Meminta KPK Ambil Bagian dalam Proses Penyelidikan Dugaan Kasus Korupsi Sekda Halmahera Timur

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read

jfid – Penanganan kasus dugaan korupsi dana Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif senilai Rp 1,5 miliar di Bagian Umum dan Perlengkapan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) tahun anggaran 2016. Berdasarkan hasil audit BPK RI yang dinyatakan ada potensi kerugian negara.

Ditambah, sejumlah keterangan dan bukti yang menguatkan dugaan pidana korupsi yang diduga melibatkan sekda Moh. Abdu Nazar Sekda Haltim, berupa dukumen administrasi yang sudah terkumpul diproses penyidikan. Tindakan pejabat tersebut telah memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Salah satu unsur penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam ketentuan pasal 3 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UUPTPK yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00,-
(satu miliar rupiah)”. Penyalahgunaan wewenang dalam perintah perjalanan Dinas dengan sebuah alasan melaksanakan Surat Perintah

Perjalanan Dinas (SPPD) di Haltim ini, kerap kali menimbulkan laporan pertanggungjawaban fiktif sehingga tidak sedikit keuangan Pemerintah daerah Halmahera Timur tidak dapat dipertanggungjawabkan karena melekat kewenangan dari yang bersangkutan yang
berhubungan dengan perintah tugas dalam melakukan perjalanan Dinas yang berhubungan dengan bidang tugas dan jabatannya.

Namun dalam fakta yang ada, Surat Perintah Perjalanan Dinas tersebut lebih banyak melibatkan para pejabat dan beberapa diantaranya ada juga melibatkan pegawai golongan rendah atau bawahan.

Keterlibatan pegawai golongan rendah atau bawahan dalam kaitannya dengan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tidak terlepas dari tugas bawahan yang menyiapkan biaya perjalanan dinas dalam hal ini bendahara pengeluaran, menyiapkan surat perintah membayar, menyiapkan surat perintah tugas (SPT), menyiapkan dokumen pertanggungjawaban berupa boarding pas dan lain-lain.

Salah satu kasus yang terjadi di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang dalam perintah perjalanan Dinas yang berimplikasi korupsi yang berhubungan dengan Laporan Pertanggungjawaban Biaya Perjalanan Dinas Luar Daerah Sekretariat Daerah Halmahera Timur tahun 2016 – 2017.

Di duga mengakibatkan kerugian keuangan negara yang diancam pidana dengan dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 KUHP dan dakwan subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64
KUHP.

Dugaan tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan pertanggungjawaban perjalanan dinas menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat mengingat tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Penyalahgunaan Wewenang menurut Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Konsep penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi tetap mengacu pada konsep penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi.

Konsep penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi harus juga mengacu pada rumusan pasal 3 UUTPK yaitu dengan tujuan untungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jadi publik mendesak penyidik dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera ambil alih kasus tersebut, sehingga memiliki kejelasan posisi sehingga masyarakat mendapat keadilan diawasi oleh masyarakat Halmahera Timur.

Diketahui kasus dugaan korupsi SPPD fiktif ini terkuak setelah BPK Maluku Utara melakukan audit anggaran. Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Malut tahun 2016, diduga merugikan daerah sebesar Rp 1,2 miliar.

Bahkan dalam perjalanan penyelidikan penyidik pernah memeriksa Sekretaris Kabupaten l (Sekkab) Haltim Moh Abdu Nasar. Moh. Abdu Nasar diperiksa lantaran anggaran SPPD untuk perjalanan luar maupun dalam daerah itu, juga cantumkan nama Sekkab Moh Abdu Nasar dengan nilai Rp 255.532.500.(*)

Oleh: Irham Dhadni
Pengamat Hukum Pidana, Indonesia Justice Law dan Alumni Universitas Pancasila Jakarta

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article