Menjaga Stabilitas Hasil Perikanan Ditengah Covid-19: Nelayan Tetap Kembali Melaut

Rusdianto Samawa
18 Min Read

Penulis: Rusdianto Samawa, Front Nelayan Indonesia (FNI), Menulis dari Pulau Podang-Podang Pangkep, Sulawesi Selatan


jfID – Saya menyebrang dari Pangkep ke Pulau Podang-Podang. Tempat berkumpulnya mayoritas nelayan alat tangkap “trawl mini.” Ada puluhan kapal dan ratusan nelayan. Terlihat sedang menjahit alat tangkap dan sebagian berangkat melaut. Yang lainnya juga ada terlihat sedang menambatkan kapalnya.

Mereka banyak bertanya situasi Covid-19 yang sudah mencapai 4000-an orang lebih positif Covid-19. Kekhawatiran itu pula, mengiringi rasa was – was dan takut melaut. Nelayan bingung: antara patuh dengan himbauan pemerintah ataukah melaut untuk memenuhi kebutuhan rumha tangga mereka. Tentu ini harus menjadi pemikiran bersama untuk mencari solusi yang tepat.

Penjelasan yang saya sampaikan sebatas pengetahuan objektif untuk memberi rasa ketenangan dan menjaga mereka agar tidak panik dan tetap melaut. Dalam beberapa minggu ini, mereka sudah merasakan pendapatan berkurang. Pemeriksaan diperketat dan keamanan dipastikan terlindungi atas pemberlakuan PSBB untuk memangkas penyebaran Covid-19.

Terpenting diketahui, masalah Covid-19 berdampak terbatasnya nelayan, pembudidaya, pekerja tambak, pelaut: buruh migran, buruh nelayan, dan abk-abk kapal dalam melakukan penangkapan ikan dan kegiatan pembudidayaan. Pendapatan turun drastis, belanja kebutuhan sangat sulit dan tidak berimbangnya antara pemasukan dan pengeluaran.

Sebagaimana data kenaikan Nilai Tukar Nelayan (NTN) tahun 2020. Kenaikan tersebut, seiring dari target produksi perikanan pada tahun 2020 sebanyak 26,46 juta ton yang dibagi pada angka 8,02 juta ton dari perikanan tangkap, angka 7,45 juta ton perikanan budidaya, dan angka 10,99 juta ton dari rumput laut. Sementara, targetkan pertumbuhan PDB Perikanan sebesar 7,9 persen, nilai tukar nelayan 115, produksi garam nasional 3 juta ton, angka konsumsi ikan 56,39 kg per kapita, nilai ekspor perikanan USD6,17 miliar, dan luas kawasan konservasi 23,4 juta hektar.

Dari proyeksi diatas, bisa dirasakan naiknya pendapatan nelayan dan meningkatnya daya beli yang didorong oleh penawaran-permintaan dipasar-pasar modern dan tradisional. Karena didorong oleh produksi perikanan pada tahun 2020 capai 5,3 persen dari target tumbuhnya PDB 7,9 persen. Artinya, pemerintah capai target Nilai Tukar Nelayan (NTN) pada 2020 naik sebesar 115 dari sebelumnya 114,5 pada akhir 2018 dan 114,7 pada akhir 2019, dengan target pendapatan domestik bruto (PDB) perikanan sebesar 7,9 persen.

Jika dibandingkan pada periode 2019, PDB perikanan tumbuh 5,85 persen atau mengalami kenaikan sebesar 48,2 persen. Jika dibandingkan dengan triwulan III tahun 2018. Nilai PDB ini lebih tinggi sebesar Rp 63,41 triliun dibanding pada periode yang sama tahun 2018 yang hanya sebesar Rp 59,91 triliun.

Kontribusi PDB perikanan triwulan III atas dasar harga yang berlaku tahun 2014-2018 terhadap PDB nasional meningkat dari rata-rata 2,32 persen pada tahun 2014 menjadi rata-rata 2,6 persen pada tahun 2018. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan nilai tambah yang mencerminkan peningkatan pendapatan para pelaku sektor perikanan.

Nilai Tukar Nelayan merupakan pengukur kemampuan tukar produk perikanan tangkap yang dihasilkan nelayan dengan barang atau jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga nelayan dan keperluan mereka dalam menghasilkan produk perikanan tangkap.

Jika menggunakan data KKP tahun 2018 tentang jumlah kapal sejak tahun 2016, maka sebanyak 695.647 kapal/perahu skala kecil sangat potensial tidak beroperasi selama Covid-19. Rinciannya: sebanyak 35.988 (5-10 GT), 115.814 (< 5 GT), 171.744 (Kapal Motor), 181.178 (Perahu Motor Tempel), dan 190.923 (Perahu Tanpa Motor). Dari perahu/kapal yang tidak beroperasi itu, berdampak tidak melaut karena pemberlakuan PSBB, SD dan pembatasan waktu atas alasan pencegahan Covid-19. Tentu kita bisa prediksi Nilai Tukar Nelayan (NTN) bisa naik turun dan juga stagnan.

Jikalau menghitung potensi pengangguran dan libur melaut atas masalah Covid-18 ini, maka tinggal hitung: jumlah kapal dan maksimal pekerja perkapal. Biasanya kapal / perahu kecil terdiri dari 2 orang. Kalau kapal nelayan berukuran 30 – 150 Gross Ton terdiri 30 – 50 pekerja perkapal. Ya, menghitungnya dua kemungkinan yakni: kerugian atas tidak melaut dalam 2-3 minggu ini. Begitu juga, dihitung potensial pengangguran dan PHK yang akan terjadi.

Tentu, jumlah kapal dan pekerja diatas akan berpengaruh pada kondisi keuangan negara dan perbankan. Karena nelayan dan pemilik kapal sudah pasti meminjam uang bank untuk kebutuhan mendasar sandang papan dalam melaut maupun biaya operasional mereka saat melaut, seperti bensin, perawatan mesin, obat-obatan, alat tangkap, kapal/perahu dan lainnya.

Pada minggu lalu, Bank Indonesia (BI) telah menyiapkan sejumlah kebijakan yang harus dilakukan, karena Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19. Tujuan memelihara kestabilan nilai rupiah, mencakup nilai mata uang terhadap barang serta jasa domestik (inflasi) serta kurs dollar dengan menempuh tiga pilar kebijakan, yakni: pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kedua, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Ketiga, menjaga stabilitas sistem keuangan.

Yang membuat sulit bagi nelayan karena permodalan, operasional dan permintaan penawaran transaksi yang bersumber dari mayoritas pengusaha dan pinjaman. Sementara, ketergantungan pengusaha terhadap dollar yang mempengaruhi tingkat harga, daya beli, kebutuhan dan kerugian yang dialaminya. Sehingga dampak terhadap nelayan sangat besar yang bergantung pada struktur usaha industri.

Tentu, tertekannya rupiah diantara deretan mata uang Asia yang keok terhadap dolar AS, seperti dolar Taiwan (-0,30%), won (-0,23%), dolar Singapura (-0,19%), ringgit (-0,16%), yen (-0,16%), dolar Hong Kong (-0,14%), yuan (-0,13%), dan baht (-0,08%). Rupiah tunduk tanpa perlawanan di hadapan tiga mata uang global lainnya, yakni dolar Australia (-0,17%), euro (-0,31%), dan poundsterling (-0,40%). Tak mampu bergerak menguat.

Artinya, spot perdagangan hasil kelautan dan perikanan sangat terpukul. Tanpa basa-basi mata uang global langsung membuat rupiah ambruk menjadi mata uang terlemah nomor satu di dunia. Pada minggu lalu, rupiah stagnan di level Rp16.175 per dolar AS. Kini berubah menjadi depresiasi mendalam. Hingga rupiah terkoreksi hingga -0,34% ke level Rp16.215 per dolar AS. Tekanan global yang datang akibat wabah virus corona mampu mempertebal depresiasi rupiah sedalam -11,66% atau setara dengan -16,80% secara year to date (ytd).

Berdasarkan data CNBK (2020) bahwa: Bank Indonesia (BI) yang menyepakati kerja sama repurchase agreement (repo) line dengan Bank Sentral AS (The Fed) New York juga memberikan efek positif ke rupiah. The Fed New York nantinya akan menyiapkan stok dolar hingga US$ 60 miliar jika BI membutuhkan. Bentuknya repo line. Kerja sama dengan bank sentral termasuk BI dengan The Fed. Repo line ini adalah suatu kerja sama kalau BI membutuhkan likuiditas dolar yang bisa digunakan. Artinya, memberikan keyakinan kepada investor asing. Rupiah pun bisa perkasa kembali, tidak hanya melawan dolar AS, tetapi melawan mata uang utama Asia dan Eropa.

Semua akan dilibas oleh Mata Uang Garuda. Rupiah mampu menguat 3,66% melawan dolar Hong Kong, terbesar diantara mata uang utama Asia lainnya. Won Korea Selatan menjadi mata uang yang pelemahannya paling kecil melawan rupiah, 1,58%. Sementara mata uang Eropa, euro, poundsterling hingga franc Swiss melemah lebih dari 2%. Meningkatnya keyakinan investor membuat aliran modal asing kembali masuk ke Indonesia.

Ditengah Covid-19 ini, semua investasi kelautan dan perikanan harus angkat kaki dari Indonesia yang sebelumnya diprediksi bisa mendapatkan keuntungan investasi untuk mengejar target produksi perikanan tahun 2020 ini sebanyak 26,46 juta ton yang dibagi pada angka 8,02 juta ton dari perikanan tangkap, angka 7,45 juta ton perikanan budidaya, dan angka 10,99 juta ton dari rumput laut. Sementara, targetkan pertumbuhan PDB Perikanan sebesar 7,9 persen, nilai tukar nelayan 115, produksi garam nasional 3 juta ton, angka konsumsi ikan 56,39 kg per kapita, nilai ekspor perikanan USD6,17 miliar, dan luas kawasan konservasi 23,4 juta hektar.

Target capaian tersebut, rasanya sangat sulit dan hadapi defisit ekonomi keungan dan sektor perbankan yang berpengaruh langsung terhadap sektor kelautan dan perikanan. Karena pemerintah butuh aliran hot money dipasar obligasi yang sudah mulai stabil, sejalan dengan pergerakan rupiah. Sejak akhir periode Maret hingga 7 April, terjadi inflow di pasar obligasi sebesar Rp 920 miliar. Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Kebijakan pemerintah kedepan penting sekali kecepatan dan ketepatan mengatasinya karena berdampak besar pada kehidupan nelayan terutama pendapatan ekonominya rendah. Tentu kelautan dan perikanan membutuhkan dorongan hot money, yang mudah masuk-keluar untuk di investasikan sehingga Nilai Tukar Perikanan terjaga stabilitasnya secara baik.

Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 bahwa: Nilai Tukar Nelayan di awal tahun 2020 turun 0,79% dari 101,11 di bulan Januari menjadi 100,31 di bulan Februari. Sementara Nilai Tukar Usaha Pertanian sektor Perikanan Tangkap juga turun 0,51persen di bulan Januari-Februari 2020. Kemudian, kondisi tahun 2019 yang naik 0,15% dari 113,78 menjadi 113,96 di bulan Januari-Februari.

Data Kemenkeu (2020) sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi. Hal tersebut membuat nilai tukar rupiah ambles 13,67% sepanjang bulan lalu, persentase tersebut menjadi pelemahan terbesar sejak Oktober 2008 ketika ambrol 14,77%. Rupiah juga sempat menyentuh level Rp 16.620/US$ pada 24 Maret, level tersebut merupakan yang terlemah sejak krisis moneter 1998, ketika rupiah menyentuh rekor terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$.

Padahal, Maret lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 75 poin sebesar Rp16,500 bila dibandingkan penutupan sebelumnya senilai Rp16,575. Nilai tukar rupiah cukup stabil. Namun, pemerintah diperlukan intervensi agar nilai tukar rupiah stabil di pasar spot Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai Rp168,2 triliun. Sedangkan cadangan devisa Indonesia sebesar USD130,44 miliar per akhir Februari. Cadangan devisa ini bermanfaat untuk menstabilkan nilai tukar dan dapat digunakan untuk membiayai defisit neraca pembayaran.

Dari upaya diatas, untuk membiayai defisit pembayaran, negara harus mengambil hutang terbesar sepanjang sejarah dengan menjual Surat Utang Negara (SUN). Hal ini sala satu faktor penyebab pelambatan aktivitas produksi Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki perairan laut yang memiliki potensi sangat besar; mulai dari ikan, sumber mineral, energi laut non-konvensional, hingga pariwisata.

Karena Covid-19 menjadi isu strategis dunia yang menghambat proses pembangunan, termasuk tersendatnya sektor kelautan dan perikanan Indonesia kedepannya. Ironis, Indonesia bersama bangsa lain begitu masih sibuk menghadapi penyebaran Covid-19 yang mematikan itu.

Harapan konektivitas logistik (logistics connetion) maritim ditengah Covid-19 dan pelemahan ekonomi dan keuangan global ini sedikit muram sehingga daya saing ekonomi kelautan dan perikanan tidak terjaga. Kondisi ekonomi nasional pun terjun pada level 4% kebawah. Sangat sulit, kembalikan kejayaan maritim ditengah wabah ini. Butuh waktu lama penataannya. Padahal keuntungan wilayah maritim bisa mendatangkan keuntungan sepuluh kali lipat dari APBN setiap tahun.

Ditengah Covid-19 ini, ribuan pulau Indonesia berhenti berproduksi dengan total kerugian ekonominya khusus pada sektor kelautan-perikanan sebesar US$ 1,2 triliun / tahun atau 1,2 PDB Nasional saat ini. Sementara, potensi kerugian produksi perikanan 49 juta ton / tahun. Apalagi, prediksi kerugian dari total produksi perikanan dunia tahun 2020 sejumlah 182 juta ton. Apalagi serapan lapangan kerja sebanyak 50 juta orang (40%) dari total angkatan kerja Indonesia. Potensi dan target produksi hasil perikanan ini sangat lemah untuk dicapai karena biaya produksi sangat besar dibanding pendapatannya. Bahkan diprediksi terjadinya pemutusan hubungan kerja akibat Covid-19 ini.

Begitu pun, jumlah utilitas industri pengolahan ikan saat wabah Covid-19 ini masih berada di bawah 50% yang tidak dapat lagi didongkrak peningkatan ketersediaan bahan bakunya. Ditambah, kesulitan karena faktor pemberlakuan peraturan pemerintah Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) sehingga berdampak pada aktivitas perusahaan, kapasitas produksi dan utilisasi industri tidak dapat dimaksimalkan sehingga suplai bahan baku tersendat.

Sangat sulit untuk mendorong naiknya utilitas industri pengolahan ikan karena BI (Bank Sentral Indonesia) memiliki sejumlah kebijakan untuk menghadapi efek covid-19. Kebijakan moneter telah diambil mulai akhir Februari. Suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate 25 basis poin turun menjadi 4,75 persen. Tak berhenti situ, BI turunkan suku bunga acuan jadi 4,5 persen pada 19 Maret 2020. Di samping kebijakan di atas.

Perpanjangan Tenor Repo SBN sampai 12 bulan dan lelang setiap hari guna memperkukuh pelonggaran likuiditas rupiah perbankan. Frekuensi lelang foreign exchange (FX) swap tenor 12 bulan bertambah. Durasi yang sebelumnya tiga kali seminggu menjadi setiap hari agar likuiditas tercukupi.

Bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membantu menumbuhkan perekonomian nasional dengan memberi stimulus kepada sektor rumah tangga nelayan, pekerja industri, dan penjaminan pangan agar kegiatan ekonomi masyarakat tetap berjalan selama bencana COVID-19.

Diantara langkah-langkah paket stimulus tersebut, yakni: mendata estimasi produksi perikanan tangkap dan perikanan budi daya selama April-Juni 2020, kesiapan infrastruktur cold storage yang tersebar di Indonesia, penguatan terhadap hasil-hasil produksi perikanan, penjaminan pangan melalui Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan akses pemasaran dan sarana media penjualan ikan secara online.

Selain itu, diharapkan pemerintah maupun BUMN melakukan pembelian ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya serta produk-produk UKM yang tidak terserap pasar. Memastikan bahan baku industri tetap berjalan agar produksi berlanjut. Harus memberikan penyangga sosial ekonomi bagi nelayan sebagai produsen atau pencari rajungan bagi penghidupan ekonomi keluarga nelayan. Hal ini bertujuan untuk membantu keberlanjutan usaha di masa pandemi Covid-19.

Penting, bagi nelayan agar tetap kembali melaut sehingga pemerintah perlu secepatnya memberi perhatian khusus pada nelayan dan pelaku usaha perikanan yang terdampak. Karena ditengah Covid-19 ini potensi turunnya pendapatan disebabkan terputusnya distribusi penjualan dan perdagangan hasil perikanan. Tentu nelayan sebagai pusat alat produksi kepada masyarakat luas, maka pemerintah perlu antisipasi sedini mungkin dan memberi realisasi paket stimulus sesuai sasaran.

Tentu nelayan kembali tetap melaut sebagai bentuk mitigasi atas pandemi covid-19 yang memberlakukan PSBB. Karena kalau saja nelayan tidak melaut, maka kontraksi ekonomi berpotensi menimbulkan kekacauan. Maka penting mendukung apa yang disampaikan pemerintah agar tetap menjamin adanya transaksi berjalan pada sektor Kelautan dan Perikanan agar hasil perikanan terdistribusi secara baik.

Penguatan sistem pembayaran tersebut, yang diberlakukan pemerintah, yakni: pertama, tersedianya nilai tukar rupiah stabil dipasar spot Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder dan cadangan devisa sehingga bermanfaat untuk menstabilkan nilai tukar dan dapat digunakan untuk membiayai defisit neraca pembayaran. Kedua, penyaluran dana non-tunai untuk program pemerintah, sqeperti Program Bantuan Sosial PKH dan BPNT, Program Kartu Pra-Kerja, serta Program Kartu Indonesia Pintar-Kuliah.[]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article