Interkulturalisme: Tentang Persinggungan-Persinggungan di Seberang Bahasa

Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
Ilustrasi "Sungging Singgung," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
Ilustrasi "Sungging Singgung," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Ada satu kearifan yang mendasari pertanian yang merupakan identitas kultural dan ideologis kalangan Sedulur Sikep yang konon diwariskan oleh Kyai Samin Surosentiko. Ada yang mengatakan bahwa Sedulur Sikep bermula dari gerakan Raden Kohar, Kyai Samin muda, yang konon masih keturunan ningrat Tulungagung, Sumodiningrat. Padahal, sepengetahuan saya, Sumodiningrat merupakan Adipati Sumoroto yang kini makamnya tergolek di situs gunung Srandil, Ponorogo. Pengidentifikasian saya ini terkait pula dengan fashion yang lekat dengan komunitas Sedulur Sikep: pakaian hitam-hitam dan celana komprang hitam selutut khas para warok Ponorogo dan orang-orang Madura.

Sementara, kedekatan kultural antara Madura dan Ponorogo sudah dikenal sejak era kerajaan Singasari dan awal kerajaan Majapahit, ketika Ponorogo masih dikenal dengan nama Wengker. Arya Wiraraja yang pernah menjadi penguasa di Songenep, atau Sumenep kini, pernah berkelana dan berguru di Wengker, perbatasan antara Ponorogo kini dan Kediri (Lenyapnya Sisi Politis Reyog, Heru HarjoHutomo, https://www.idenera.com).

Di era kerajaan Mataram Islam persinggungan antara Madura dan Ponorogo juga ada kaitannya dengan Trunajaya yang pernah mencari suaka pada Panembahan Kajoran di Bayat, Klaten, yang kelak menjadi mertuanya. Adapun Panembahan Kajoran sendiri merupakan keturunan Panembahan Agung, adipati ke-2 Kadipaten Ponorogo (Bergesernya Paradigma Kosmologis Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).

Raden Kohar sewaktu muda memimpin sebuah gerakan yang terkenal dengan nama “Kraman Brandalan” yang memberontak pada Belanda. Ketika sudah banyak memiliki pengikut, ia membentuk sebuah komunitas yang kini dikenal sebagai Sedulur Sikep. Yang membedakan Sedulur Sikep dengan komunitas lainnya adalah bahwa komunitas Sedulur Sikep mendasarkan kehidupannya pada ajaran spiritual Kyai Samin Surosentiko, yang pada dasarnya sama belaka dengan spiritualitas Jawa yang berpusat pada dua prinsip utama: sangkan-paraning dumadi dan manunggaling kawula-Gusti. Tapi yang membedakan mereka bahwa ekspresi mereka lebih bersifat kerakyatan yang jauh dari keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Konsekuensi praksisnya pun juga tak sama. Sebagaimana Bima Suci atau Begawan Suryandari, yang selain tampak kasar dan tak bisa berbahasa halus, menjadi seorang “raja” tak mutlak dimonopoli oleh raja formal semata (Suryandari dan Relasi Pengetahuan/Kekuasaan, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Ketika orang telah mendapatkan pepadhang, ia mendapatkan pula kekuasaan dan wilayah tertentu. Bukankah pada dasarnya hal ini sama belaka dengan kepercayaan dalam sufisme dan tarekat dimana sebuah wilayah dengan struktur spiritual mulai dari qutub, autad, dst., ditetapkan? Bukankah terdapat seorang sufi yang bergelar sebagai sulthanul auliya’, Sultan Agung, dst.? Dengan kata lain, spiritualitas Jawa pun pada dasarnya tak jauh beda dengan spiritualitas Islam atau sufisme.

Hal lain yang menarik dari Sedulur Sikep adalah konsep pertanian mereka yang ternyata juga diturunkan dari doktrin-doktrin spiritual mereka. Konsep mereka tentang manunggaling kawula-Gusti seumpamanya, memandang bahwa alam pada dasarnya adalah sesosok mitra untuk bekerjasama. Manusia, pada konsep ini, tak hidup di dalam sekaligus di seberang alam, tapi bersama dengan alam dimana ketika yang satu rusak, maka yang lainnya pun akan ikut rusak. Istilah Jawa untuk menyebut relasi semacam ini adalah “wengku-winengku” (saling mendukung dan menguatkan).

Konsekuensi politisnya, tentu otonomi diri menjadi tuntutan yang mesti dipenuhi. Asumsinya, ketika semua orang adalah raja sekaligus rakyatnya, maka tak perlu lagi adanya tata aturan yang mengatur segala tertib kehidupan semisal hukum positif. Karena itu lazim bahwa di wilayah perkampungan Sedulur Sikep tak dikenal yang namanya maling. Semua orang seperti sudah diatur secara otomatis melalui ruang internal atau batin mereka. Dalam kawruh beja Suryamentaraman hal ini disebut sebagai “raos sami” (Suryamentaram di Tengah Temaram Zaman, Heru HarjoHutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Bukankah dalam sufisme terdapat kepercayaan bahwa orang yang sudah wushul adalah orang yang sebelum diperintah telah melaksanakannya?

Dengan berbagai karakteristik tersebut, maka terdapat beberapa pandangan yang menilai bahwa Sedulur Sikep adalah sebentuk anarkisme ketika ditarik pada ranah politik—atau lebih tepatnya, apa yang diidealkan oleh anarkisme.

Kisah persinggungan Sedulur Sikep sejak masa Kyai Samin dengan pemerintah, entah Belanda dan awal terbentuknya NKRI, memang cukup kompleks. Saya kira kompleksitas itu adalah karena kita tak dapat atau tak mau memahami filosofi ataupun spiritualitas Sedulur Sikep yang mendasari kehidupannya.

Penyematan anarkisme pada gerakan mereka pun sebenarnya tak pula tepat. Mengingat, relasi yang diidealkan oleh Sedulur Sikep adalah keselarasan, raos sami sebagaimana yang juga diidealkan oleh Ki Ageng Suryamentaram, baik keselarasan dengan sesama manusia maupun dengan alam. Akhirulkalam, seandainya satu Saridin saja cukup membuat geleng-geleng kepala seorang Sunan Kudus, apalagi 1000 Sedulur Sikep?

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article