Jalan Kematian yang Penuh Lucu-lucuan

Rasyiqi
By Rasyiqi
5 Min Read
Krisis Peti mati di Ekuador (foto: liputan6.com)
Krisis Peti mati di Ekuador (foto: liputan6.com)

jfID – Sudah sebulan lebih perhatian publik masih mutlak didominasi oleh berita-berita tentang Covid-19. Sebuah virus yang konon mampu menular cepat dan sanggup membunuh orang dalam waktu singkat. Sudah banyak yang terinfeksi dan kemudian mati. Tidak hanya di dalam negeri melainkan di negara belahan dunia lainnya juga MATI.

Kengerian publik tidak hanya fenomena tentang mati, melainkan penanganan pemerintah atas wabah ini pun yang seolah-olah dunia sudah mau kiamat. Dimana-mana terdengar TNI/POLRI ribut dengan Pedagang kaki lima, komunitas Ojol, dan Warga yang sedang menyelenggarakan hajatan, yang menolak dibubarkan.

Jadi, kengerian yang membungkusi Jagad Langit Indonesia sesungguhnya bukan hanya Covid-19 semata, tapi tindakan pemerintah yang atas nama pencegahan penyebaran virus ini menimbulkan kegaduhan besar. Bagaimana mungkin, ngakunya menghimbau, tapi ketika tak dipatuhi diterapkan penghukuman. Warkop dan kafe suru tutup, tapi pemiliknya tak diberi kompensasi biaya hidup. Mana ada hukum yang begini?

Bila tindakan yang demikian terus dipertahankan oleh pemerintah, betapa Rakyat akan menangis diam-diam, antara marah, benci dan dendam, sehingga Konflik Vertikal potensial pecah setiap saat. Rakyat akan melawan dan mengamuk.

Puncak dari segala kengerian adalah apabila benar ternyata Presiden Menetapkan Darurat Sipil. Suatu keputusan yang bagi saya sangatlah sewenang. Tidak proporsional dan tidak berdasar hukum. Problem vital kita saat ini adalah soal keadilan. Soal hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Yang kesemuanya ditimpakan kepada Polri sebagai institusi yang paling tidak dapat dipercaya di Republik ini. Dalam keadaan normal saja POLRI cenderung sewenang-wenang, apalagi kalau diberi kesempatan berlebih selaku pelaksana dari Darurat Sipil ini, Maka binasalah rakyat Indonesia.

Tidak itu saja. Tindakan penanganan pencegahan yang tidak berimbang, juga potensial menjadi pemicu konflik horizontal. Yang sangat sensitif melalui isu keagamaan. Antar kiai saling mendebat. Yang satu bilang, atas nama TAWAKKAL, tak perlu takut Corona. Yang lainnya, atas nama IKHTIAR, membantah. Covid-19 ibarat singa. Tak ada alasan untuk tetap mendekatinya. Bila dua kelompok ini saling berhadapan dengan arogansinya, pecahlah konflik horizontal.

Konflik Horizontal pun bisa membelah karena yang lebih luas bilamana ternyata ada diskriminasi dalam penerapan kebijakan. Sholat Jum’at Dilarang, tapi pabrik milik China tetap jalan. Ini akan memantik kemarahan Ummat Islam.

Benarkah keadaan negara sudah demikian mencemaskan? Padahal masih banyak fakta-fakta lain yang menganggap enteng dan remeh Covid-19 ini, yang katanya tidaklah terlalu berbahaya, yaitu hanya memiliki resiko kematian 2%.

Artikel-artikel mengenai Covid-19 ini cukup banyak bertebaran, dan isinya cukup melegakan hati karena dasar argumentasinya masuk akal. Toch kenyataannya, cara menghadapi virus ini ternyata sama saja dengan cara menghindari virus-virus lain yang justru jauh lebih berbahaya, yakni TBC yang keganasannya konon masih nomor urut 1 di negeri ini yaitu mampu membunuh 14 orang perjam.

Sampai disini kita pun masih berfikir, bila benar Covid-19 ini sangat berbahaya, kenapa TNI/POLRI diturunkan menemui kerumunan warga? Siapa yang menjamin bahwa TNI/POLRI yang suka petangtang-petenteng itu tidak mengidap virus Covid-19 dan justru daripadanya lalu menularkannya kepada kerumunan warga.

Yang belum masuk akal lainnya adalah, bila benar Covid-19 ini sudah pada tingkat yang benar-benar berbahaya, kenapa tindakan pemerintah hanya merupakan himbauan saja. Bukan perintah! Toch, dalam kenyataannya, meskipun hanya himbauan ternyata implementasinya adalah tindakan pelarangan dan sanksi-sanksi. Aneh Bin Ajaib Rejim ini!

Yang paling mencurigakan adalah Bagaimana tentang penggunaan Masker yang ternyata tidak seragam. Bahwa yang pakai masker hanyalah mereka yang terinfeksi, akan tetapi ternyata banyak petugas keamanan TNI/POLRI ketika mengusir warga ternyata pakai masker.

Dan kita pun lupa, bahwa Hingga saat ini pun kita belum dapat informasi yang memadai tentang berapa sesungguhnya yang telah meninggal karena Covid-19 ini, bagaimana cara meninggalnya, dari golongan apa, dan apakah tidak ada penyakit bawaan selain Covid-19. Tanpa penjelasan yang memadai, Mengapa tiba-tiba Covid-19 seolah-seolah disudutkan sebagai pembunuh tunggal.

Dengan demikian, kiranya akan lebih pantas bila pemerintah memberikan informasi yang benar-benar akurat mengenai fenomena ini, dan mengurangi tindakan kekerasan terhadap warga. Jadi, kalau belum jelas siapa yang pada dirinya terinfeksi virus ini, sepatutnya TNI/Polri mengurangi kegalakannya kepada rakyat.

Tentang Penulis: Kurniadi, Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Madura (YLBH).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article