Mitologi dalam Sastra

Tjahjono Widarmanto
7 Min Read
"Penakna Lungguhmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014
"Penakna Lungguhmu," 40x50 cm, media campur di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2014

jfID – Sastra bagi Budi Darma adalah kepanjangan dari mitologi. Di dalam mitologi terdapat tokoh-tokoh yang mengalami konflik kejiawaan. Demikian pula dalam teks sastra, di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mengalami masalah psikologis. Oleh karena itu mitologi tak dapat diceraikan dari sastra dan psikologi.


Frye dalam artikelnya berjudul Archetypal Criticsm; The Teory of Myths menunjukkan tiga hal yang berkaitan dengan mitologi dan sastra. Ketiga hal itu adalah, pertama, teks sastra selalu mengikuti mite, yakni usaha sederhana dan awal mengenai citra manusia purba tentang hubungannya dengan ‘dunia luar’ dirinya (supranatural). Teks sastra yang mengikuti mite ini pada umumnya bertemakan religi-mistik, terlahir dari kepercayaan dan ritual yang sakral. Kedua, mitologi sudah bercampurkan dengan teks sastra sehingga mite itu sendiri bersifat inheren dalam proses penciptaan teks sastra, dan ketiga, kritikus arketipe sangat beruntung karena dapat mengambil manfaat dari segala bidang yang sesuai dengan penghayatannya terhadap karya sastra.


Mengutip Strauss, Endraswara (2003) menyatakan bahwa mitos tidak selalu sama dengan konsep mitos pada umumnya. Mitos tidak selalu dengan relevan dengan sejarah dan kenyataan. Mitos juga tidak selalu sakral atau suci. Mitos yang suci di suatu wilayah tertentu, di tempat lain dianggap biasa. Mitos yang oleh sekelompok masyarakat diyakini sebagai kenyataan, di tempat lain bisa saja dianggap khayalan.


Mitos bisa berupa apa saja yang mewujud dalam bahasa. Mitos adalah bahasa, bagian dari bahasa yang subtansinya tidak terletak pada gaya, irama maupun sintaksisnya melainkan pada cerita yang diungkapkan. Fungsi mitos terletak pada satu tataran khusus yang di dalamnya makna-makna melepaskan diri dari landasan yang semata-mata kebahasaan.


Lebih detil, Barthes menyatakan bahwa mitos adalah bagian dari tuturan sesuatu yang hampir menyerupai representasi kolektif di dalam sosiologi Durkheim. Mitos dapat dibaca pada tuturan-tuturan anonim seperti iklan, pers, semboyan, jargon, dan sebagainya, yang dikendalikan secara sosial dan merupakan suatu cermin yang terbalik, dalam artian, mitos membalik sesuatu yang kultural atau historis menjadi ilmiah. Melalui kajian semiologis, inversi pada mitos dapat dikembalikan dengan cara memilah amanatnya ke dalam dua buah sistem signifikasi. Sistem signifikasi itu, pertama, sistem konotasi yang petanda-petandanya bersifat ideologis; kedua, sistem denotasi yang berfungsi menetralisasikan proposisi dengan cara memberikan sebuah jaminan berupa sesuatu yang paling inonsens yaitu bahasa.


Persoalam mitos adalah persoalan setiap kelompok masyarakat. Mitos selalu hidup dalam suatu masyarakat tertentu dan memberi pengaruh terhadap pola tingkah laku dan pandangan hidup masyarakat tertentu. Di dalam kondisi yang benar, mitos yang hidup dalam masyarakat dapat mengembangkan integritas masyarakat, memadukan kekuatan kebersamaan yang terpecah, membentuk solidaritas, meneguhkan identitas kelompok dan harmonisasi kultural.


Mitos dalam genre puisi juga memberi aspek penting. Mitos menjadi salah satu inti struktur puitis selain citraan, metafora, dan simbol. Mitos sebagai struktur inti puitis menjadi tanda adanya sistem komunikasi yang memberikan pesan berkenaan dengan masa silam, ide, ingatan dan kenangan atau keputusan yang diyakini.
Tidak tepat menggambarkan mitos sebagai gagasan atau konsep. Mitos merupakan suatu lambang dalam bentuk wacana. Lambang-lambang mitos tidak selalu terwujud dalam bentuk tulisan, tetapi dapat berupa film, benda, atau peralatan tertentu. Mitos muncul dalam balutan perlambangan atau simbolisasi.


Kajian mitos dalam teks sastra melahirkan kritik mitologis. Ada yang menyebutnya sebagai kritik mistis, kritik arketipe yang mengacu pada psikologi Jung, dan kritik metopoik. Semua istilah tersebut merujuk pada hal yang sama, yakni kritik sastra ‘kisah masa lalu’ yang irasional yang menjadi kepercayaan masyarakat pada zamannya.


Sebagai sebuah kritik sastra, kritik mitologi memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan-kelebihan itu antara lain, pertama, menunjukkan adanya kesadaran purba pada penulis agar tidak tercerabut dari akar tradisi dan budayanya. Kedua, menunjukkan adanya warna lokal daerah atau warna setempat yang memiliki kearifan lokal atau lokal genius yang mengacu pada nilai-nilai luhur. Ketiga, menunjukkan pengaktualan tema-tema budaya masa lalu ke dalam budaya baru. Keempat, membuktikan adanya multikulturalisme dan pluralisme budaya bangsa. Kelima, menunjukkan adanya transformasi budaya atau refleksi budaya bangsa dari masa lalu ke masa sekarang dan ke arah yang akan datang. Keenam, membuktikan adanya intertekstual dan hipogram pada teks-teks sastra yang ditulis kemudian. Dan yang ketujuh, dapat sebagai sebuah upaya memahami jiwa rakyat karena mitologi bersumber dari cerita rakyat.


Representasi mitologi dalam teks-teks sastra Indonesia sangat dimungkinkan karena adanya mitologi tertentu yang dipengaruhi budaya tertentu yang menjadi sumber dan inspirasi tercipta dan tumbuhnya mitologi tersebut. Misalnya, budaya Jawa merupakan sumber lahirnya penciptaan atau memberi pengaruh terhadap kesusastraan Indonesia.


Berkaitan dengan mitologi dalam teks sastra Indonesia, Saryono (2011) berpendapat bahwa berdasarkan perspektif holistik budaya yang menjadi sumber penciptaan teks sastra Indonesia adalah sistem lambang budaya (bahasa, sastra, seni, sejarah dan mitos Nusantara), sistem sosial budaya Nusantara, misalnya fenomena stratifikasi sosial, organisasi sosial dan status sosial yang ada di Nusantara, dan sistem material budaya Nusantara, misalnya arsitektur, kerajinan, busana dan kuliner.


Mitologi-mitologi yang tersebar di Nusantara menjadi sumber penciptaan sastra Indonesia. Mitologi-mitologi tersebut bisa berupa mitologi kepercayaan, mitologi pewayangan, mitologi kekuasaan, mitologi legenda, mitologi babad, mitologi kepahlawanan, mitologi kepemimpinan, dan sebagainya.


Cara sastrawan Indonesia dalam menghadirkan mitologi pada karyanya pun beraneka ragam. Ada yang menghadirkannya dengan atavisme tematik, yaitu mengaktualkan kembali mitologi tanpa presentasi mengubah isi pesan utama mitos. Ada yang dengan cara demitefikasi, yaitu dengan membongkar dan merekonstruksi mitologi tersebut. Ada pula yang berbentuk hipogram yaitu penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat mitologi tersebut.


Penerusan konvensi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan, sedangkan penolakan pada konvensi disebut sebagai mitos pembebasan. Kedua hal tersebut selalu hadir dalam penulisan teks sastra, sesuai dengan hakikat teksastra yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, pengukuhan dan pembebasan.***

Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article