Klendran Tergerus Zaman

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Kayu," 60x100 cm, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Kayu," 60x100 cm, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Paman Dhoplang adalah sisa-sisa tatanan nilai lama, entah selama apa tatanan nilai itu tak ada yang tahu pasti. Terhadap hiruk-pikuk dan gemerlap kehidupan keseharian yang sarat nilai-nilai urban, ia hanya memiliki satu patokan: tentram atau runyam. Ia hanya tahu tentang kehidupan yang bagi kita sekarang dikategorikan urban dari tetangganya yang kebetulan sangat maju atau malah kemajon dalam kehidupannya.

Dalam ukuran kita yang hidup di masa sekarang, barangkali Paman Dhoplang hanyalah seorang yang utun, “klendran dari suasana zaman. Dalam kosa-kata Jawa istilah “klendran” mengacu pada sesuatu yang hilang karena terlupakan.

Adakalanya, sesuatu yang klendran akan diingat begitu dibutuhkan, tapi ketika saat itu tiba, semua sudah kasep atau terlambat. Hingga ibarat sebuah struktur dimana ketika satu bagiannya ada yang tak berfungsi, maka menjadi tak berfungsi pula keseluruhannya.

Tetangga Paman Dhoplang yang urban itu pernah suatu kali mempermasalahkan kehidupan lelaki tua yang dalam kesehariannya hanya mengenal sawah. “Kok, bisa orang seperti itu menjalani hidup yang demikian,” katanya dengan nada sedikit mengejek (Paman Dhoplang dan Hiruk-Pikuk Politik, Heru Harjo Hutomo, https://www.berdikarionline.com).

Tapi, saya kira, pertanyaan yang sama juga patut diajukan pada si tetangga Paman Dhoplang yang wani wirang tersebut. Dan jawabannya, untuk ukuran Paman Dhoplang, juga tak kalah utun-nya. Memang, Paman Dhoplang tak mengenal Kurt Cobain yang berprinsip bahwa “lebih baik padam daripada memudar,” yang akhirnya menyurungkannya pada kehidupan yang runyam dimana hanya bunuh dirilah satu-satunya solusi yang dipandang tepat, sebab lelaki asal Seatle itu juga berprinsip bahwa “orang, sayangnya, tak dapat membeli kebahagiaan.”

Paman Dhoplang hanya mengenal Ki Nartosabdo yang pernah menyematkan prinsip untuk tak muluk pada salah satu karyanya, Dara Muluk: “Amburu uceng kelangan Dheleg” (Mengejar yang Kakap, Kehilangan yang Teri, Heru HarjoHutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Hanya untuk terkenal dan diakui oleh banyak orang, orang-orang seperti Kurt Cobain, berprinsip luwung mbalela, melanggar atau menjadi tak umum agar menjadi buah bibir. Sampai-sampai, ketika sudah terjebak pada pandangan, mulut, tingkah-laku dan wahamnya sendiri, mesti mengakhirinya dengan cara bunuh diri. Kebahagiaan yang menjadi ideal nama band-nya, Nirvana, sama sekali tak tergapai. Hingga ia pun seperti lupa pada kebahagiaan kecil seperti senyum anak kecilnya yang mesti ditinggal dalam kehidupan runyam mengejar waham dan kematian yang mengenaskan.      

Orang-orang seperti Paman Dhoplang, dalam diamnya, seperti selalu berpesan, kebahagiaan memang tak bisa dibeli, seandainya ukurannya adalah Nirvana sebagaimana ideal seorang yang pernah ditahbiskan sebagai juru bicara generasi x itu yang, patut diakui, berhasil membawa semangat anti-kompleksitas, keadiluhungan dan expertise dalam seni serta estetika.

Barangkali, soal kebahagiaan, Paman Dhoplang tak pernah menempatkannya pada ranah pikiran yang dapat diukur secara pasti. Seperi lirik Dara Muluk Ki Nartosabdo, “Mrih tentreming bebrayan/ Urip ingkang prasaja.” Fajar yang menyingsing, kicau burung-burung di pagi hari, senyum para anak-cucunya, uang 10.000 rupiah dari hasilnya menjual kacang panjang yang ditanamnya di batas-batas pematang sawah, barangkali, itulah yang dapat dijelaskan oleh Paman Dhoplang soal kebahagiaan. Kebahagiaan-kebahagiaan sederhana yang sudah klendran tergerus zaman (“Kawruh [Ekonomi] Beja di Tengah Pagebluk,” Heru Harjo Hutomo, dlm. Kepercayaan dan Pandemi, IRCiSoD, Yogyakarta, 2020).

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article