Montase Radikalisme Kontemporer

Heru Harjo Hutomo
9 Min Read
"Klambrangan," 60x90 cm, Akrilik di atas kanvas (Heru Harjo Hutomo, 2017)
"Klambrangan," 60x90 cm, Akrilik di atas kanvas (Heru Harjo Hutomo, 2017)

jfID – Karl Heinrich Marx telah lama mati. Sampai akhir abad ke-19, analisis sosial, ekonomi dan politiknya, seakan menjadi pegangan para revolusioner di berbagai belahan dunia. Berdasarkan Marx, konflik pada dasarnya adalah karakter khas dari suatu masyarakat dimana dalam polemologi, atas dasar hal itu, tak bisa dienyahkan. Ia hanya dapat diolah untuk meminimalisir berbagai dampaknya yang sampai pada taraf tak meruntuhkan kerangka suatu masyarakat. Dengan kata lain, dialektika adalah sebuah keniscayaan bagi adanya suatu perubahan.

Tapi, saya kira, di paruh akhir abad ke-20, atau tepatnya pada dekade 60 dan 70-an, berbagai analisis Marx tak lagi dapat digunakan untuk membaca kondisi yang dikenal sebagai pascamodernitas. Taruhlah problem gender yang di masa Marx sampai Lenin—untuk menyebut beberapa teoritisasinya yang utama—belum menjadi sebuah isu tersendiri yang bersifat otonom, sekalipun ada masih dalam kerangka konflik kelas yang berbasis pada ekonomi sebagai faktor determinan. Segala hal pada akhirnya direduksi pada faktor ekonomi tersebut. Padahal, analisis ekonomi-politik sangat tak memadai lagi untuk menguliti fenomena radikalisme dan terorisme (“Petaka Melankolia dan Sekelumit Bom Surabaya,” Heru Harjo Hutomo, dlm. Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan, idenera.com, 2019).

Taruhlah berbagai aksi yang berujung ricuh atas penolakan Omnibus Law. Dalam hal ini saya sama sekali tak berkepentingan dengan UU Cipta Kerja yang menjadi penyebab berbagai aksi anarkisme di berbagai kota di Indonesia. Tulisan kali ini hanya ingin membedah struktur gerakan, dalang dan pola perlawanan yang kalangan yang sekilas kontra atas disahkannya UU tersebut yang tak lagi dapat dibaca dalam kacamata lama. Saya telah banyak mengupas pergerakan serupa yang terjadi sejak aksi 4/11 pada tahun 2016 sampai aksi penolakan UU Cipta Kerja yang berujung aksi-aksi anarkisme:

  1. Atas Nama Jumbleng: Mengulik Politik Wani Wirang di Penghujung Ramadhan, https://jalandamai.org 
  2. Menggadaikan Nurani: Mengenali Radikalisme dan Terorisme Mutakhir di Indonesia, https://jalandamai.org 
  3. Radikalisme dan Hiruk-Pikuk Politik, https://jalandamai.org 
  4. Hikayat Gelombang Wani Wirang dan 4 Pilar Kebangsaan, https://jalandamai.org 
  5. Nasib Akal Sehat di Tengah Kebudayaan Klambrangan, https://jurnalfaktual.id/webdev  
  6. Genealogi Politik Wani Wirang, https://jurnalfaktual.id/webdev 
  7. Berlalu di Zaman (yang Tak Benar-Benar) Baru, https://jurnalfaktual.id/webdev 
  8. Corona, Ancaman Radikalisme, dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia, https://jalandamai.org  
  9. Kelindan Khilafaisme dan Nasionalisme Sempit di Indonesia, https://jalandamai.org
  10. Hikayat Binatang Beragama, https://jalandamai.org 
  11. “Bertolak Dari yang Ada,” https://jalandamai.org 
  12. Era “Klambrangan”, Era Desas-desus, https://alif.id

Sejak aksi bela Islam 4/11 pada tahun 2016 hingga aksi penolakan UU Cipta Kerja saat ini (2020), sebenarnya klaim, struktur dan pola pergerakan penolakannya di lapangan memiliki kemiripan. Tapi entah kenapa sejak aksi 4/11 hanya ada dua aktor besar yang dapat dibatasi oleh pemerintah Indonesia: Rizieq Shihab dan Bahar Bin Smith. Padahal, meski kedua simbol perlawanan pada pemerintahan yang sah tersebut sudah tak berfungsi secara fisik, berbagai provokasi pada pemerintah dan aksi di lapangan yang tak jarang karib dengan kekerasan masih saja terjadi. Saya kira pola pergerakan perlawanan kontemporer yang sarat dengan kekerasan dan anarkisme, baik dengan kedok agama maupun non-agama, tak lagi dapat mengacu pada satu figur dalang besar. Asumsi ini terbukti telah gagal dalam membendung gerakan-gerakan perlawanan yang bersifat massal dan yang telah banyak menyalahi hukum serta undang-undang yang ada sejak 4 tahun belakangan ini.

Satu hal yang pasti, di zaman pascamodern ini tak ada lagi yang namanya pusat, hierarki, ketergantungan, grand narrative sekaligus grand figures. Satu karakteristik dominan dalam kebudayaan kontemporer, termasuk aksi-aksi kejahatan atau yang telah menyalahi undang-undang, adalah adanya dispersifitas yang menyebabkan tak gampangnya sesuatu ditangani secara tepat sasaran, sekali dan untuk selamanya. Hal ini menyangkut pula berbagai aksi anarkisme, aksi kejahatan, radikalisme dan terorisme kontemporer.

Taruhlah gerakan-gerakan yang bersifat tandingan yang tak lagi dapat digeneralisasi sebagai sebuah konflik kelas sebagaimana di masa lalu antara buruh dan majikan, orang miskin dan orang kaya, orang kafir dan orang beriman, dst. Kita tak lagi hidup di zaman Jean-Jacques Rousseau yang percaya pada adanya “kehendak umum.” Berkaca pada aksi penolakan UU Cipta Kerja yang berujung anarkisme beberapa waktu lalu dan masih akan berlangsung beberapa hari ke depan, orang dengan mudahnya dapat menjumpai sekumpulan orang yang bukan buruh semata, tapi juga para aktivis progresif, aktivis konservatif, mahasiswa/i, anak-anak SMA, SMP, kalangan yang berlatar-belakang keagamaan, dan bahkan—sebagaimana aksi-aksi terdahulu—sekumpulan preman dan para pemakai narkoba. Adakah “kehendak umum” pada kumpulan-kumpulan orang itu? Bayangkan hal itu ada, tapi bagaimana kemudian logikanya menyatukan berbagai kepentingan yang berbeda, atau dalam istilah Rousseau disebut sebagai “kontrak sosial,” pada masing-masing golongan yang tak nyambung alias bertentangan, kalangan progresif dan kalangan anti-komunis, para ustadz dan preman seumpamanya? Bukankah radikalisme dan premanisme secara hakiki tak mengenal kamus berbagi ruang (Mengakrabkan Diskursus Kontra Radikalisme-Terorisme Pada Anak-anak, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual)? Dan dapatkah gerakan-gerakan yang menolak Omnibus Law yang berujung ricuh tersebut disandarkan pada satu figur besar sebagaimana Rizieq Shihab dahulu kala? Terbukti, meski Imam Besar FPI itu telah LDR-an dengan para pengikutnya, aksi-aksi dengan pola dan permainan isu yang serupa tetap terjadi, entah bercorak “kiri” maupun “kanan,” “sekuler”maupun “keagamaan.”

Saya kira, pada akhirnya, kita mesti berpikir ke pinggir, memecah untuk mengikuti “kuasa” kontemporer yang terpecah dalam rangka untuk mengungkap itu semua (Mengupas Konsep Kekuasaan Jawa: Subasita, Palilah, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Kejahatan yang berkategori kakap seringkali adalah akumulasi kejahatan yang berkategori teri. Kejahatan berskala lokal plus kejahatan yang berskala lokal adalah kejahatan yang berskala nasional yang tersambung oleh pola dan skema yang sama (Maling Teriak Maling: Analisis Diskursif Tentang Kemungkinan Maraknya Kejahatan, Radikalisme dan Terorisme di Tengah Wabah Corona, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Saya pernah memetakan struktur gerakan IS di Marawi yang terdiri dari jaringan wis wani wirang dan jaringan “masturbasif” (Yang Tertolak: Menguak Struktur Jaringan Radikalisme dan Terorisme Kontemporer di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Taruhlah dalam setiap kabupaten atau kota dan bahkan desa terdapat 1 jaringan wis wani wirang sebagai penyandang dana yang memiliki ingon-ingon atau “anak-anakan” yang berasal dari jaringan “masturbasif,” sebagai konseptor sekaligus para aktor lapangannya, yang berjumlah 5 atau 7 orang. Kemudian secara diskursif mereka menisbahkan gerakan ini semua pada satu atau dua figur besar nasional tertentu sebagai “janggol” atau simbol belaka dengan cara klambrangan yang sebenarnya tak terlalu berarti dan diikuti—sebagai pengalih endusan jaringan sekaligus aksi kejahatan yang berskala lokal belaka, dimana saking lokalnya seolah tak berarti untuk mengungkap kejahatan yang bersakal nasional. Pada momen-momen yang tepat kemudian mereka beraksi di luar kota sebagai sebentuk pelenyapan jejak kejahatan jaringan wis wani wirang yang berskala lokal (Diseminasi Konflik dan Hikayat Kentut, Heru Harjo Hutomo,  https://jurnalfaktual.id/webdev). Bukankah aksi-aksi penolakan Omnibus Law yang berujung kisruh di suatu kota hampir semuanya dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari luar kota yang bersangkutan sebagaimana di Bali, Surabaya, dan Jogja? Dengan demikian, di zaman kontemporer ini segala hal, termasukkejahatan, adalah laiknya montase yang secara sekilas terlihat membingungkan.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)     

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article