Menghikmat Waktu

Tjahjono Widarmanto
5 Min Read
Ilustrasi waktu (istimewa)
Ilustrasi waktu (istimewa)

(Refleksi Menuju 2021)

jfid – Setiap kebudayaan, agama, dan filsafat menaruh perhatian besar kepada waktu. Dalam masyarakat Eropa terdapat semboyan “Time is money”, yang menunjukkan bahwa waktu harus dimanfaatkan untuk kesuksesan, keberuntungan, kehormatan, dan kekayaan. Bangsa dan budaya Arab memiliki falsafah tentang waktu sebagai al waqtu kash shoif, yang artinya “waktu adalah pedang”. Falsafah tersebut mengisyaratkan bahwa kalau pandai memanfaatkan waktu maka manusia akan meraih kebahagiaan, namun jika teledor tak bisa memanfaatkan waktu, maka justru manusia akan tergilas oleh waktu.

Tradisi Hindu Hindia menyebut waktu sebagai proses Trikona (Upatti, Sthiti, Pralaya) yang berlangsung terus-menerus yang harus dimanfaatkan untuk menjalankan dan menunaikan dharma. Dalam kitab Satyayuga disebutkan bahwa untuk mencapai nirwana manusia harus memanfaatkan waktu untuk melakukan Yuga Dharma atau melaksanakan kebajikan-kebajikan kepada sesamanya.

Demikian juga dalam tradisi dan kultur Jawa, waktu mendapat tempat yang istimewa dalam kehidupan manusia Jawa. Hal ini bisa dilihat dari simbol-simbol yang menandai jangka waktu yang ditempuh manusia Jawa sejak dalam kandungan hingga kematian, seperti tradisi tingkeban, selapan, sepasaran, tedhak siten, midodareni, pitung dinan, patang puluh dinan, nyatus, nyewu, pendhak, dan sebagainya. Simbol-simbol penanda waktu yang seperti disebut di atas semuanya melambangkan dan mengingatkan bahwa waktu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menjaga keseimbangan alam sekaligus digunakan untuk mengingat Tuhan, asal muasalnya dan kemana manusia akan kembali (sangkan paraning dumadi dan mulih marang aran nira).

Dalam konsep pandangan Nasrani ditegaskan bahwa konsep waktu dapat dimengerti dan dipahami jikalau manusia hidup dalam kesadaran eksistensi bahwa pada saatnya manusia akan menghadap Tuhannya. Dengan kata lain, waktu adalah kesementaraan. Waktu adalah catatan hidup yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhannya.

Ajaran Islam mendudukkan waktu sebagai sesuatu yang amat penting. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menyinggung bahkan diawali dengan kata ‘waktu’ atau penanda waktu lainnya, misalnya wadh dhuha (demi waktu dhuha), wal fajri (demi waktu fajar/dini hari), wal lailli (demi waktu malam), wal ashr (demi waktu). Dalam ayat-ayat tersebut Allah bersumpah dengan menggunakan kata waktu.

Menurut para ahli tafsir, dengan menggunakan kata ‘waktu’ atau penanda waktu yang lain ketika bersumpah, Allah ingin menegaskan bahwa manusia hendaknya benar-benar memperhatikan waktu kalau tidak ingin merugi. Waktu dalam konsep Al Qur’an adalah ibadah. Ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti yang luas yang berpaut dengan Khalik maupun sesama manusia. Pesan Nabi Muhammad: “Jadilah engkau di dunia ini seperti seorang musafir atau bahkan seorang pengembara. Apabila engkau telah memasuki waktu sore, janganlah menanti datangnya pagi. Dan jikalau engkau telah memasuki waktu pagi janganlah menanti datangnya waktu sore. Ambillah waktu sehatmu untuk bekal waktu sakitmu dan hidupmu untuk bekal waktumu (H.R. Bukhary). Semua pandangan di atas mengisyaratkan satu hal yang sama yaitu: supaya kita menghikmat waktu!

Bergantinya tahun harus dipandang sebagai sebuah proses kesadaran sejarah. Kesadaran yang menuntut kita untuk mempelajari masa lalu, berbuat terbaik dan lebih baik dibanding tahun lalu untuk tanggung jawab membentuk dan merekonstruksi sejarah masa depan. Kesadaran sejarah adalah kesadaran untuk melihat dan berani untuk mulat sarira hangrasa wani; instropeksi diri, Berani menengok masa lalu, berani menengok segala kesalahan dan kebodohan masa lalu, berani belajar dari sejarah untuk kemudian dijadikan bekal dalam mencetak sejarah masa kini dan masa depan. Pramoedya Ananta Toer telah mengingatkan bahwa keengganan dan kemalasan berguru pada sejarah bisa melemparkan kita pada keranjang sampah peradaban.

Sebentar lagi kita akan memasuki tahun 2021 dan untuk menapakinyadiperlukan adanya kesadaran sejarah. Kesadaran untuk sanggup belajar dari catatan perjalanan sebelumnya. Dengan kata lain, harus ada keberanian untuk mengoreksi perjalanan sejarah hidup yang pernah dilalui, karena seperti pernah dikatakan oleh Socrates bahwa hidup yang tidak pernah dikoreksi sesungguhnya tidak pernah layak untuk diteruskan!****

*) Penulis adalah sastrawan, esais, dan guru yang tinggal di Ngawi. Buku puisinya “Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak” menjadi salah satu penerima anugerah buku puisi terbaik versi HPI di tahun 2016. Buku puisi terbarunya “Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan” (2019)
menjadi salah satu buku puisi terpuji versi HPI tahun 2019
.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article