Menengok Konstruksi Nasionalisme 1928

Heru Harjo Hutomo
3 Min Read
"Logondhang," 29x37 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas (Heru Harjo Hutomo, 2017)
"Logondhang," 29x37 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas (Heru Harjo Hutomo, 2017)

Yang muda memilih

Yang enggan tersisih

Elok berbaris rapi

Tak perlu lagi menari

Angankan mimpimu tergenggam

Hidupmu kembang setaman

Kembang Setaman, Heru Harjo Hutomo

jfid – Tak banyak catatan soal keterkaitan Islam, dan bahkan agama-agama lainnya, di Indonesia dengan peristiwa Sumpah Pemuda yang diperingati di setiap tanggal 28 Oktober. Sepertinya, saat itu demam “kebangsaan” mulai menemukan ekspresinya yang fixed. Ada tanah, bangsa, dan bahasa yang disebut-sebut dalam sumpah pemuda, tapi tak ada satu pun identitas agama yang tertera di sana. Padahal, mengacu pada sejarah masa lalu, agama sebenarnya sudah dibawa-bawa dalam kaitannya dengan perlawanan terhadap penjajah: Perang Jawa yang dipimpin oleh seorang Dipanegara, Perang Padri yang identik dengan Imam Bonjol, dan tentu saja perlawanan rakyat Aceh yang lekat dengan sosok Cut Nyak Dien. Tapi kenapa identitas agama tak dijadikan salah satu sumber dalam perumusan nasionalisme atau kebangsaan?

Barangkali, yang bercokol di benak para pemuda waktu itu, agama-agama yang sudah berkembang dipandang sebagai sebentuk barang impor yang tak ada kaitannya dengan isu kebangsaan yang memang tengah mewabah. Selaiknya modernisme yang telah berunjuk gigi sejak abad ke-17 di Barat, yang melahirkan humanisme dan universalisme, agama memang bukanlah “warisan” yang laik untuk dipertahankan. Dengan kata lain, ia hanyalah tilasan using para “orangtua” yang kurang gagah.

Kita dapat melihat ambisi seorang Tan Malaka dalam Madilog, yang ditulis dalam pelarian dan dalam kurun 40-an, untuk membilas noda-noda takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) dari bangsa Indonesia seperti halnya para wahabi, meskipun atas nama hukum materialisme, dialektika, dan logika. Sekali lagi, pada titik inilah “kiri” dan “kanan” pada akhirnya adalah saudara kembar yang memiliki ikatan emosional satu sama lain (Corona, Ancaman Radikalisme, dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Meskipun Tan Malaka secara khusus juga membahas agama Islam dalam Madilog, tapi tetap ia melihatnya dalam kerangka materialisme, dialektika, dan logika. Maka output-nya pun adalah sejenis Islam “kering” ala wahabi yang miskin imajinasi.

Saya kira proses terbentuknya paham kebangsaan yang dirumuskan oleh para pemuda pada tahun 1928 itu, dan terburainya pada tahun 1945, adalah persis sebagaimana terbentuknya paham keislaman abstrak—tanpa tipologi—yang beberapa tahun belakangan ini berkembang di Indonesia (Nusantara dan Batas Imajinasi Sebuah Bangsa, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Dengan kata lain, apa yang pernah saya sebut sebagai “nasionalisme masturbasif” tak pula muncul tanpa sejarah (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Bukankah revolusi prematur PKI yang mudah ditumpas pada tahun 1926-1927, yang kental dengan bau kepemudaan, pecah dalam semangat zaman yang sama dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928?

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article