Kentut

Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
"Tingwe," 90x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.
"Tingwe," 90x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.

Hidup itu kentut

Tak peduli Jawa atau Tionghoa

Muslim atau Buddha

Semua sama saja

Di mana pun kentut tetaplah kentut

Kenapa mesti ribut?

—Heru Harjo Hutomo

jfid – Dalam khazanah budaya Jawa terdapat istilah yang menyatakan bahwa apa-apa yang tergelar di mata tak mencerminkan kenyataan yang ada. Istilah itu adalah istilah “pendheman” yang mengacu pada sesuatu yang berharga tapi berada di suatu kondisi yang bagi mata kebanyakan tak berharga, seperti halnya emas yang berserakan di kubangan lumpur.

Dalam paradigma pendheman, ukuran sebuah kebesaran tak tergantung pada tatanan kebudayaan ataupun moral kaum milenialan dimana citra menentukan segalanya. Orang-orang besar dalam kebudayaan milenial semacam ini dapat berarti adalah orang-orang yang popular sebagaimana para pejabat, langganan liputan media-media massa, atau bahkan orang-orang tajir yang mukanya menongol laiknya bayi.

Konon, dalam khazanah pesantren, Khidhir adalah sesosok pendheman par excellence. Sementara di Jawa, sosok pendheman itu adalah Semar. Mereka berdua hadir laiknya sebuah desekrasi, sebentuk bahak pada keluhuran ataupun kesucian yang lazimnya diagung-agungkan. Penampilan mereka berdua, yang sama sekali tak peduli pada citra diri, barangkali tak sesuai dengan standar para pakar ilmu komunikasi milenialan yang seolah berhak menentukan siapa saja yang berhak muncul di ruang-ruang seminar, TV ataupun media-media lainnya. Jadi, ketika diukur dengan standar ilmu komunikasi milenialan yang menyaratkan muka para pesolek (sebagaimana istilah photogenic ataupun instagramable), kedua sosok yang masyhur di langit tapi mastur di Bumi ini memang memilih untuk kalah ganteng untuk hadir sebagai sebentuk desekrasi. Maklum, secara ironis, keadilan memang kerapkali adalah milik orang-orang yang berlaku tak adil. Karena itulah, konon, Semar sangat terkenal dengan letupan kentutnya yang tak membeda-bedakan para pendengar maupun penghidunya, entah bangsawan maupun jelata, brahmana maupun durjana.

Perbedaan di antara keduanya adalah seandainya Khidhir perlu menyamar sedemikian rupa untuk menunaikan tugasnya, yang terkadang seperti orang gila yang di mata orang kebanyakan sama sekali tak berharga, Semar tanpa menyamar pun sudahlah samar sebagaimana se-pupuh tembang pocung yang menggambarkan dirinya.

Luwih ewuh

Lurah Semar yen ginunggung

Yen jalua samar

Jaja mungal lir pawestri

Yen estria Lurah Semar kekuncungan

Tapi bagi saya, sebagaimana istilah “kyai pendheman” di pesantren-pesantren tarekat, pendheman ini ternyata bukanlah suatu keadaan atau bahkan laku sebagaimana yang dicanangkan oleh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari, “Idfin wujudaka fil ardhil khumuli.” Pendheman adalah juga sebuah perspektif atau bahkan metode untuk menyingkapkan apa-apa yang dianggap sebagai pendheman atau apa-apa yang memang sengaja dipendam untuk kepentingan tertentu.

Pada titik inilah justru perspektif pendheman adalah perspektif yang menolak pemendaman ketika pemendaman itu bersifat politis atau bahkan menyebabkan kacaunya segala tertib kehidupan karena, dalam keyakinan tertentu, bersinggungan dengan keadaan poros dimana kehidupan itu berjalan. Ibarat gangsingan, ketika porosnya dalam keadaan tak sebagaimana mestinya tentu perputaran gangsingan itu akan kacau dan tak karuan arahnya. Di sinilah ungkapan Jawa “ngeli ning ora keli” menemukan konteksnya.

Ketika Ronggawarsita menolak tradisi pemendaman dalam kultur keraton dan pesantren, dengan memakai sandi asma dan membubuhkan tapak asma pada kebanyakan karya-karyanya, bukanlah sama sekali tanpa alasan (Tanda Tangan Ronggawarsita, Kesombongan Tanpa Kontroversi, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Seandainya ia tak bersikap “pongah” waktu itu tentu kesusastraan Jawa tak akan mencapai kondisi renaissance–nya dan kemungkinan justru akan diklaim oleh penjajah Belanda. Ketika secara politis keraton Surakarta sudah dikuasai oleh Belanda, maka tinggallah kesusastraan yang menjadi ruang perlawanannya dimana Ronggawarsita, dengan segala “kepongahannya,” menjadi salah satu pelopornya yang tanpanya rakyat Jawa kala itu tak akan terpupuk daya perlawanannya atas segala penjajahan.

Dengan demikian, pada dasarnya perspektif pendheman adalah perspektif yang berupaya menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Seperti halnya kisah salah satu syekh dalam sanad keilmuan tarekat Naqsyabandiyah yang pernah kungkum dan mampu menderaskan 1000 kali isim mufrad dalam satu tarikan nafas atas petunjuk Khidhir yang pernah tampil laiknya bukan orang saleh di hadapannya, tentu seandainya ia bersikap menyepelekan seperti kebanyakan orang Naqsyabandiyah tak akan mewarnai peradaban Islam dan bahkan dunia dengan prinsip “khalwat dar anjuman”-nya.

Atau pada kisah pewayangan dimana Semar yang secara tata-gelar tak mencerminkan seorang yang suci dan luhur diizinkan oleh Pandawa untuk diboyong oleh pihak lain, tentu Pandawa tak akan menjadi pribadi-pribadi yang bersimbah wahyu dan memenangkan peperangan. Sebab, sedari kecil Pandawa sudah diajarkan untuk menghormati dan selalu dekat dengan Semar yang pada hakikatnya adalah Bathara Ismaya.

Maka dari itu, perspektif pendheman memungkinkan segala sesuatu yang dianggap kecil, remeh-temeh atau pinggiran, ternyata dapat menyingkapkan sebuah problem besar yang selama ini dianggap pelik. Taruhlah pluralisme dengan pluralitasnya yang acap menjadikan sumber sengketa. Ternyata ketika orang sadar akan kentut yang tanpanya ia bukanlah sesosok manusia akan menyadari pula bahwa apapun latar-belakang SARA-nya kentut itu tetaplah kentut yang tak akan produktif ketika dibuat ribut.   

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article