Membongkar Cara Berpikir Pemerkosa

honing alvianto bana
8 Min Read
Gambar ilustrasi (Honing Alvianto Bana)
Gambar ilustrasi (Honing Alvianto Bana)

jfid – Persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan mendesak yang menuntut jalan keluar yang tepat. Sayangnya, di banyak daerah, persoalan seperti ini masih dianggap bukan persoalan serius.

Kekerasan terhadap perempuan menjadi unik, karena seringkali melibatkan pemerkosaan. Tubuh perempuan dilecehkan sebagai tanda penguasaan dan penghinaan dari pelaku pemerkosa. Setelah terpuaskan, si pelaku pemerkosa seakan merasa tak berdosa. Dalam banyak kasus, diketahui para pemerkosa seringkali adalah orang-orang terdekat.

Kita tentu geram dan ngeri ketika membaca berita dan laporan mengenai pemerkosaan. Contoh, data pengaduan yang diterima Komnas Perempuan menunjukkan, dari tahun 2015 s/d Agustus 2020 Komnas Perempuan menerima pengaduan terdapat 3 kasus pada  tahun 2015. Lalu 10 kasus di tahun 2016, 3 kasus di tahun 2017, 10 kasus di tahun 2018, dan pada tahun 2019 meningkat menjadi 15 kasus dan 10 kasus sampai Agustus 2020.

Laporan dari komnas perempuan terkait pelecehan seksual seharusnya dilihat sebagai puncak gunung es, karena umumnya cenderung tidak diadukan atau dilaporkan karena korban merasa malu. Penyebab lainnya karena tidak tersedianya mekanisme pengaduan, penanganan dan pemulihan korban. Tiga kejadian itu hanyalah contoh saja. Sesungguhnya, kejadian serupa sangatlah banyak dalam masyarakat kita.

Dengan membaca sejumlah berita tentang kasus pemerkosaan, kita seringkali marah, dan menuntut keadilan bagi semua pihak. Namun, persoalan ini tetap saja muncul, bahkan dengan tingkat brutalitas yang semakin mengerikan. Kita lantas bertanya-tanya, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan hal ini?

Pendekatan legalistik

Pendekatan legalistik adalah pendekatan kuno yang sering kita gunakan saat mendekati permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan.

Pendekatan kuno yang saya maksud adalah pendekatan dengan memberikan ancaman hukuman yang berat bagi pelaku. Meski begitu, pendekatan ini tidaklah mencukupi. Permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosa seakan tak pernah berhenti.

Hal ini karena pendekatan hukum selalu bersifat setelah kejadian, sehingga korban sudah menderita, baru pelaku bisa dihukum. Pendekatan ini jelas sudah terlambat.

Pendekatan legalistik semacam ini juga cenderung memaksa. Sedangkan, pada dasarnya, pemaksaan selalu mengundang pemberontakan. Semakin besar pemaksaan, semakin besar pula pemberontakan yang akan terjadi. Pendekatan legalistik, walaupun diperlukan, jelaslah tidak mencukupi.

Pendekatan Moralistik

Di sisi yang lain, kita juga cenderung mendekati permasalahan pemerkosaan dengan pendekatan moralistik. Artinya, kita memaksa perempuan untuk menutupi tubuhnya dengan alasan-alasan moral. Juga dengan berpijak pada moral, kita menghambat gerak perempuan, sehingga mereka, misalnya, tidak boleh pulang malam, atau berjalan kaki di daerah-daerah tertentu.

Pada saat yang sama, kita tidak mendidik para pelaku, yang biasanya adalah pria, untuk mengenali dan mengelola dorongan-dorongan hasrat mereka.

Kita hanya sibuk dengan memberi himbauan-himbauan dan larangan-larangan moral yang biasanya bersifat agamis kepada mereka.

Tema seksualitas dan hasrat kenikmatan dijadikan tema tabu yang tak pernah dibahas. Ini jelas sebuah kesalahan besar.

Cara berpikir pemerkosa

Saat kita diperhadapkan dengan berbagai berita pemerkosaan. Ada satu pertanyaan yang sering kita ajukan. Pertanyaannya adalah apa yang ada di pikiran para pemerkosa itu?

Jika kita tenang, dan diam sejenak untuk merenungi cara berpikir pemerkosa, kita tentu bisa menemukan jawabannya.

Kesalahan mereka tentu ada pada kesalahan berpikir. Mereka (pemerkosa) melihat perempuan sebagai benda yang bisa digunakan untuk kepuasan mereka.

Perempuan dilihat bukan sebagai manusia, tetapi hanya sebagai obyek yang tak punya arti, kecuali arti pemberian kepuasan sesaat. Cara berpikir ini semakin diperkuat oleh kecenderungan berpikir orang jaman sekarang, yakni menyayangi barang, dan menggunakan manusia, dalam hal ini perempuan.

Kenapa Ada Pemerkosa?

Seorang filsuf asal Jerman, Immanuel Kant, dalam sebuah bukunya, ia pernah merumuskan imperatif kategoris sebagai panduan rasional untuk kehidupan moral manusia.

Butir kedua imperatif kategoris adalah melihat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan semata sebagai alat untuk tujuan-tujuan lainnya.

Para pemerkosa jelas tidak mengenal ajaran tersebut. Mereka tidak pernah melihat manusia lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai alat untuk pemuas hasrat gelap mereka.

Para pelaku ini tidak hidup dengan bimbingan akal sehat, melainkan dengan dorongan hasrat yang tidak pernah dikenali dan dikelola. Akhirnya, banyak orang tak bersalah menjadi korban dari kesalahan cara berpikir ini.

Di dalam teori Marxis, pola pikir ini biasa disebut juga sebagai reifikasi. Reifikasi artinya adalah pembendaan. Kita melihat dan memperlakukan manusia lain hanya sebagai bagian dari alat-alat produksi untuk peraihan keuntungan ekonomis. Logika pelacuran dan pemerkosaan tentu tidak lepas dari pola pikir reifikasi semacam ini.

Sesungguhnya, semua itu bukanlah sesuatu yang alami. Manusia tidak pernah terlahir sebagai pemerkosa, pelacur, pencuri, pembunuh dan lain-lain. Ini semua dibentuk dari budaya yang akhirnya berbuah menjadi kebiasaan.

Pertanyaan selanjutnya, masyarakat macam apa yang menghasilkan manusia-manusia pemerkosa semacam itu?

Masyarakat pemerkosa adalah masyarakat yang mengedepankan pendidikan hafalan dan kepatuhan buta, daripada pengertian dan berpikir kritis.

Masyarakat yang suka memaksa orang berperilaku tertentu atas dasar moralitas tradisional agamis, tanpa ruang untuk berpikir dengan akal sehat. Masyarakat yang lebih mementingkan hasil dan nilai, tanpa mau peduli pada proses.

Masyarakat yang melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua yang mesti di penjara, supaya tidak mengundang nafsu laki-laki. Masyarakat seperti ini, biasa kita kenal dengan masyarakat patriarki.

Itulah masyarakat pemerkosa yang saya maksudkan. Tak heran, di dalam masyarakat semacam ini, pemerkosaan terus berulang. Semua ini dibarengi dengan semakin maraknya himbauan-himbauan moral agamis di berbagai mimbar dan media. Ini jelas sebuah kemunafikan yang menjadi akar dari beragam masalah.

Perubahan cara berpikir

Perubahan cara berpikir di dalam pendidikan jelas amat diperlukan di sini. Perubahan cara berpikir di dalam hidup bersama juga mutlak diperlukan, misalnya di dalam penguatan sistem hukum dan perubahan paradigma di dalam hidup beragama.

Hasrat dan seksualitas bukanlah tema tabu yang semata harus dilarang, melainkan harus disadari, dikenali dan kemudian dikelola.

Hanya dengan begitu, pemerkosaan bisa sungguh menjadi bagian sejarah masa lalu di dalam masyarakat kita. Sejarah yang panjang dan kelam, namun mengandung pelajaran berharga.

Honing Alvianto Bana. Lahir Di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Penulis kolom, cerpen, dan puisi. Saat ini sementara melanjutkan study di pascasarjana Universitas 17 Agustus Surabaya. 

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article