Kajian Budaya: Simbiosis Mutualisme Sastra dan Budaya

Tjahjono Widarmanto
13 Min Read
Ilustrasi (sumber: sindikatnews.com)
Ilustrasi (sumber: sindikatnews.com)

jfID – Studi sastra dewasa ini semakin meluaskan perspektifnya, lebih mengarah ke telaah unsur ekstrinsik yang ditautkan dengan bidang-bidang pengetahuan lain seperti sosiologi, politik, psikologi, antropologi, ekonomi, filsafat, sejarah, hukum serta bidang-bidang lainnya. Dilihat dari perspektif sastra bandingan, kajian ini tidak lagi terbatas pada konsep pengaruh-mempengaruhi, tetapi bidang-bidang lain dapat dipakai sebagai sudut pandang untuk menelaah karya sastra.

Dengan menempatkan sastra dalam perspektif interdisipliner, studi sastra tidak lagi menjadi mercu suar yang terasing dan terisolasi pada dirinya sendiri. Adanya kecenderungan toleransi antarbidang pengetahuan itu menjadikan sudut pandang kajian yang lebih utuh terhadap permasalahan kehidupan serta semakin memperluas dan memperkaya cakrawala dan realitas kehidupan. Sekat-sekat pemisah antarbidang menjadi berkurang dan perbedaan hakikat antar dua disiplin justru akan menampilkan pemahaman yang lebih kompleks sekaligus lebih kaya.

Sastra dan kebudayaan memiliki hubungan erat. Kedua istilah ini berada dalam kelompok kata yang memberikan perhatian pada aspek-aspek rohaniah, sebagai pencerahan akal budi manusia. Sastra berasal dari akar kata sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi; dan akhiran tra yang bermakna alat atau sarana. Dalam perkembangan berikutnya kata sastra dikombinasikan dengan awalan su sehingga menjadi susastra, yang dimaknai sebagai hasil ciptaan seni bahasa yang baik dan indah.

Adapun kebudayaan memiliki banyak definisi. Definisi yang paling tua sekaligus paling luas berasal dari E.B Tylor yang dalam bukunya Primitive Culture (1871) yang mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kebiuasaan lain. Senada dengan pendapat di atas, Definisi mutakhir disampaikan oleh Marvin Harris (1999) yang mendefinisikan budaya sebagai seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dari cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.  

Sastra merupakan produk budaya sehingga teks sastra tidak dapat ditanggalkan dari praktik kehidupan berbudaya. Karya sastra menawarkan sekaligus menunjukkan wacana sejarah kehidupan manusia yang terilhami budaya masa lampau, teraktualisasi pada masa kini sekaligus menawarkan inspirasi dan dunia yang ideal untuk masa depan. Karya sastra merupakan produk budaya yang mengikuti sekaligus memiliki potensi mendahului zamannya sehingga dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi perjalanan praktik budaya.

Karya sastra selalu berada dalam ruang ketegangan budaya. Masa lampau, masa kini dan masa depan merupakan proses tarik menarik dan tawar menawar untuk representasi identitas. Identitas tersebut diidentifikasi,  diproduksi, ditawarkan, serta diatur sehingga representasinya kembali pada identitas sebagai sirkuit budaya. Karya sastra pada dasarnya bisa berfungsi sebagai studi identitas yang berkaitan dengan ketegangan budaya. Ketegangan budaya yang eksterem memunculkan pandangan bahwa manusia perlu memahami dirinya sendiri, memahami dunia sekitarnya, memahami ruang lingkup budayanya. 

Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan kebudayaan mempunyai objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial dan manusia sebagai mahluk kultural. Sebagai aktivitas kultural, sastra dan kebudayaan sama-sama mengantarkan manusia ke jenjang kehidupan yang lebih baik. Perbedaannya, karya sastra melakukannya secara tak langsung, melalui bahasa metaforis konotatif, sedangkan aspek kebudayaan pada umumnya melakukan secara langsung dan denotatif. Pada umumnya kebudayaan menganalisis manusia secara langsung dalam masyarakat yang bersangkutan, di tempat kejadian. Andaikata objek studi kultural adalah teks, maka teks itu dianggap sebagai representasi suatu kejadian tertentu. Dalam situasi semacam inilah dikatakan teks sebagai gejala kedua.

Sebaliknya, sastra selalu mentransformasikan segala fenomena sosial dan budaya terlebih dahulu ke dalam teks, dari bahasa formal ke dalam bahasa sastra, dari factual ke imajinasi. Objek formal karya sastra dengan demikian adalah teks itu sendiri, sedangkan objek formal studi cultural adalah kejadian-kejadian empiris yang sudah dilegitimasikan ke dalam teks. Kejadian-kejadian empiris yang sudah dilegitimasikan tidak bisa lagi diterjemahkan kembali ke dalam kejadian semula sebab sesudah direka karya sastra tidak lagi memiliki relevansi objektif. Sebaliknya, sastra bukan lagi rangkaian kata, melainkan sudah berubah menjadi wacana, yang oleh Lotman disebut sebagai sistem model kedua yaitu rekonstruksi yang harus dipahami secara tak langsung.

Melalui bahasa, sastra mengikat keseluruhan aspek kehidupan manusia yang kemudian akan tersaji dengan cara-cara yang khas dan unik yang berbeda dengan narasi nonsastra. Bentuk penyajian yang berbeda itu menjadikan peristiwa sesungguhnya dapat dipahami secara lebih bermakna, lebih intens, lebih luas dan mendalam. Misalnya, masalah-masalah-masalah perempuan Indonesia dalam berbagai zaman dapat dijelaskan lebih mendalam setelah membaca novel Siti Nurbaya di zaman Balai Pustaka, novel Belenggu dan Layar Terkembang di zaman Pujangga Baru, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG di zaman 1970-an atau novel-novel Ayu Utami di tahun 2000-an. Kehidupan kultural Priyayi Jawa dapat dihami secara lebih intens melalui novel-novel Umar Kayam (Para Priyayi, dan Jalan Menikung), kasta dan kultur Bali dapat mudah dipahami melalui Tarian Bumi, Sagra, Pandora (karya Oka Rusmini), tradisi, kepercayaan dan kultur rakyat agraris pedesaan dapat lebih dipahami melalui Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, dan sebagainya.

Sebagai dimensi yang pluralitas, teksa sastra menampilkan keragaman budaya, cara pandang, nilai yang menembus makna di balik gejala. Barthes menyebutnya sebagai bukan hakikat ambigiutas melainkan sebagai hakikat teks yaitu tenunan kebudayaan. Studi kultural memahami karya sastra dalam kaitan seperti di atas, memandang teks sebagai hakikat pluralitas. Hasilnya dengan sendirinya keragaman budaya tersebut tidak boleh disertai dengan praduga-praduga yang menempatkan salah satu objek sebagai pusat dan objek lain sebagai nonpusat.
Unsur pengarang dalam kelahiran teks sastra sangatlah penting. Pengarang jelas merupakan anggota masyarakat. Pengarang (sastrawan) dalam mencipta sastra selalu berdasarkan pengalamannya dalam masyarakat. Sastrawan mencipta sastra berdasarkan pengalaman dan pengamatannya kepada peristiwa sosial dan budaya yang ada, yang diubahnya menjadi peristiwa yang baru. Dengan kata lain, sastrawan mencipta peristiwa yang baru, yang berbeda atas dasar peritiwa yang ada. Sastrawan merupakan penemu sekaligus pencipta dunia kehidupan.

Sastrawan-sastrawan besar akan menemukan dan mengungkapkan masalah-masalah yang besar, namun ada juga sastrawan biasa yang menemukan dan mengungkapkan hanya bagian permukaan dari sisi kehidupan. Dalam studi kultural sastrawan jenis pertama lebih signifikan dalam mengungkapkan masalah-masalah mendasar kehidupan manusia dan masyarakat tertentu.

Studi cultural tidak memahami sastrawan sebagai individual karena berasumsi bahwa pengalaman sastrawan tersebut digali di dalam dan melalui kompetensi masyarakat dalam konstruksi transindividual. Sastrawan tidak pernah menulis teks sastra semata-mata atas dasar pengalaman pribadinya, namun ia dikondisikan secara sosial sehingga teks sastra yang diciptanya bersifat sosial. Dalam sastra modern ada kecenderungan untuk melakukan anonimitas, sebab hanya dalam kerangka anonimitaslah karya sastra memiiliki arti sebagai dunia sosiokultural yang menghasilkan dimensi-dimensi studi kultural.

Karya sastra bagi pengarang adalah sarana untuk mengungkapkan berbagai permasalahan da;lam kehidupan, di samping fungsi-fungsi lainnya. Semakin kompleks permasalahan dalam kehidupan, semakin rumit dan beragam pula fungsi dan muatan karya sastra. Karya sastra dikatakan oleh Madan Sarup sebagai “narasi yang menyingkap dan sekaligus menyembunyikan dunia”. Kajian sastra harus mengikuti perkembangan tersebut untuk menjawab permasalahan kehidupan yang kompleks itu. Sastra dan kajian yang melingkupinya adalah salah satu gerakan kebudayaan. Sastra dan kajiannya adalah gerakan kebudayaan yang menjadi salah satu alternatif membuat gerakan dan cita-cita sosial budaya.

Karya sastra merupakan sebuah konstruksi yang rumit. Sastra menggerakkan cara berpikir manusia karena sastra memiliki kepedulian terhadap masalah fundamental manusia yang filosofis yang menutut jawaban yang bersifat plural. Dalam karya sastra memungkinkan pertanyaan-pertanyaan dibiarkan menganga dan dibiarkannya kita merenungi makna memahami kematian sekaligus kehidupan dan memaknai manusia dari berbagai sisi yang lain sekaligus dari sisi yang umum.


Karya sastra merupakan gelanggang manifestasi berbagai kondisi manusiawi dan oleh karenanya mampu memaparkan representasi aneka ragam penghayatan atas sosio budaya manusia. Melalui karya sastra manusia memiliki peluang untuk melakukan objektivikasi penghayataan yang subjektif. Oleh karena itu tepatlah dikatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kemungkinan dipantulkannya subjektivitas, dengan kata lain menjadi layar proyeksi pengalaman sosial, budaya dan psikis manusia.

Karya sastra selalu berkait dengan ketegangan budaya dalam struktur sosial. Sementara struktur sosial terjadi ketika perubahan sistemik dan simultan pada hubungan dari produksi, konsumsi, kekuasaan dan pengalaman yang membawa perubahan budaya. Oleh karena itulah karya sastra dapat didekati dari berbagai segi dan sisi seiring dengan arus perubahan budaya.

Karya sastra adalah produk budaya masyarakat yang ditulis dalam bentuk teks. Kajian Budaya (Cultural studies) memaknai teks sebagai “semua praktik yang mengacu pada makna”. Makna tersebut diturunkan dari konsep budaya dalam Kajian Budaya, yaitu lingkungan aktual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa, dan adat istiadat masyarakat tertentu, berbagai bentuk akal sehat yang saling kontradiktif yang terakar dan membentuk kehidupan.

Kajian budaya dapat dikaitkan dengan disiplin sosiologi sastra yang pada mulanya berakar pada konsep mimetic. Kajian sosiologi sastra secara mandiri telah banyak dilakukan, untuk pengembangan ilmu pengetahuan kajian perlu diarahkan ke kajian budaya sebagai payung teoritiknya. Sebagai interdisipliner, kajian budaya dapat disimbiosiskan secara mutual dengan disiplin lain termasuk dengan sosiologi sastra dengan melibatkan telaah hermeneutika yang bertolak dari teks sastra baik prosa dan puisi dengan melihat kaitannya dalam diksi, kalimat, larik, bait, symbol, metafora dan hal lain yang berkait dengan bahasa, serta menemukan instruksi-instruksi yang terdapat dalam bentuk simbolis.

Bagian terbesar dari kajian budaya berpusat pada pertanyaan tentang representasi yaitu bagaimana dunia dikonstruksikan dan direpresentasikan secara sosial. Ini mengharuskan pengeksplorasian pembentukan makna tekstual dan makna kultural. Representasi dan makna kultural memiliki materialism tertentu yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, dan lain sebagainya.

Kajian budaya juga melihat dan menandai salah satu proses manusia dibentuk sebagai pribadi-pribadi. Menjadi satu pribadi, subjektivitas dan identitas menjadi bidang perhatian penting dalam kajian budaya. Dengan kata lain, kajian budaya mengeksplorasi bagaimana kita menjadi sosok sebagaimana adanya sekarang dan bagaimana mengidentifikasikan diri. Identitas bukanlah sesuatu yang eksis tapi merupakan hasil konstruksi diskursif, produk diskursus atau cara bertutur yang terarah tentang dunia. Dengan kata lain, identitas itu dibentuk atau diciptakan bukan diketemukan.

Dalam sebuah teks sastra dapat dirunut bagaimana sastrawan membentuk identitas dan melakukan reidentifikasi dirinya. Identitas dibentuk dari berbagai macam anasir, di antaranya adalah sistem cultural yang yaitu : Superstruktur ideologis, yang mencakup: ideologi (pandangan hidup, sikap hidup), agama (kepercayaan, nilai, mistisisme), ilmu pengetahuan, tradisi (mitologi, kesenian); dan struktur sosial, yang meliputi stratifikasi sosial, ras dan etnik, politik, pembagian kerja secara seksual, keluarga dan kekerabatan, pendidikan; dan infrastruktur material yang mencakup; teknologi, ekonomi, ekologi, dan demografi.*

Tjahjono Widarmanto adalah penyair dan esais Indonesia yang tinggal di Ngawi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article