Ketika Sastra Kehilangan Jati Diri

bramadapp
3 Min Read

jfID – Dulu sastra untuk memahami keindahan al Quran dan Hadits. Kini sastra menjadi sebuah karya. Tidak untuk apa-apa, yang penting indah dipuja-puja.

Dulu orang saling mengasihi karena sastra. Sekarang orang saling mencaci dan menghina melalui sastra.
 
Dulu orang saling menghormati karena kata-kata hikmah. Kini orang awam dibuat bingung dan resah oleh sastra.
 
Sastra tak pernah berubah rumusnya dari dulu, ilmu dan buku panduannya pun tak pernah berubah dari dulu. Lalu yang berubah apanya? Hati penulisnya?

Dulu orang belajar sastra sebagai modal untuk memahami kelembutan ilmu lainnya. Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya, maunya belajar ilmu sastra saja.

Dulu penyair dan sastrawan dipilih berdasarkan kepintarannya, yang paling cerdas diantara orang-orang lainnya. Sekarang orang yang paling pandai berbeda dan mengambil hati penguasa justru dielu-elukan sebagai sastrawan hebat di dunia.

Dulu para murid diajarkan untuk terus belajar, giat dan taat. Sekarang siswa malas belajar, tapi sesaat setelah mengenal satu ilmu, seperti sudah mendunia. Seperti kacang melupakan kulitnya, gurunya pun harus ditantang debat melalui keindahan kata. Semestinya, sastra bukan ilmu untuk berdebat dan memaksa kehendak.

Dulu sastra mempererat hubungan manusia dengan Tuhan. Sekarang manusia jauh dari Tuhan karena sibuk bersastra tanpa hati nurani.

Dulu sastra ditempuh untuk mengenal Tuhan. Sekarang sastra ditempuh untuk mengkritik Tuhan.

Esensi bersastra telah dilupakan. Sastra kini hanya komoditi yang menguntungkan pelaku bisnis berbasis tulisan-tulisan hikmah, karena semua yang berbau sastra telah didewa-dewakan, takkan pernah dianggap salah, tak pernah ditolak, dan jadi keperluan pokok melebihi akhlaq kesantunan, bekal di dada, dan pengetahuan agama. Bersastra menjadi hobi, tren, dan bahkan pelarian karena tak tahu lagi bagaimana menjalani agama yang sebenarnya.

Sastra kini dikultuskan menjadi dewa, sedang Tuhan, kuasa dan hukum-Nya disindir melalui sastra.

Sastra masa lalu untuk memuja Tuhan. Sastra kini mendebat Tuhan. Sastra dibuat untuk menjatuhkan orang-orang yang justru mengagungkan nama Tuhan tanpa batas, dan sastra mengira mereka sedang menggadaikan dan menjual Tuhan untuk uang sakunya. Kini, sastra banyak menipu orang-orang awam.

Tuhan mana yang mengajarkan tuk membunuh? Tidak ada. Karena Tuhan hanya satu; Allah.

Tuhan mana yang mengajarkan tuk membenci? Tidak ada, tidak perlu tanya Tuhan yang mana lagi, karena Tuhan hanya satu; Allah. Tapi manusia membunuh, membenci, mengintimidasi, merusak, sambil dengan bangga meneriakkan nama Tuhan, karena para penyair seperti memberikan pilihan berTuhan kepada orang awam, melalui sastra-sastranya.

Sastra dijadikan senjata tuk menghabisi manusia lainnya, termasuk orang yang benar-benar mendakwahkan agama Allah. Dan tanpa disadari manusia sedang dirusak moralnya oleh para sastrawan hebat di muka bumi ini. Hari ini, bedakanlah antara sastrawan, ilmuwan dan agamawan, agar orang awam tidak menduga cacing sebagai ular naga.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article