakan adalah orang biasa yang belum mengetahui berbagai renik agama Islam yang berkembang di sekitar mereka. Perkembangan yang dimaksud adalah Islam sebagai agama tak dapat dilepaskan dari konteks kesejarahan, sosial, politik, dan geografis. Umumnya mereka hanya mengetahui bahwa Islam tunggal atau tanpa varian di dalamnya. Mereka tak menyadari bahwa terdapat banyak kelompok dan aliran sebagaimana sunni dan syiah. Belum lagi berbagai varian dalam sunni yang memiliki karakter dan konsekuensinya sendiri: Wahabi, Salafi, Salafi-Wahabi, Salafi-Jihadi, Ikhwanul Muslimin, Nahdliyah (yang berwadahkan NU), kelompok Sufi dan berbagai ragam tarekatnya—hingga ada yang juga berjambang laiknya penganut Islam radikal, dsb.  Belum lagi tipologi dalam Islam di Indonesia semisal Islam Nusantara (NU), Islam Berkemajuan (Muhammadyah), Islam Terpadu (PKS), dst.

Keterbatasan wawasan tersebut yang menyebabkan kalangan radikal pengusung khilafah Islamiyah melihat para mualaf sebagai target yang empuk. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan mereka berbuat demikian. Pertama, para mualaf umumnya memiliki wawasan Islam yang minim. Kondisi ini menyebabkan kalangan radikal mudah untuk menanamkan doktrin mereka (meradikalisasi). Kedua, dalam kelompok mualaf terdapat orang-orang yang memiliki masa lalu yang kelam dan ingin bertobat melalui Islam. Kelompok inilah yang menjadi target utama kalangan radikal dengan secara mudah menawarkan jalan pintas pertobatan. Ketiga, para mualaf memiliki sisi psikologis yang rentan secara sosial. Mereka mengalamai peristiwa buruk yang disebabkan oleh pilihan  memeluk agama Islam: kehilangan pekerjaan ataupun kehilangan rumah (diusir oleh keluarga). Karena itulah mereka pada akhirnya serasa kehilangan fungsi sosialnya dan berjuang untuk mendapatkan pengakuan terkait dengan diri dan keislamannya. Kerentanan psikologis, sosial dan hukum sekaligus inilah yang dimanfaatkan oleh kalangan Islam radikal.

Selain itu kalangan pendukung khilafah tahu bahwa para mualaf memiliki ghirah keagamaan yang tinggi. Mereka membuat berbagai organisasi dan jejaring untuk menjerat dan mengumpulkan para pelintas agama itu agar dapat dipengaruhi dan dikontrol. Radikalisasi seorang mualaf hanya dapat terjadi kerena adanya kontak dengan komunitas radikal baik secara organisasional, lewat pengajian, mengaji pada internet, pertemanan dengan kalangan radikal, dsb. Seorang mualaf dapat tanpa sadar membangun jejaring komunikasi dengan kelompok radikal melalui kondisi habitat tertentu (Menakar Gerakan Makar “12:00”, Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi, https://harakatuna.com). Habitat tersebut akhirnya secara sistematis mematikan nalar kritis para mualaf.  Mematikan nalar kritis adalah sebentuk upaya dalam mengarahkan orang untuk memiliki pola pikir yang mementingkan identitas, simbol, dan atribut daripada nilai-nilai substansial yang bersifat universal (Terorisme dan Matinya Nalar Kritis, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Logika radikal kelompok pendukung khilafah berbentuk diskursus terkait pengenalan berbagai standarisasi keislaman seseorang. Mereka mendefiniskan bahwa menjadi Islam secara kaffah (total) dibatasi pada penampakan atribut fisik belaka seperti halnya penggunaan jilbab untuk kalangan perempuan (Mengurai Fenomena Jilbab Kelas Menengah Kita, Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi, https://islami.co) dan menumbuhkan jengot untuk para lelakinya (Atas Nama Jengot, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Selain itu mereka juga menciptakan imajinasi kebesaran dan kejayaan Islam di masa silam (masa nabi) sebagai waham dan fantasi atas semangat formalisme keagamaan (Waham Kebesaran Islam, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). 

Seandainya para mualaf terjebak dalam logika radikal salah satu kemungkinan yang terjadi adalah mereka tak akan dapat melihat secara jernih berbagai persolan yang dialami oleh masyarakat, lingkungan sosial dan bahkan masalah kebangsaan. Radikalisme yang telah mengakar telah membutakan mata mereka bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa memiliki berbagai macam suku, agama dan budaya. Hal itu dikarenakan kuatnya fantasi khilafah yang berhasil menghancurkan nalar kritis para mualaf yang terjebak dalam pusarannya. Dengan kata lain, hal tersebut berefek pada hilangnya kemampuan untuk membedakan kenyataan dan rekaan (setingan) kelompok radikal. Kehancuran nalar kritis adalah penanda bahwa psikologi para mualaf sebagai subjek hancur dan dikuasai secara penuh oleh kelompok radikal. Kondisi kejiwaan semacam ini muncul dalam berbagai bentuk histeria yang terwujud dalam obsesi terkait dengan khilafah (Histeria dan Neurosis Obsesional Diskursus Politik Kontemporer Indonesia, Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi, https://www.idenera.com). Hal ini seturut dengan banyaknya orang yang telah “digoreng” sedemikian rupa oleh kalangan radikal untuk menjadi trendsetter seperti ustadz atau ustadzah dadakan.

Terpaparnya para mualaf dengan paham radikal tentu disayangkan. Mereka seharusnya menjadi kelompok yang memiliki potensi untuk memperkokoh peran Islam dalam membangun semangat cinta tanah air dan kebangsaan di bumi Indonesia. Hal tersebut dapat ditemukan dalam semangat tasamuh (toleransi) sebagai kata kunci untuk mempertemukan berbagai nilai universal yang dimiliki Islam dengan nilai-nilai kebangsaan. Oleh karena itu, para mualaf harus dipertemukan dengan guru atau orang-orang yang memiliki kemampuan membimbing yang tak sekedar dalam bidang keagamaan, tapi juga dalam pemahaman terkait dengan rasa cinta tanah air dan kebangsaan. Seandainya tak seperti itu maka kita akan lebih banyak lagi melihat ustadz ataupun ustadzah dadakan yang berasal dari kelompok mualaf yang gagal mempertemukan berbagai nilai universal Islam dengan nilai-nilai kebangsaan.

(Esai kolaboratif Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi)

Heru Harjo Hutomo

Penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik

Lulusan fakultas filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Lulusan Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Yogyakarta

Ajeng Dewanthi

Peneliti Lepas Budaya, Sejarah dan Politik

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Lulusan Program Pasca Sarjana Ilmu Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article