Jelajah: Melacak Jejak ‘Warok’: Menembus Hutan Perawan Ponorogo – Bendungan

Herry Santoso
4 Min Read
Warok Sakti, foto: istimewa
Warok Sakti, foto: istimewa
jfID - KEMARIN kami berhasil menjelajahi lembah Bukit Kembar di puncak Dolo, Sidomulyo.  Ingin nembuktikan aroma harum yang melekat di kabut pekat. Jelajah itu pun berlanjut ke Kecamatan Bendungan, dan diteruskan menyusuri "jalan perintis" ke Pulung Ponorogo.

 Jalur yang sudah dilewati bus perintis Damri dengan ongkos subsidi (Tulungagung - Ponorogo cuma Rp 6.000,-) itu memang luar biasa. Masalahnya, menemus hutan perawan lebat dalam kemiringan (tanjakan)  sekitar 54 derajad. 

 "Ini merupakan jalan ter-ekstrem nomor 2 di Kabupaten Trenggakek, Mas, " ucap penulis pada Mas Jayadi jurnalis dari _Bernas,_ Jogja. "Nomor satu tanjakan Rengkek-rengkek, arah Kampak - Munjungan yang punya kemiringan 61 derajad. " imbuh penulis yang membuat mereka berdua berkali-kali berdecak.

  Lebih-lebih menjelang Soko, Triton Mitshubisi, yang disupiri Yoyon (42) hasil tukar pakai dengan Pak Mul, Kades Bendungan,  terasa menderu, dan saya yakin jika tetap menggunakan honda Mobilio, kemungkinan besar akan mengerang-erang di tanjakan lantaran model matic pada transmisinya. Sungguh. Tetapi, rasa cemas itu pun bisa ditebus dengan indahnya perkebunan kayu putih arah di jalur Soko - Pulung. 

 Lebih-lebih ketika memasuki Desa Pulung, kecemasan yang bergayut hilang seketika tatkala menikmati segarnya _es gempol_ Pak Giman plus sate ayam kampung khas Ponorogo yang seakan meresap ke tulang sumsum. Oh ya, saya ingat Ning Peni, saat sama-sama di Montana Hotel Malang (sebagai narsum) pernah menyinggung es gempol dari tepung jagung ini. _Juruh_ (sirup bikinan sendiri) dari gula Jawa  berbahan nira kelapa asli  (tanpa pengawet)  dipadu aroma daun pandan, sungguh menumbuhkan inspirasi baru. Terlebih, sate ayam panas khas Ponorogo yang besar-besar memang semua jadi ikonis yang berkerak di hati. 

Bertemu Warok

  Namanya, Mbah Rejo. Lengkapnya Rejo Suwito (94). Kakek setua itu tak pernah beristri, kecuali "nggemblak". Ia, konon punya lima orang _geblakan_ yang masih usia muda antara 15 - 21 tahun. Secara harfiah gemblak adalah laki-laki muda berparas tampan sebagai pendamping seorang warok. 

  Mengapa tidak menikahi perempuan ? Dalam bingkai kultur _kejawen_ jika menikahi perempuan ilmu _kasekten_ (kesaktian) sang warok bisa luntur, dan tidak kebal lagi.

   Itulah keragaman budaya etnis yang sangat varian di tanah Jawa. Laiknya Mbah Rejo, sungguhpun usianya sudah (maaf) tua bangka, tetapi masih tampak _trengginas_ (gesit) dan jangan heran jika di pintu gerbang halamannya terpampang *Padhepokan Seni Bela Diri Tameng Raga.*

 _"Kula sampun sepuh kok Mase, watawis sangang Sekawanan,"_ (saya sudah tua Mas, sekitar sembilan puluh empat tahunan), aku Mbah Rejo yang tak lepas dari rokok _klembak menyan_  di jepitan jemarinya. Saat ditanya, sudah berapa jumlah siswanya ? Dengan terkekah simbah yang beraura sabar itu bilang, _"Sampun ewon, Mas..."_ (Sudah ribuan, Mas).

  Menurut seorang tamu yang juga "njagong" di situ, cara nenghitung bukan jumlah siswa, tetapi berapa jumlah pendekar (jawara) yang berhasil dilahirkannya.

  Malah sebelum penulis undur diri dari padepokan itu, sang kakek sempat berfilsafat.
  _"Sapunika kathah sanget tiyang ingkang sampun kecalan kiblat budayanipun piyambak inggih punika budaya Jawi. Tiyang Jawi sami lingsem ngakeni Jawinipun..."_ (Sekarang banyak orang yang kehilangan budayanya sendiri yaitu budaya Jawa. Bahkan malu disebut orang Jawa ), pungkasnya mengakhiri perjumpaan dengan rombongan penulis. 

  Mentari sudah tergelincir di langit barat ketika kami undur diri dari padepokan warok itu.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article