Majnun

Tjahjono Widarmanto
6 Min Read
Gambar Ilustrasi, Ulama Muslim Jenius, Al Biruni menulis 180 karya buku (foto: tirto.id)
Gambar Ilustrasi, Ulama Muslim Jenius, Al Biruni menulis 180 karya buku (foto: tirto.id)

jfID – Dunia ini tampaknya tidak pernah lepas dari orang-orang majnun (gila) dengan segala kegilaannya (jinun). Dari perspektif yang positif orang-orang yang majnun, atau setidaknya dianggap majnun, memiliki takaran kreativitas berlebih dan takaran bernalar dan berpikir yang melampaui orang kebanyakan. Mereka yang dianggap majnun (dalam perspektif positif) ternyata terbukti membuat catatan emas bagi perkembangan pemikiran dan peradaban. Setidaknya itulah yang dicatat dalam sebuah kitab klasik berjudul Uqala’al – Majanin atau Kitab Kebijaksanaan Orang-Orang Gila, yang ditulis oleh Abu Alqasim An Naisabun. Kitab klasik tersebut meriwayatkan 500 kisah muslim genius yang dianggap majnun dalam sejarah Islam. Dalam perspektif positif, orang-orang genius seperti dalam kitab tersebut dipandang sebagai manusia majnun karena pemikirannya (bahkan tindakannya) melampaui kemampuan berpikir orang-orang awam sehingga melompat lebih maju, namun terlambat dipahami orang awam. Acapkali dalam konteks orang majnun yang positif itu memunculkan kelakar bahwa kehidupan Indonesia membutuhkan sosok majnun dengan segala kegilaannya (jinun).

Namun majnun dalam sisi pandang lain, yaitu sisi pandang negatif, justru kebalikannya mempresentasikan sesuatu hal yang mengerikan. Majnun dalam sudut pandang positif melahirkan harapan dan sumbangan bagi kelangsungan masa depan manusia, namun sebaliknya majnun dalam sudut pandang negatif justru membuahkan pemusnahan dan penghancuran manusia dan kemanusiaan. Hal majnun yang terakhir tersebut, dilukiskan oleh Stephen King dalam novel The Shining.

Melalui tokoh utama film tersebut, yaitu Jack Torrance, digambarkan sosok pembunuh gila yang tak bisa membedakan realitas dan halusinasi sehingga melakukan pembunuhan yang kejam terhadap isteri dan anaknya. Film tersebut digambarkan secara gamblang bagaimana skizofrenia menjadikan pelaku terjebak dalam perilaku episode psikotik yang penuh kekerasan dan kebencian berikut kecemasannya. Fiksi tersebut dengan seterang-terangnya berbicara tentang kelindan sakit mental dengan kekerasan publik akibat ketakmampuan membedakan fakta dan fantasi.

Fenomena terkutuk di atas ternyata tak hanya terjadi di jagat fiksi, namun juga terdapat dalam kehidupan faktual. Peristiwa kisah nyata tentang orang majnun dengan kegilaannya yang sadistis diungkapkan oleh jurnalis Bill Harvey dalam sebuah buku The True Stories of Crime and Detection (2003), yang melaporkan kematian 13 perempuan secara tragis karena dibunuh dengan kejam di kota Yorkhiere, yang terletak di utara Inggris.

Di Indonesia, baru-baru ini pun dikejutkan dengan percobaan pembunuhan seorang dai kondang, Syekh Ali Jaber, yang dilakukan oleh pelaku yang diidentifikasi sebagai orang majnun.Tindak pembunuhan dengan pelibatan pelaku yang majnun terhadap alim ulama tak hanya terjadi kali pertama ini. Sebelumnya telah terjadi peristiwa santet (di tahun 1990 an) berupa pembunuhan terhadap para kyai kampung yang dilakukan oleh para pelaku yang majnun. Terjadi pula di Cicalengka Bandung, yaitu peristiwa penyerangan dan upaya pembunuhan terhadap pengasuh pondok pesantren Al Hidayah Sentrong, bernama KH.Emon Umar Basyri, yang juga dilakukan oleh pelaku yang majnun. Pun peristiwa serupa terjadi menimpa ustad R. Prawoto di 2018, yang bahkan menyebabkan korban meninggal. Lagi-lagi pelakunya teridentifikasi majnun.

Peristiwa-peristiwa pembunuhan (juga jenis tindakan kriminalitas lain) yang dilakukan oleh orang-orang majnun sebenarnya sejak lama telah menjadi kajian dalam psikologi dan filsafat. Jean –Paul Satre dalam buku klasiknya berjudul Theory of the Emotions (1962) menengarai bahwa perilaku pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang majnun tersebut menunjukkan emosi para pelaku sebagai refleksi ketertekanan jiwa akibat himpitan kenyataan hidup atau karena cemas yang berlebih dan tak terkontrol karena ketaksanggupannya menggapai obsesi-obsesi.

Peristiwa penusukan dan percobaan pembunuhan terhadap Ali Jaber (pun peristiwa-peristiwa terdahulu yang menimpa para ulama) yang dilakukan oleh pelaku yang majnun, tampaknya tak hanya menyangkut paut dengan persoalan psikologi semata. Peristiwa kriminal yang melibatkan para majnun tampaknya telah menjadi strategi yang sistematis dan berulang. Setidaknya peristiwa tersebut memancing munculnya dugaan atau syakwasangka adanya gerak untuk memanfaatkan orang-orang majnun sebagai organ, alat atau instrumen atau setidaknya memperalat kemajnun-an (jinun) sebagai alibi atau kambing hitam. 

Dugaan dan sangkaan di atas tentu saja akan menimbulkan iklim ketidaksehatan dalam masyarakat. Akan memunculkan ketidakpercayaan terhadap aparatur pemerintahan (utamanya kepolisian) dan menimbulkan perasaan cemas tak adanya perlindungan dari perilaku anarki, bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan dan saling curiga dalam masyarakat.

Satu-satunya jalan membebaskan dari prasangka dan dugaan itu adalah dengan penyidikan dan peradilan yang terbuka dengan menyingkap akar di balik peristiwa. Kalaupun ada indikasi ke-majnun-an, pembuktiannya harus terbuka dengan melibatkan pakar kejiwaan dan alasan ke-majnun-an tersebut tak boleh menjadi alasan pembebasan bagi pelakunya. Semoga!

Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi. Bukunya Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak menerima penghargaan sebagai salah satu buku puisi terbaik tk.Nasional di th 2016

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article