Kekuasaan di Negeri Ini = Feodalisme

Herry Santoso
3 Min Read

jfID – KADANG kita suka merenung, yang berhak jadi pemimpin di negeri ini hanya segelintir kaum “hartawan”. Jangan sok bermimpi rakyat biasa bisa memimpin suatu daerah, apalagi di negara ini. Negeri ini sepenuhnya dikuasai oleh kaum elitis feodalis, burjuis, dan kapitalis. Mereka mengaku punya kedekatan dengan rakyat, rakyat yang mana? Sebab, rakyat kebanyakan hanya jadi penonton yang miskin dan kerdil dari pinggir lapangan kekuasaan! John Emerich Edward Dalberg Acton yang kemudian dikenal dengan Lord Acton (1833 – 1902) menyatakan, “kekuasaan itu cerderung korup. Kekuasaan absolut pasti 100 % korup”. (power tends to currupts. Absolute power currupts absolutely). Barangkali penyataan Lord Action itu tidaklah berlebihan. Di mana-mana penguasa selalu korup. Mengapa? Sebab kedudukannya berhasil dibangun dari membeli suara dan “tipu daya” pada rakyat jelata. Sudah tentu selama mereka berkuasa akan berusaha korup demi mengembalikan modal yang pernah dikeluarkan demi memburu singgasana. Inilah biang keladi yang menjadikan kekuasaan jauh dari amanah kerakyatan. Demokrasi cuma sebuah lipstik, dan demokrasi sebatas jargon propaganda politik yang memuakkan.

Bendara dan Kawula

Di atas kertas rakyat sebagai simbol “kawula” dan pemimpin sebagai “bendara”. Orang yang suka bicara tentang rakyat susungguhnya justru jauh dari rakyat. Dan lucunya orang yang sudah sering bicara tentang rakyat sok mewisuda dirinya sebagai demokrat sejati, pejuang kepentingan rakyat. Jujur, semua itu adalah fatamurgana.

Di negeri ini hampir tak satu pun pemimpin yang manifestasi kerakyatan lantaran mereka hanya ingin kehormatan dan langgengnya kekuasaan (oligarky) dalam sebuah dinasti. Simbol-simbol feodalisme pun selalu mewarnai kekuasaan misalnya : jika seorang pemimpin mau turun ke lapangan diikuti rombongan sebagai bawahannya, ada voorijder atau sirene meraung-raung dari pasukan pengawal, dan sebagainya. Jika kita akan memasuki sebuah kantor ada satpam di pos jaga terdepan, harus melalui prosedur yang bertele-tele, dus semua itu adalah simbol-simbol feodalisme kekuasaan absolut.


Simbol-simbol kekuasaan yang memanifestasikan antara “seorang bendara (pemimpin) dan kawula (rakyat)” tersebut adalah bentuk dari kultur feodalisme warisan kolonialis masa lalu yang menjauh dari demokrasi kerakyatan. Maka benar adanya jika suatu kekuasaan adalah lambang kesemuan dari penindasan terhadap rakyat. Kita perlu belajar dari negara miskin Timor Leste, ketika ada kunjungan seorang pemimpin setingkat bupati tidak ada seremoni laiknya di negeri ini. Juga negara-negara kaya laiknya Swiss, atau Canada. Kunjungan pejabat setingkat bupati/wali kota tidak perlu melebihi seorang raja. Sebab mereka menyadari bahwa yang punya jalan adalah rakyat, dan pemimpin identik dengan pelayan rakyat. Bagaimana ? ***

Herry Santoso, pemerhati sosial politik dan budaya, jurnalis aktif tinggal di Blitar, Jawa Timur

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article