Labuhan Bajo, Kowangko Dompu, 1 Mei 2020

Rusdianto Samawa
25 Min Read

Ekspor Rumput Laut: Sumbangan NTB Signifikan dan Repurchasing Cold Storage Sistem Resi Gudang Ditengah Pandemi Covid-19

“Maka, saran untuk NTB Gemilang dalam menjamin realisasi visi industrialisasi, sebaiknya lakukan Repurchasing Cold Storage Sistem Resi Gudang (SRG) untuk mengatasi berbagai masalah pembiayaan, teknologi, jenis dan penataan pusat rumput laut sebagai sentralisasi rumput laut nasional. Lagi pula, sala satu model kolaborasi atau aliansi strategis untuk meningkatkan kesejahteraan petani rumput laut.”

Penulis: Rusdianto Samawa, Front Nelayan Indonesia (FNI), Menulis dari Pulau Bajo Zona Rumput Laut Desa Bajo, Kec. Kowangko Kab. Dompu – NTB


jfID – Di Indonesia, rumput laut sebagai komoditas yang tahan kondisi krisis. Pada masa reformasi 1998, semua komoditas lain rontok, rumput laut berdiri tegak melewati masa-masa krisis. Apalagi, seiring perdagangan saham anjlok dan tuntutan perubahan sistem ekonomi dan keuangan global. Saat ini, pandemi Covid-19 tidak juga membuat komoditas rumput laut menurun. Malah, produksinya terus digenjot untuk meningkatkan keuntungan ekspor.

Justru, rumput laut juara bertahan ditengah Covid-19. Penyangga ekonomi nasional perikanan yang sudah beberapa kali ekspor dalam masa pandemi Covid-19 ini. Kalau komoditas lain, rontok ke harga jual paling rendah. Situasi industri perikanan juga mengalami hal yang sama. Covid-19 menjadi bancakan bagi komoditas lain yang porak-poranda harga sehingga nelayan, pembudidaya dan petani 65% mengalami penggerusan pendapatan.

Mengapa Rumput Laut bertahan ditengah krisis ekonomi akibat Covid-19? alasannya sangat sederhana, yakni: kekuatan ekonomi rumput laut sangat strong mendominasi daripada komoditas lainnya, dengan kontribusi sebesar 60,7 persen terhadap total produksi perikanan budidaya nasional. Persoalan harga yang turun hingga 10ribu – 7ribu per kilogram ternyata tidak pengaruhi sentimentasi pasar saham global. Karena, kegunaan rumput laut diperlukan ke berbagai cabang pangan, kosmetik, dan lainnya.

Rumput laut merupakan salah satu komoditas utama perikanan budidaya. Kebijakan industrialisasi rumput laut yang tertuang dalam Peta Jalan pembangunan telah memasang ribuan sentra produksi diseluruh Indonesia. Dengan demikian, produksi rumput laut Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dengan kenaikan rata – rata sebesar 22,25% per tahun sedangkan nilai produksi rata-rata naik 11,80% per tahun.

Kenaikan jumlah produksi rumput laut secara nasional, tentu disebabkan faktor penyediaan yang selalu terjamin kesediaannya, baik disentra terpusat maupun didesa-desa pesisir penghasil rumput laut. Data Badan Pusat Statistik (2020), menyebutkan: tahun 2013 produksi rumput laut sebanyak 9,31 juta ton senilai Rp11,59 triliun, tahun 2014 naik menjadi 10,07 juta ton senilai Rp21,71 triliun, tahun 2015 periode kwartal I capai 11,27 juta ton dengan nilai Rp13,20 triliun. Kwartal II capai 211,871 ribu ton senilai USD205,32 juta, dan pada tahun 2016 Kwartal I sebesar 188,298 ribu ton senilai USD161,801 juta. Kwartal II hasil produksi naik menjadi 11,69 juta ton.

Bahkan, kurun waktu tahun 2016 juga, pemerintah telah memulai pembangunan Sentra Budidaya Rumput Laut, seperti di Kabupaten Rote Ndao dan Sumba Timur. Sedangkan Provinsi lain, seperti Papua, NTT, NTB, Maluku, Sulawesi dan daerah lainnya mendorong pengembangan sentra rumput laut yang sudah ada. Indonesia memiliki setidaknya 550 jenis varian rumput laut bernilai ekonomis tinggi sehingga volume produksi rumput laut di Indonesia, mengalami tren positif.

Sejak tahun 2017 lalu, pertumbuhan sekitar 11,8 persen per tahunnya. Produksi tercatat sebesar 10,8 Juta ton, atas target sekitar 13 juta ton basah. Tentunya meningkat 20 persen dari total produksi tahun sebelumnya. Kemudian, tahun 2018 tercatat 10,18 juta ton. Lebih lanjut, tahun 2019 tercatat nilai ekspor rumput laut Indonesia capai USD 324,84 juta atau tumbuh 11,31% dibanding tahun 2018 yang mencapai USD291,83 juta. Dengan target angka produksi rumput laut nasional sebesar 9,9 juta ton.

Berdasarkan data dari Korea International Trade Association (KITA) pada Maret 2020, terjadi penurunan ekspor Indonesia ke Korea Selatan (YoY) sebesar 14,6 persen atau senilai US$2,11 miliar dibandingkan Maret 2019 yang mencapai US$2,47 miliar. Namun, di tengah pandemi Covid-19, ekspor sepanjang Maret 2020 naik 1,4 persen (MoM) menjadi US$756,38 juta dari US$745,96 juta. Ekspor rumput laut tersebut, mengalami peningkatan pada Januari-Maret 2020 mencapai US$3,51 juta atau meningkat sebesar 11,6 persen (YoY). Khusus pada Maret, meningkat 56,5 persen (MoM) yang mencapai US$910.000.

Selain itu, selama rentang waktu 2014-2019, ekspor rumput laut nasional tercatat tumbuh rata-rata per tahun sebesar 6,53 persen. Sementara target produksi rumput laut tahun 2020 capai 10,99 juta ton dan diproyeksikan mencapai 12,33 juta ton pada tahun 2024. Kemudian, target produksi untuk ekspor tahun 2020 sebesar 10,99 juta ton rumput laut, dengan menyiapkan berbagai strategi percepatan peningkatan produksi komoditas. Tentu bekerja lebih keras lagi, menggenjot nilai ekspor rumput laut guna pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan data Kemenperin, ekspor rumput laut Indonesia pada tahun 2014 sampai 2018 memiliki tren positif yang naik hingga 0,81%. Pada periode Januari-April 2019, ekspor rumput laut sebesar USD92,92 juta atau naik 3,98% dibanding capaian di periode yang sama tahun lalu USD89,37 juta.

Ekspor rumput laut Indonesia tertinggi didominasi oleh ekspor rumput laut mentah Euchema spp dalam bentuk kering atau fresh yang dapat dikonsumsi manusia dengan total ekspor pada tahun 2018 mencapai USD140,41 juta. Indonesia sendiri merupakan penghasil rumput laut kering terbesar di dunia dengan produksi 328 ribu ton atau 61,18% total produksi dunia di tahun 2017. Rumput laut juga diekspor dalam bentuk agar dan karagenan.

Seiring angka terus meningkat, maka untuk mewujudkan target 1 juta ton pada tahun 2020 ini, KKP menyiapkan berbagai strategi percepatan peningkatan produksi rumput laut dalam peta jalan industrialisasi rumput laut nasional hingga lima tahun mendatang. Dengan demikian, ketersediaan bahan baku dan kualitas rumput laut terus terjaga sehingga kebutuhan ekspor selalu terpenuhi.

Maka, mendukung percepatan industrialisasi rumput laut, Presiden telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 tahun 2019 tentang Roadmap Industrialisasi Rumput Laut Nasional. Komitmen Presiden ini harus dibarengi dengan bekerja untuk menata hulu hingga hilir sehingga target peningkatan produksi itu dapat tercapai.

Merujuk pada data FAO (2019), Indonesia merupakan produsen terbesar nomor satu dunia khususnya untuk jenis eucheuma cottoni dan menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar, utamanya untuk tujuan ekspor ke China yang dominan bahan baku mentah.

Untuk itu, penting menaikan nilai tambah devisa ekspor dengan menggenjot ekspor nonbahan baku, paling tidak 50 persen bisa diekspor dalam bentuk setengah jadi seperti semi refine carrageenan dan refine carrageenan. Tentu, negara mendapat keuntungan dengan potensi sumber daya rumput laut yang besar.

Nilai Produksi Ekspor Kontribusi Daerah

Produksi rumput laut dari daerah juga tidak kalah. Justru penyumbang terbesar rumput laut itu diproduksi oleh kalangan pembudidaya dan petani rumput laut diberbagai pelosok daerah. Sala satunya Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai penghasil rumput urutan kedua setelah Maluku.

Sejak tahun 2013 hingga 2017, Sulawesi Selatan capaian produksi rumput laut berturut-turut pada sebesar 2,4 juta ton, 2,8 juta ton, 3,2 juta ton, 3,4 juta ton, dan 2,5 juta ton. Pada 2017 yang 2,5 juta ton itu baru hingga triwulan ketiga. Untuk 2018, targetnya 4,2 juta ton. Semua total produksi yang ada, Sulawesi Selatan memberi kontribusi 30 persen. Tentu, sangat besar.

Sedangkan perolehan produksi Rumput laut Batam, Kepulauan Riau yang sangat potensial di kembangkan dalam program budidaya mencapai 5.000 ton. Namun, termanfaatkan baru sekitar 2%. Sehingga perlu mendorong agar dapat memaksimalkan potensi yang ada saat ini.

Kemudian, daerah Kepulauan Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki potensi rumput laut mencapai 14.000 hektare. Produksi rumput laut pada 2015 mencapai 918.021 ton basah, meningkat dibandingan tahun sebelumnya sebanyak 770.374 ton. Pada tahun 2016 produksi tembus diangka 1.080 ton lampaui target. Dimana target produksi rumput laut di tahun 2016 sebanyak 850.235,78 ton. Untuk tahun 2017 ini, Provinsi NTB mentargetkan produksi sebanyak 950ribu ton. Namun, hingga kurun waktu pada 2018, produksi belum mencapai target. Tetapi, masih diatas Provinsi lain, mengganti posisi Maluku dan Sulawesi Selatan.

Pada tahun 2019 – 2020 berjumlah sekitar 980-an ribu ton dengan nilai ekonomi mencapai Rp2 triliun dengan jumlah serapan tenaga kerja sebanyak 37.000 orang. Rinciannya: Sumbawa produksi rumput laut terbesar di NTB capai 439.385,49 ton. Disusul Bima sebanyak 124.347,08 ton, Lombok Tengah 96.047,7 ton, Sumbawa Barat 83.013 ton, Lombok Timur 54.103,86 ton, Lombok Barat 52.688,44 ton, dan Dompu 650,21 ton. Capaian tersebut, melebihi perolehan Sulawesi Selatan. NTB sangat signifikan angka ekspor yang menyumbang devisa negara dan memperkuat ekonomi daerah Kepulauan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB (2020), bahwa: sentra produksi rumput laut, masuk dalam 10 kawasan pengembangan budidaya rumput laut, yakni Kab. Lombok Tengah: Desa Pengantap, Gerupuk dan Awang. Kabupaten Lombok Timur: Desa Serewe dan Teluk Ekas. Kabupaten Sumbawa Barat: Desa Kertasari. Kemudian, Kabupaten Sumbawa: Desa Alas, Labuhan Mapin, Pulau Medang, Moyo Utara, Maronge, Lape, Tarano. Selanjutnya, Kabupaten Bima – Dompu: Kwangko dan Warorada. Jika diolah potensi diberbagai daerah diatas, bisa jadi rumput laut kering menghasilkan sebanyak 125 ribu ton per tahun.

Pemanfaatan lahan yang begitu luas untuk budidaya rumput laut di Provinsi NTB hanya 25 persen dari 41.000 hektar lahan perairan. Potensi pengembangan lahan produksi sangat besar. Rumput laut merupakan penyumbang utama produksi perikanan budidaya. Karena itu, NTB masuk dalam program road map strategis untuk pengembangan industri rumput laut nasional. Bahkan, anggaran untuk NTB pada 2016 sekitar Rp26 miliar hingga Rp30 miliar dan khusus untuk Kabupaten Sumbawa Rp4,6 miliar.

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB (2020), bahwa: masalah yang dihadapi dalam jangka waktu panjang, belum ada teknologi pengolahan untuk rumput laut. Apalagi pembelian teknologi sangat mahal sekali, sehingga harga yang dipetani masih belum bisa meningkat, stagnan. Harga jual rumput laut kering ditingkat pengumpul senilai Rp12.000 per kilogram. Budidaya rumput laut dikembangkan dengan metode longline dan metode rakit. Para pembudidaya NTB lebih banyak menggunakan metode rakit dibandingkan longline dan patok dasar.

Sebenarnya wilayah NTB Lombok Timur Pulau Lombok dan Teluk Santong Pulau Sumbawa pernah memiliki sendiri pabrik pengolahan rumput laut hasil bantuan dari Kementerian Perindustrian, tetapi pabrik ini tidak beroperasi alias mangkrak. Karena terkendala bahan baku yang disediakan dari petani pembudidaya tidak bisa dipenuhi. Kemudian peralatan mesin rusak, tidak bisa diperbaiki. Bantuan pengadaan mesin ini tidak dibarengi juga dengan bantuan tenaga teknis.

Itu sala satu masalahnyang dihadapi beberapa daerah, pemerintah gemar bangun sana sini, tetapi tidak menggemari potensi yang untuk dikelola secara mandiri. Akhirnya mangkrak. Indonesia, meski tercatat sebagai produsen rumput laut, tetapi masih banyak mengimpor produk olahan rumput laut karena sebagian besar ekspornya masih berupa bahan baku.

Nah, beberapa hal harus dipelajari untuk menyesuaikan dan mengembangkan teknologi agar bisa berproduksi lebih maksimal. Memang iklim beberapa negara seperti: Vietnam, Busan Korsel, China dan lainnya sangat berbeda dengan Indonesia.

Kalau China ada kebun Perikanan Budidaya disekitar Xinjiang. Kalau di Indonesia ada masyarakat Pulau Bajo yang hidup diatas air. Semua ide gagasan dan kebijakan diserahkan kepada pemerintah mengakses dan mengakselerasi potensial capital masyarakat, seperti pengembangan budidaya rumput laut sebagai sentra terpadu produksi lebih besar lagi.

“Masyarakat Bajo reklamasi laut tempat hidup saja bisa, mengembangkan kebijakan pemerintah pada budidaya perikanan rumput laut bagi masyarakat bajo tak sulit sebenarnya.” Indonesia, keterbatasan pekerja teknis dari teknologi yang diciptakan itu. Lagi pula harganya sangat mahal sekali. Sebenarnya tak ada yang tak bisa di Indonesia.

Motor listrik aja bisa buat, saingan luar negeri. Helikopter hasil buatan pemuda Pinrang Sulsel aja bisa. Motor listrik pengangkut sampah produksi SMA lingsar Lombok Barat, NTB juga bisa. Apa yang tidak bisa?. Yang membuat berat itu: “Tidak singkronisasi antara kemauan, ide dan praktek. Ditambah tidak mau berinovasi seiring anggaran kecil.” Tetapi buat bisnis pelatihan pengangguran online aja capai 5,6 Triliun. Aneh kan.

Begitu juga di NTB yang merupakan salah satu sentra budidaya rumput laut di Indonesia, yang dikenal sebagai penghasil budidaya rumput laut cukup besar untuk Kawasan Timur Indonesia. Namun, pemanfaatan areal lahan tersebut terbilang relatif masih rendah sehingga perlu dipacu dan didukung pemerintah maupun swasta. Dengn demikian, berperan menjadi lokomotif dalam pengembangan rumput laut. Dari sisi investasi, NTB cukup mudah dijangkau.

Salah satu permasalahan dalam bisnis rumput laut di NTB adalah umur panen dan mutu. Petani umumnya memanen rumput laut sebelum mencapai 45 hari masa pemeliharaan. Mereka rata-rata menghasilkan rumput laut dengan mutu rendah. Kadar airnya 40-50 persen dan kadar kotoran pun mencapai 10 persen.

Padahal standar mutu yang layak diperdagangkan paling tidak berkadar air 30-35 persen dan kotoran maksimal 1 persen. Walaupun begitu, NTB tetap menjadi urutan pertama ekspor hasil produksi rumput laut secara nasional. Artinya sumbawa NTB terhadap devisa negara, cukup signifikan.

Nilai Ekspor Kontribusi Swasta

Sebagai bagian dari segi karang dunia, Indonesia memiliki setidaknya 550 jenis varian rumput laut bernilai ekonomis tinggi. Pemerintah melakukan percepatan industrialisasi nasional, untuk mendorong hal tersebut, KKP telah menyusun peta jalan percepatan produksi rumput laut nasional.

Dengan demikian, potensu tersebut tentu direspon swasta cukup baik dengan reekspor rumput laut, seperti CV. Delton Serang memenuhi permintaan rumput laut jenis Spinosum ke Vietnam mencapai 3.000 ton per bulan dengan nilai mencapai Rp36 miliar per bulan. Ekspor dilakukan sebanyak 53,5 ton kering dengan nilai ekspor mencapai Rp700 juta. Spinosum berjenis alga merah bernilai manfaat seperti jenis Eucheuma cottoni yang lebih adaptif dan tahan terhadap penyakit seperti ice-ice. Sehingga sangat potensial didorong sebagai salah satu komoditas unggulan ekspor. Ekspor rumput laut jenis Spinosum oleh CV. Delton Serang

Sementara swasta lainnya, CV Sarana Multi Jaya bersama Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Busan, Korea Selatan, melakukan ekspor rumput laut. Target mengejar ekspor rumput laut jenis cottonii sp. Pengiriman rumput laut sebanyak 1 kontainer 20 feet rumput laut kering senilai US$17.000. Kontrak dan purchase order antara kedua belah pihak per 20 Maret 2020. Unloading kontainer dilakukan pada 23 April 2020 di Busan. Ekspor 53 ton rumput laut kering dari Batam, Kepulauan Riau ke China.

Kemudian, ekspor PT Kencana Bumi Sukses, sepanjang tahun 2019, total ekspornya mencapai 1.371 ton dengan nilai Rp 4,48 miliar. Pada tahun 2020 periode Januari – April ke China senilai lebih dari Rp159 juta. Rumput laut kering hasil produksi 200 ton dalam sebulan. Perusahaan mengirimkan rumput laut ke China, Vietnam dan Singapura.

Repurchasing Cold Storage Sistem Resi Gudang (SRG)

Menurut DJPB KKP (2020) bahwa: pertama, ada sekitar 840.000 ha lahan efektif yang belum termanfaatkan untuk budidaya rumput laut dan jadi fokus pemerintah dalam lima tahun mendatang, untuk mengoptimalkan potensi yang ada. Kedua, intensifikasi melalui inovasi teknologi dan pengembangan bibit rumput laut yang adaptif dengan bibit hasil kultur jaringan dan improve pada varian jenis lainnya seperti strain saccul.

Ketiga, berkaca dari maraknya konflik kepentingan terkait pemanfaatan ruang dengan lintas sektor terkait agar pemerintah daerah memberikan perlindungan terhadap iklim usaha dengan menjamin pemanfaatan ruang usaha dalam Perda Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pulau Pulau Kecil. Keempat, penataan tata niaga di level hulu dan penguatan kelembagaan dan kemitraan usaha untuk menaikan posisi tawar dan nilai tambah pembudidaya, disamping menciptakan siklus bisnis yang efisien.

Dalam data HalloRiau (2020) memuat tentang potensi besar komoditas rumput laut yang ada tidak serta merta turut meningkatkan kualitas kehidupan nelayan yang memanfaatkan komoditas ini. Harga yang fluktuatif, serta tata niaga yang ada, pada akhirnya para nelayan kurang mendapatkan manfaat yang maksimal atas komoditas yang didapat.

Untuk menjamin distribusi hasil produksi rumput laut dengan luas areal lahan dan mentarget 10,99 juta ton. Maka membutuhkan Sistem Resi Gudang (SRG) untuk menyimpan dan permudah pendistribusian ekspor dari nelayan, petani dan pembudidaya. Maka, pemerintah melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), pemerintah terus melakukan sosialisasi tentang pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) — selanjutnya akan disingkat SRG, untuk komoditas rumput laut ini.

Sistem Resi Gudang merupakan dokumen surat berharga atas komoditas yang disimpan di gudang yang terdaftar di Pusat Registrasi (Pusreg) Resi Gudang. Saat ini, kebijakan Pusat Registrasi Resi Gudang dibawah PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) – KBI Persero. Perusahaan BUMN plat merah ini mendapatkan izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti) sebagai Pusat Registrasi yang memiliki fungsi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan serta penyediaan sistem dan jaringan informasi Resi Gudang dan Derivatif Resi Gudang.

Data PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) (2020) menunjukkan, di tahun 2019 nilai pembiayaan Sistem Resi Gudang (SRG) untuk komoditas rumput laut mencapai Rp9,8 Miliar. Rinciannya: tahun 2017 capai Rp2,9 Miliar, dan tahun 2018 capai Rp11,9 Miliar. Dari sisi jumlah Sistem Resi Gudang (SRG) yang diterbitkan, tahun 2017 sejumlah 18 SRG, tahun 2018 sejumlah 25 SRG dan 2019 mencapai 24 SRG.

Dalam upaya mendukung pertumbuhan Sistem Resi Gudang (SRG) komoditas rumput laut, PT. Kliring Berjangka Indonesia (Persero) tahun 2020 menjalin kerjasama dengan PT Asia Sejahtera Mina terkait kemitraan strategis tata niaga komoditas rumput laut. PT Asia Sejahtera Mina sendiri merupakan perusahaan swasta yang salah satu kegiatan usahanya adalah bergerak dalam bidang usaha perdagangan dan industri pengolahan komoditas rumput laut.

Dalam kerjasama, PT. Kliring Berjangka Indonesia (Persero) menyediakan sarana dan prasarana Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi dan Registrasi komoditas rumput laut, sedangkan PT Asia Sejahtera Mina menyediakan komoditas rumput laut yang dimasukan dalam skema resi gudang, serta sarana dan prasarana pemasaran komoditas rumput laut.

Kerjasama antara PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) dengan PT Asia Sejahtera Mina terkait Pembelian dan Penjualan Kembali atau Penjaminan surat berharga berupa Resi Gudang dalam Sistem Resi Gudang komoditas rumput laut, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

Dari data diatas, sebenarnya pemerintah daerah, BUMD, BUMN Perum Perindo, PT. Perinus serta organisasi nelayan maupun pembudidaya bisa menjalin kerjasama kontrak kerja dengan PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) untuk permudah distribusi hasil produksi rumput laut di seluruh Indonesia, agar bermanfaat bagi masyarakat nelayan yang melakukan kegiatan budidaya komoditas rumput laut, tapi juga terhadap ekonomi nasional.

Tentu, kerjasama yang dilakukan untuk pembiayaan perdagangan dengan pola repurchasing berbasis Sistem Resi Gudang (SRG) sehingga dapat mendorong optimalisasi kegiatan produksi dan ekspor komoditas Rumput Laut sehingga transaksi pendapatan petani, pembudidaya dan nelayan meningkat.

Tentu sangat penting dilakukan Repurchasing Cold Storage Sistem Resi Gudang (SRG) untuk menjaga agar hasil produksi rumput laut tidak menurun mutunya. Cuma perlu diantisipasi, diawasi dan dibimbing itu sebagian besar dari petani rumput laut masih melakukan penjemuran diatas pasir tanpa alas sehingga rumput laut yang dihasilkan kotor. Hanya sedikit yang menjemur dengan alas dan para-para bambu.

Selain itu, Repurchasing Cold Storage Sistem Resi Gudang (SRG) mencegah para pengumpul yang sering membeda-bedakan harga rumput laut dan membatasi upaya monopoli pengempul sehingga insentif bagi petani untuk meningkatkan mutu produksinya dapat disesuaikan. Sistem ini, dapat dilakukan, jika terjun langsung, pelaku industri pengolahan bisa bersama-sama pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu rumput laut produksi petani sampai siap diperdagangkan ditingkat internasional. Kemitraan yang saling menguntungkan antara industri pengolahan besar dengan pemasok dan petani adalah jawaban bagi permasalahan mutu.

Maka, saran untuk NTB Gemilang dalam menjamin realisasi visi industrialisasi, sebaiknya lakukan Repurchasing Cold Storage Sistem Resi Gudang (SRG) untuk mengatasi berbagai masalah pembiayaan, teknologi, jenis dan penataan pusat rumput laut sebagai sentralisasi rumput laut nasional. Lagi pula, sala satu model kolaborasi atau aliansi strategis untuk meningkatkan kesejahteraan petani rumput laut.[]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article