Hikayat Sang Kopek: Mengarungi Alam Pikir Jawa dalam Pertunjukan Wayang Purwa

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Hikayat Sang Kopek," 29x37 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas (Heru Harjo Hutomo, 2017)
"Hikayat Sang Kopek," 29x37 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas (Heru Harjo Hutomo, 2017)

luwih ewuh

lurah Semar yen ginunggung

yen jalua samar

jaja mungal lir pawestri

yen estria lurah Semar kekuncungan

—Sekar Pocung

jfID – Wayang purwa Jawa bagi saya tak sekedar dedongengan, seni pertunjukan, tontonan yang memuat tuntunan, ataupun kacabenggala kehidupan yang bersandar pada hukum sebab-akibat sebagaimana yang kerap ditembangkan para pesinden di tengah gending-gending talu yang mengalun menjelang pagelaran (Akumu Adalah Jejer-mu:Wajah Lain Sufisme Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com).

Telah banyak hal yang saya kupas dalam kisah dan pertunjukan wayang purwa Jawa. Dahulu, dalam sebuah obrolan dengan salah seorang sesepuh, ada dua penyebutan terkait dengan pertunjukan wayang: wayang kulit (ringgit wacucal) dan wayang purwa. Wayang kulit adalah sebuah pertunjukan di mana para penonton melihatnya dari sisi depan panggung sehingga tampaklah aneka rupa dan warna yang atraktif dan memikat: berbagai boneka dua dimensi dari kulit kerbau yang berjajar, aneka instrumen gamelan beserta penabuhnya (niyaga), dalang dengan sebilah keris Pandhawa Cinarita yang terselip di punggungnya seumpamanya, dan simpuh para pesindhen yang siap membentuk suasana.

Sementara wayang purwa lebih mengacu pada cara menonton yang berlangsung dari balik kelir (panggung wayang). Secara teknis istilah “purwa” merujuk pada istilah “yang awal” sebelum wayang madya (pertengahan) yang mengisahkan romantika Panji-Sekartaji pada masa Kediri. Secara kasepuhan, kata orang itu, istilah “purwa” mengacu pada “purwaning dumadi” atau awal segala kehidupan yang bersumber dari sabda (logos).

Makna wayang purwa itulah yang merupakan fungsi klasik dari pertunjukan wayang Jawa, sebagaimana keris tindhih yang lekat dengan fungsi ritual daripada aspek seni ataupun artistiknya (Makna Relasi Tuhan dan Insan dalam Sebilah Pusaka, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Apa yang kini disebut sebagai seni tradisional pada awalnya adalah sebuah ritual yang berhubungan dengan keselarasan antara jagat cilik (manusia) dan jagat gedhe (kosmos) sebelum kapitalisme mengkomodifikasikannya ataupun komunisme, setidaknya di Indonesia, mempolitisasinya.

Arus perkembangan pertunjukan wayang Jawa seperti halnya arus perkembangan pusat orientasi kebudayaan Barat, dari kosmosentrisme di era Yunani purba, teosentrisme di abad pertengahan, dan humanisme di abad modern. Tilikan historis saya ini sama sekali lepas dari judgment apakah perkembangan pertunjukan wayang Jawa beringsut baik atau buruk, tinggi atau rendah, tapi bahwa pertunjukan wayang Jawa pun tak pernah tunggal dalam pemaknaannya. Untuk meminjam istilah Foucault, senantiasa ada episteme—atau paradigm dalam istilah Thomas Kuhn—dalam setiap epos sejarahnya yang menangguhkan segala judgment terhadapnya. Dalam hal ini ada sebuah ungkapan dari para dalang atas perubahan dan perkembangan pertunjukan wayang Jawa, baik fungsi maupun bentuknya: “Lha, piye, nek ora ngene ora payu?

Ungkapan di atas menandakan adanya episteme yang telah saya perbincangkan. Episteme inilah yang selama ini membentuk, mendikte atau mengatur eksistensi pertunjukan wayang Jawa. Berbicara episteme bukanlah berbicara tentang faktor determinan sebagaimana dalam marxisme klasik, yang karib disebut sebagai konstruksi sosial (social construction). Pendek kata, bahwa tak ada klaim yang berlaku mutlak pada pertunjukan wayang Jawa maupun pemaknaannya. Menyatakan bahwa pertunjukan wayang Jawa adalah sebuah ritual pada akhirnya sama sahnya dengan menyatakannya sebagai sebuah hiburan.

Lantas, mengingat konsekuensi episteme atau paradigm tersebut, seandainya tak ada parameter yang tunggal bagaimana kemudian orang memperbincangkan wayang? Di sinilah saya kira kelemahan atau bahkan kegagalan logika modernisme yang pasti bungkam ketika memperbincangkan keberagaman sekaligus keunikan yang melekat pada kenyataan (realitas).

Dalam melihat hal tersebut, saya akan mengambil logika yang diperkenalkan oleh wayang beserta pertunjukannya itu sendiri: Semar. Sebagai sebuah logika yang menyamar dalam sebuah karakter, Semar tentu bukanlah sebentuk logika modern yang maunya serba pasti, kalau tak hitam pastilah putih. Sebagaimana yang digambarkan dalam se-pupuh tembang pocung di atas.

lebih sukar

lurah Semar untuk dibabar

seandainya lelaki kok sangsi

teteknya kopek seperti putri

seandainya putri kok kuncung

Di sinilah saya kira logika Semar yang serba samar mendapatkan ruangnya yang mengambang di antara dua ruang yang sekilas berseberangan: ruang lelaki (kuncung) dan ruang putri (tetek), ruang tinggi (dewa) dan ruang rendah (kawula), ruang suka (bibir tersenyum) dan ruang duka (mata rembes). Ruang inilah yang pernah saya sebut sebagai ruang ambang (Ruang Ambang Pewayangan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)     

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article