Jenar dan Ortodoksi Tak Tahu Malu

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
Gambar Ilustrasi, "The Discursive Wall," 60x100 cm, kapur di atas papan, karya Heru Harjo Hutomo, 2020
Gambar Ilustrasi, "The Discursive Wall," 60x100 cm, kapur di atas papan, karya Heru Harjo Hutomo, 2020

jfID – Kenapa saya suka kisah tentang Syekh Siti Jenar? Karena ia banyak mempermalukan ortodoksi—atau kalangan yang dahulu terkenal heterodoks tiba-tiba, karena sebuah posisi ataupun purih, menjadi ortodoks.

Pada dasarnya, dari berbagai sumber tertulis tentang Jenar, yang berkembang menjadi kisah tutur-tinular di kalangan masyarakat umum, seorang yang dieksekusi oleh walisongo tersebut merupakan hasil imajinasi yang menjadi tokoh perwakilan pandangan hidup R.P. Natarata (Natarata: Kembara Sang Sufi Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Saya menemukan benang merah di antara berbagai karya R.P. Natarata perihal konsepsinya tentang Tuhan dan kebatinan. Serat Bayanulah, Serat Seh Siti Jenar, Serat Kancil Kridhamartana, dan Serat Sabda Utama, adalah beberapa karya yang mengetengahkan konsepsi Tuhan dan kebatinan yang sama. Maka, dapat dipastikan bahwa kisah dan ajaran Syekh Siti Jenar yang berkembang di kalangan umum masa kini adalah ajaran R.P. Natarata yang pernah menjadi guru dari Ki Kusumawicitra muda yang kelak mendirikan Paguyuban Harda Pusara. Ki Kusumawicitra sendiri adalah seorang demang pembangkang di Kemanukan, Purworejo, yang pernah menjadi buruan Belanda karena menolak untuk membayar pajak (Temali Sang Mahayogi, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dalam catatan, Ki Kusumawicitra pernah bersembunyi di belantara hutan Banyuwangi dalam upaya pelariannya dari Belanda. Tak jelas benar apakah ia pernah bersua dengan Ki Ageng Djoyopoernomo, pendiri Pirukunan Ayu Mardi Utomo (PAMU) di sana, yang juga sama-sama buruan Belanda. Yang terang, saya menemukan bahwa nama Gusti Notoprojo juga sama-sama dikenal dalam kedua paguyuban ini, baik HP maupun PAMU.

Tak ada catatan yang pasti perihal apakah yang ditemui oleh seorang Abdurrahman Wahid di Temuguruh, Banyuwangi, yang terkenal itu adalah Ki Ageng Djoyopoernomo (Agama Sipil dan Pecah Belah Ukhuwah Wathaniyah-Basyariyah, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Yang jelas, cucu KH. Hasyim Asy’ari itu memperkenalkannya sebagai seorang pangeran dan mengakuinya, beserta para anak-muridnya, sebagai saudara (Menyambangi Sosrokartono, Mengingat Arya Papak, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Hubungan Ki Ageng Djoyopoernomo sendiri dengan kalangan pesantren adalah laiknya pengalaman ambigu seorang Ronggawarsita: pernah tak dianggap, dicacimaki, dan dibuang (Gebang Tinatar dan Gelar Santri di Balik Nama Besar Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, https://etnis.id).

Saya kira, kisah Siti Jenar, Ronggawarsita, Ki Ageng Djoyopoernomo, dan bahkan R.P. Natarata sendiri adalah kisah kelam perselisihan antara penganut Islam heterodoks yang sangat bercorak lokal dan autochthonous dan Islam ortodoks yang puritan dan wani wirang. Saya pribadi terkadang ngungun bagaimana mungkin istilah “sangkan-paraning dumadi yang merupakan parafrase dari ajaran “innalillahi wa innailahi raji’un dapat mengundang kontroversi dan pemvonisan? Atau istilah “manunggaling kawula-Gusti yang merupakan parafrase dari istilah “Abdullah dapat digunakan sebagai bahan untuk memvonisnya “sesat” ataupun “kafir”? Atau istilah “mati sajroning urip (anta mautu qablal maut) yang merupakan intisari dari laku ibadah haji yang mesti menulis secarik wasiat terlebih dahulu, menanggalkan keluarga dan segala status serta predikatnya dalam kehidupan sehari-hari, dalam rangka mengejar kesempurnaan berislam—dimana dalam terang Jenar, Ronggawarsita, Ki Ageng Djoyopoernomo, R.P. Natarata, disebut sebagai “ngelmu kasampurnan”—divonis sebagai “kafir” dan “sesat” (Sangkan-Paran dan Sekilas Kenangan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id)? Apakah orang-orang ortodoks yang gegabah dalam menilai ekspresi kenusantaraan tersebut tak pernah berhaji sehingga lupa seandainya ngelmu kasampurnan dalam kebudayaan Jawa adalah ekspresi lokalitas atas ritual haji? Siapakah yang utun, kurang referensi, dan keblinger pada akhirnya, para muslim yang ditengarai heterodoks sebagaimana Jenar, Ronggawarsita, Ki Ageng Djoyopoernomo, R.P. Natarata, ataukah para muslim ortodoks? Jangan-jangan, hanya karena permasalahan rasa dan bahasa Jawa yang enggan dikajinya menjadikan seseorang buta nalar dan hatinya sehingga tak jejeg dalam menjatuhkan judgment. Tak pelak lagi, agama pun terkadang dapat menjadi hijab antara seorang hamba dan TuhanNya.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article