Korban Kebebasan Demokratisasi

Herry Santoso
4 Min Read
Ilustrasi keberingasan Kapitaslime
Ilustrasi keberingasan Kapitaslime

jfID – BANYAK negara di dunia yang menjadi korban kebebasan demokrasi sehingga kerap melibas multikultur yang ada dalam tatanan kemasyarakatan serta norma-norma kebangsaan. Hal itu sangatlah wajar, karena dunia kita saat ini dihadapkan pada kontestasi global yang bernuansa orientasi pertumbuhan ekonomi (growth economy oriented).

Inilah yang oleh para konservatifisme acap disebut revolusi budaya radikal. Sebagai dampak latens (sebut saja : Indonesia) tergerusnya nilai-nilai nation and character buillding yang parah dan, atau terkikisnya nilai-nilai theologis oleh kultur utilitas pengagungan kebendaan. Segala derajad kemanusiaan (strata sosial) “hanya” terukur oleh : kaya miskin, sukses-stagnan, modern-kuno, dan angka-angka target pertumbuhan, bahkan dalam urusan politik pun ditandai adanya amandemen-amandemen, perubahan konstitusi yang progresif revolusioner namun miskin peradaban dan keadilan sosial.

Fenomena tersebut terjadi di negara-negara berkembang (laiknya Indonesia) yang berkiblat pada terapan demokrasi barat yang pada gilirannya negara maju mengeksploitasi sumber daya alam dan menumpuk produk-produk industrinya. Sayangnya, itupun tidak mampu menyejahterakan rakyat.

Ketimpangan-ketimpangan ekonomi semakin merebak lantaran materi dan kekuasaan hanya mengakumulasi pada kaum menengah ke atas (middle – upper class), sementara kaum bawah (the lower class) hanya kebagian remah-remah keserakahan yang dibarengi dengan merosotnya nilai moral dan ideologi bangsa.

Demokrasi Amburadul

Setelah lepas dari rezim otoritarian Orde Baru, Indonesia serta-merta menerapkan praktik demokratisasi yang sesungguhnya yaitu “bebas tak berbatas”. Sebenarnya lahirnya demokrasi baru tersebut tidak lepas dari “pemaksaan” Barat pada negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia, tentunya) sebagai prasyarat transfer ilmu pengetahuan, teknologi, dan moneter. Karena dalam tiga hal tersebut Indonesia masih teraneksasi oleh Barat, maka (mau tidak mau) kita menerapkan era demokratisasi ala Barat. Sebagai nanifestasinya adalah dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, dan semua regulasi bisa yang bermuara global (baca : neoliberalisme). Model pemerintahan pun borcorak buttom up yang terkemas apik dengan branded kerakyatan. Hal itulah yang pada gilirannya acapkali melahirkan tragika baru : hilangnya nilai etik, estetik, dan panduan moralitas. Rakyat, baik secara individu maupun kelompok berani menumpah ekspresi gilanya di depan publik : foto presiden ditempelkan di pantat kerbau, ibu-ibu demonstrasi dengan (maaf) telanjang dada, melempar telur busuk di gedung pemerintahan dan ekspresi-ekspresi lain yang menyimpang dari adab ke-Indonesia-an dengan dalih sebuah demokrasi. Itulah ilustrasi nyata demokrasi “Indonesia Baru” yang saat ini dianut sebagai mazab kebangsaan kita.

Sungguh celaka bangsa ini, dan semakin termangu-mangu di simpang jalan lantaran ringkihnya imunitas pemerintahan, bahkan bentuk pemerintahan pun telah bergeser dari model presidensial menjadi “parlementer berkemasan presidensial”. Lebih hebohnya lagi, munculnya “topeng ideologi” sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ormas dan parpol yaitu “pura-pura Pancasilais tetapi anti-Pancasila”. Bukti konkret, ketika ada RUU HIP diajukan ke parlemen mereka bersikap progresif revolusioner turun ke jalan meneriakkan “bela Pancasila” padahal di dalam AD/ART organisasinya sendiri tidak mau berazas pada Pancasila ! Itulah wujud nyata terkikisnya nilai-nilai ideologi kebangsaan akibat dari terapan demokrasi liberal. Demokrasi liberal kenyataannya hanya membawa bangsa ini terjebak di prabrik impian (dreams factory), alhasil Demokrasi Pancasila yang merupakan warisan luhur dalam berbangsa dan bernegara justru identik dengan “kalungan puisi indah tanpa kenyataan”. Bagaimana ?? ***

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article