Khafi

Heru Harjo Hutomo
14 Min Read
"Ndologog," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Ndologog," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfID – Entah telah berapa lama aku hidup dengan mengolah berbagai data, fenomena-fenomena yang janggal, dan kemudian membuat kesimpulan seakurat mungkin. Dari berbagai kasus lokal sampai kasus-kasus nasional telah aku coba pecahkan.

Sebermulanya aku hanyalah seorang petani biasa, meski secara tak sengaja pendidikan yang aku peroleh sebelumnya tak rendah. Kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di desaku membawaku untuk minggat, dan seperti seorang detektif, menjadi seorang pemecah kasus.

Pendidikan yang aku peroleh selama ini memang cukup membantu banyak penyelidikanku. Meski tak terdidik secara formal dalam pendidikan intelijen, tapi naluriku untuk memecahkan kasus selalu tergerak. Isu-isu yang seolah tampak seperti benang-kusut, campur-aduk, saling berkelindan, dan membuat bingung banyak orang, dengan sekuat tenaga aku coba untuk urai. Dan barangkali tak hanya pendidikan, pergaulanku di masa lalu juga cukup membantu untuk mengurai isu-isu itu.

Dalam pekerjaanku untuk memecahkan kasus tak jarang kehidupan yang bagi sebagian orang dipandang sulit aku kerjakan: menjadi tukang ojek, kuli tukang cat, preman, atau bahkan guru mengaji sekalipun.

Seperti kasus yang baru saja terjadi, tentang sekelompok orang yang mencoba mencari masalah di tengah wabah corona, aku telah menuliskan pengamatanku tentang akan adanya kerusuhan di sejumlah tempat. Tapi lacur, redakturku men-suspend analisaku.

***

Ada banyak hal yang, apalagi di zaman ini, tak orang pahami. Entah kenapa, dan entah sejak kapan pula, hidup seolah sudah terplot. Dan seperti tak ada saudara, orangtua, isteri, yang dapat satu plot dalam permainan ini—sekalipun ada sungguh tak gampang untuk menyamakan jalan.

Pijakan ataupun pilihan awal orang seolah menentukan pijakan ataupun pilihan-pilihan selanjutnya. Hampir empat tahun lalu, ketika berbagai kegilaan terjadi di desaku, aku memilih untuk diam dan mengamati keadaan. Waktu itu, entah kenapa, aku seperti memilih posisi yang selalu dicacimaki dan direndahkan: NU, antiradikalisme dan antiterorisme (pemerintah), aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME atau yang aku sebut sebagai kapitayan, dan pluralisme.

Barangkali, posisiku itu juga ditentukan oleh figur Bapakku di desa sewaktu ia masih hidup, dan tentu saja selain latar-belakangku yang pernah bersinggungan dengan posisi yang aku pilih. “Kenapa NU ataupun yang bersinggungan dengannya yang selalu dicacimaki dan direndahkan?,” merupakan catatan awalku yang kemudian aku kembangkan.

Aku mengambil sample Bapakku yang setelah meninggal tak luput untuk dicacimaki. Makian dan perendahan itu aku rasakan juga menimpa diriku pribadi. Barangkali, (alm.) Bapakku dan aku sendiri hanyalah lapis pertama yang menutupi lapis-lapis berikutnya. Demikian pula para pelaku caci-maki dan perendahan yang aku kira juga sekedar lapis pertama dari suatu konspirasi besar.

Saya teringat cerpen Borges perihal labirin yang sama sekali tanpa isi, atau katakanlah, untuk meminjam Derrida, makna yang tunggal dan final. Tapi kemudian aku tak bersikap demikian dalam menganalisa apa yang terjadi. Meski makna yang tunggal dan final adalah sebuah kemustahilan, tentang apa dan siapa yang menjadi target setidaknya dapat dipolakan.

Bapakku dan aku pribadi yang sekedar orang-orang desa hanyalah penanda tentang sesuatu yang jauh lebih besar: toleransi, akulturasi Islam dan budaya Jawa, fleksibilitas moral dan pendekatan kemasyarakatan, politik, dan kosmopolitanisme tanpa meninggalkan lokalitas. Yang hampir semuanya aku kira seperti representasi dari posisi yang hampir empat tahun lalu aku pilih.

Seandainya aku runut, orang-orang lokal yang terlibat dalam caci-maki dan perendahan-perendahan itu juga merupakan bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dan berlapis. Di samping kiprah (alm.) Bapakku di tingkat lokal, pilihan politiknya dan pilihan politikku selalu saja berada pada rezim pemenang, yang entah kenapa fakta itu seperti menyingkapkan sebentuk upaya sistematis untuk melemahkan pemerintahan yang sah dan para pendukungnya dahulu, khususnya NU.

***

Teori Bourdieu tentang arena sosial (social field) membawaku untuk minggat dari desaku secara diam-diam, sebab barangkali aksi-aksi nyata yang tak sekedar simbolik bukan terjadi di desaku. Kota Dwara adalah pilihan pertamaku untuk kembali menginjakkan kaki setelah selama dua tahun penuh menjadi seorang petani dengan segala habitusnya.

Kesimpulanku atas Bourdieu adalah bahwa, meskipun secara simbolik caci-maki dan penolakan benar-benar terjadi di desaku, peristiwa serupa yang nyata secara fisik dapat terjadi di kota Dwara karena arena sosialnya mendukung untuk itu. 

Dan benarlah dugaanku, tahun 2017, secara psikologis dan fisik, adalah tahun teberat bagi toleransi, pluralisme, gerakan antiradikalisme dan antiterorisme, dan kalangan minoritas (khususnya kalangan kapitayan), di kota Dwara dan kota-kota besar lainnya.

***

Saat menjadi tukang ojek aku pun telah menjadi seorang kontributor media di bawah naungan lembaga pemerintah dan media independen yang rata-rata berawakkan orang-orang dengan latar-belakang nahdliyin. Kedua media itu sama-sama berkecimpung dalam isu-isu seputar pluralisme, radikalisme dan terorisme.

Dengan menjadi tukang ojek, yang dapat keluar-masuk wilayah tanpa mencolok, aku juga dapat melakukan semacam observasi dan mengais data-data yang aku butuhkan sehingga dapat membuat sendiri peta persebaran radikalisme. Karena itulah seperti ada keterkaitan antara peristiwa yang secara simbolik pernah terjadi di desaku dengan apa yang benar-benar terjadi di kota Dwara. Arena sosial kota Dwara memang sangat mendukung peristiwa yang secara simbolik pernah terjadi di desaku untuk terjadi dalam kenyataan.

Bagaimana mungkin desaku yang corak masyarakatnya homogen sampai terdapat ketegangan dengan komunitas Katolik, aliran kapitayan, dan aktivis-aktivis kiri, yang secara formal tak ada komunitasnya di sana? Bagaimana mungkin (alm.) Bapakku yang notabene orang nahdliyin sampai dihina-hina oleh orang-orang desanya sendiri yang secara formal tak satu pun yang menganut komunitas-komunitas Islam radikal kecuali Muhammadiyah abangan?

Setidaknya ada sejumlah wilayah yang menjadi habitat paham tertentu di kota Dwara: wilayah Sibe dengan paham Salafi-Yamani dan IM, kampus Wiyata yang dominan dengan HTI, wilayah Manuk dengan Muhammadiyah garis kerasnya, kampung Maping dengan FPI dan Salafi-Jihadi, kampung Ciganjur dengan kalangan yang konon tengah belajar agama Islam atau para mualaf yang masih ber-KTP Katolik, kampung Sajuga dengan habitat nasionalisme garis keras.

Pada tahun 2017 aku sudah merasakan sentimen pada NU dan pendiskriminasian kalangan kapitayan di kota Dwara persis yang secara simbolik pernah terjadi di desaku, yang menimpa (alm.) Bapakku dan aku sendiri. Waktu itu, entah kenapa, salah satu ikon pluralisme, Gus Dur, begitu dicacimaki. “Picek!” dan “Kafir!,” seolah adalah lontaran verbal yang telah menjadi santapan sehari-hari. Kebiasaan kalangan nahdliyin untuk melafalkan surat al-Fatihah ketika mengetahui orang-orang yang meninggal tiba-tiba begitu dipersoalkan, tak sekedar di media-media sosial tapi juga di jalanan—yang anehnya ketika di lapangan justru dilakukan oleh kalangan yang sama sekali tak paham dengan agama Islam: kalangan Katolik, Islam semu atau kalangan ultra-nasionalis.

***

Kota Dwara ternyata menyibakkan pula konflik di antara kalangan penganut Islam radikal sendiri. Selama ini aku hanya tahu dari berbagai literatur ataupun kabar yang beredar. Tapi dalam kenyataannya tak satu pun yang aku pernah saksikan dan dengarkan dengan mata serta telinga sendiri.

Orang-orang dari kampung Sibe yang berpaham Salafi-Yamani dan IM ternyata bermusuhan satu sama lainnya. Sebab IM telah dianggap murtad dengan mendirikan partai politik yang harus berdamai dengan demokrasi yang merupakan thagut. Sementara, meski sama-sama berhabitat kampus, orang-orang HTI di kampus Wiyata ternyata juga tak cocok dengan orang-orang IM di kampung Sibe. Adalagi yang menarik, ternyata orang-orang kampung Manuk tak sungkan untuk kelahi dengan orang-orang kampung Maping terkait perebutan lahan parkir dan pasar. Yang lebih menggelikan justru kampung Ciganjur yang notabene kampung Katolik dan mualaf ternyata justru mendukung atau cenderung berafiliasi dengan orang-orang kampung Maping dan suka main belakang dengan orang-orang kampung Manuk. Sementara orang-orang kampung Sajuga yang terkenal sebagai kalangan ultra-nasionalis tak enggan untuk meneror orang-orang IM dari kampung Sibe dan orang-orang kampung Ciganjur, meskipun tak jarang mereka juga berkongsi dengan orang-orang kampung Maping.         

Kisah-kisah konflik di kota Dwara terkadang aku rasakan menggelikan, karena berputar-putar tanpa ujung. Seumpamanya, orang-orang IM di kampung Sibe, selain bermusuhan dengan orang-orang Salafi-Yamani, kerap pula direcoki dan ditundukkan oleh orang-orang Sajuga. Tapi anehnya, orang-orang Salafi-Yamani di kampung Sibe yang justru disegani oleh orang-orang kampung Sajuga, karena dahulu pernah menundukkan mereka. Sementara orang-orang kampung Ciganjur ternyata takut pada orang-orang kampung Sajuga yang paham akan kebusukan mereka. Dan orang-orang kampung Manuk, di samping terkenal sebagai dedengkot orang-orang yang anti-nasionalisme, ternyata sering mendiskriminasikan dan merendahkan orang-orang kampung Ciganjur dan meneror orang-orang dari kampus Wiyata.

***

Ketika menjelang pembubaran dan pelarangan ormas HTI, aku merasakan iklim di kota Dwara begitu panas. Sebelumnya, beberapa kali aksi-aksi intoleransi menghiasi kehidupan publik kota yang pernah terkenal dengan keberagamannya itu. Aku sempat menyambangi kembali dan mengulas beberapa aliran kapitayan, yang aku tahu, tengah tergencet pula. Tak sekedar karya-karya jurnalisme advokasi, dalam mengangkat nasib kalangan kapitayan, aku juga menuangkannya dalam karya seni rupa yang pernah aku gelar pula di kota ini.

Di kota dengan arena sosial seperti itu, yang minimnya adalah kalangan Muhammadiyah, pembiaran terhadap aksi-aksi intoleransi tampak nyata terjadi. Dan kalangan aktivis lintas iman pun serasa ciut nyali, sebab begitu aku mencari data-data kekerasan berlatarbelakang perbedaan keyakinan sama sekali tak ada. Padahal sentimen keagamaan dan keyakinan sungguh terasa menyengat. Bahkan NU pun, yang terkenal sebagai salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia, tak luput untuk digencet dan mengalami kekerasan di lapangan. Belum lagi basis massanya di kalangan akar-rumput pedesaan yang mesti hidup dalam ejekan dan provokasi.

The silent majority adalah fenomena yang benar-benar terjadi di kota Dwara saat itu. Tak bisa disangkal, dengan arena sosial, habitat dan iklim seperti itu, aku memandang bahwa sewaktu-waktu aksi terorisme pasti akan pula terjadi kota itu. Meskipun aku sadar orang-orang yang berprofesi seperti diriku hanya menjadi bahan guyonan dan ejekan di sana. Dan benarlah dugaanku, meski gagal, beberapa kali aksi terorisme benar-benar berunjuk gigi di kota yang saat itu tengah terburai anyaman keberagamannya.

Bagaimana mungkin banyak orang sampai bahkan seniman pun ada yang hijrah dan tertarik pada HTI serta mendakwahkan ideologinya dalam karya-karya rupanya? Hasil investigasiku mengungkapkan bahwa kebanyakan dari mereka berharap dimudahkan segala urusannya oleh kalangan birokrasi atau institusional yang waktu itu, dengan pola penggaetan ala romantisisme kalangan muda dan seks dengan topeng keagamaan (serta tahap “pembersihan”-nya), begitu diimani oleh mereka. Secara sekilas, bagi orang awam, HTI tampil seperti laiknya sufisme urban—atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Islam Syadziliyah.” Dan mahasiswa-mahasiswi Katolik pun, yang barangkali tergiur dengan petualangan seks berbau keagamaannya, juga banyak yang terpikat.

Dalam melakukan investigasi dan advokasi itu sempat pula aku meninggalkan secarik pesan pada redakturku, tentang kemungkinan yang terjadi pada diriku: “Barangkali, banyak orang akan mendamikku sebagai orang yang sok pahlawan, kawan. Tapi tak demikian adanya, sebagaimana yang kau tahu, dengan melihat latar-belakangku, aku bukanlah orang luar yang berupaya mengangkat apa yang mereka alami. Aku telah menjadi bagian dari mereka semenjak masih bocah dan semasa kuliah. Dengan kata lain, aku sekedar membela diriku sendiri.”

 (Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, pemerhati radikalisme dan terorisme, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article