Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
No Result
View All Result
Kirimkan
Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
Kirimkan
  • Login
  • Register
New & Opini
Home Berita Budaya

Hikayat Sang Kopek: Mengarungi Alam Pikir Jawa dalam Pertunjukan Wayang Purwa

by Heru Harjo Hutomo
7 bulan ago
in Budaya, Opini
Reading Time: 7min read
0
"Hikayat Sang Kopek," 29x37 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas (Heru Harjo Hutomo, 2017)

"Hikayat Sang Kopek," 29x37 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas (Heru Harjo Hutomo, 2017)

Share on FacebookShare on Twitter

luwih ewuh

lurah Semar yen ginunggung

yen jalua samar

jaja mungal lir pawestri

yen estria lurah Semar kekuncungan

BACAJUGA

No Content Available

—Sekar Pocung

jfID – Wayang purwa Jawa bagi saya tak sekedar dedongengan, seni pertunjukan, tontonan yang memuat tuntunan, ataupun kacabenggala kehidupan yang bersandar pada hukum sebab-akibat sebagaimana yang kerap ditembangkan para pesinden di tengah gending-gending talu yang mengalun menjelang pagelaran (Akumu Adalah Jejer-mu:Wajah Lain Sufisme Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com).

Telah banyak hal yang saya kupas dalam kisah dan pertunjukan wayang purwa Jawa. Dahulu, dalam sebuah obrolan dengan salah seorang sesepuh, ada dua penyebutan terkait dengan pertunjukan wayang: wayang kulit (ringgit wacucal) dan wayang purwa. Wayang kulit adalah sebuah pertunjukan di mana para penonton melihatnya dari sisi depan panggung sehingga tampaklah aneka rupa dan warna yang atraktif dan memikat: berbagai boneka dua dimensi dari kulit kerbau yang berjajar, aneka instrumen gamelan beserta penabuhnya (niyaga), dalang dengan sebilah keris Pandhawa Cinarita yang terselip di punggungnya seumpamanya, dan simpuh para pesindhen yang siap membentuk suasana.

Sementara wayang purwa lebih mengacu pada cara menonton yang berlangsung dari balik kelir (panggung wayang). Secara teknis istilah “purwa” merujuk pada istilah “yang awal” sebelum wayang madya (pertengahan) yang mengisahkan romantika Panji-Sekartaji pada masa Kediri. Secara kasepuhan, kata orang itu, istilah “purwa” mengacu pada “purwaning dumadi” atau awal segala kehidupan yang bersumber dari sabda (logos).

Makna wayang purwa itulah yang merupakan fungsi klasik dari pertunjukan wayang Jawa, sebagaimana keris tindhih yang lekat dengan fungsi ritual daripada aspek seni ataupun artistiknya (Makna Relasi Tuhan dan Insan dalam Sebilah Pusaka, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Apa yang kini disebut sebagai seni tradisional pada awalnya adalah sebuah ritual yang berhubungan dengan keselarasan antara jagat cilik (manusia) dan jagat gedhe (kosmos) sebelum kapitalisme mengkomodifikasikannya ataupun komunisme, setidaknya di Indonesia, mempolitisasinya.

Arus perkembangan pertunjukan wayang Jawa seperti halnya arus perkembangan pusat orientasi kebudayaan Barat, dari kosmosentrisme di era Yunani purba, teosentrisme di abad pertengahan, dan humanisme di abad modern. Tilikan historis saya ini sama sekali lepas dari judgment apakah perkembangan pertunjukan wayang Jawa beringsut baik atau buruk, tinggi atau rendah, tapi bahwa pertunjukan wayang Jawa pun tak pernah tunggal dalam pemaknaannya. Untuk meminjam istilah Foucault, senantiasa ada episteme—atau paradigm dalam istilah Thomas Kuhn—dalam setiap epos sejarahnya yang menangguhkan segala judgment terhadapnya. Dalam hal ini ada sebuah ungkapan dari para dalang atas perubahan dan perkembangan pertunjukan wayang Jawa, baik fungsi maupun bentuknya: “Lha, piye, nek ora ngene ora payu?”

Ungkapan di atas menandakan adanya episteme yang telah saya perbincangkan. Episteme inilah yang selama ini membentuk, mendikte atau mengatur eksistensi pertunjukan wayang Jawa. Berbicara episteme bukanlah berbicara tentang faktor determinan sebagaimana dalam marxisme klasik, yang karib disebut sebagai konstruksi sosial (social construction). Pendek kata, bahwa tak ada klaim yang berlaku mutlak pada pertunjukan wayang Jawa maupun pemaknaannya. Menyatakan bahwa pertunjukan wayang Jawa adalah sebuah ritual pada akhirnya sama sahnya dengan menyatakannya sebagai sebuah hiburan.

Lantas, mengingat konsekuensi episteme atau paradigm tersebut, seandainya tak ada parameter yang tunggal bagaimana kemudian orang memperbincangkan wayang? Di sinilah saya kira kelemahan atau bahkan kegagalan logika modernisme yang pasti bungkam ketika memperbincangkan keberagaman sekaligus keunikan yang melekat pada kenyataan (realitas).

Dalam melihat hal tersebut, saya akan mengambil logika yang diperkenalkan oleh wayang beserta pertunjukannya itu sendiri: Semar. Sebagai sebuah logika yang menyamar dalam sebuah karakter, Semar tentu bukanlah sebentuk logika modern yang maunya serba pasti, kalau tak hitam pastilah putih. Sebagaimana yang digambarkan dalam se-pupuh tembang pocung di atas.

lebih sukar

lurah Semar untuk dibabar

seandainya lelaki kok sangsi

teteknya kopek seperti putri

seandainya putri kok kuncung

Di sinilah saya kira logika Semar yang serba samar mendapatkan ruangnya yang mengambang di antara dua ruang yang sekilas berseberangan: ruang lelaki (kuncung) dan ruang putri (tetek), ruang tinggi (dewa) dan ruang rendah (kawula), ruang suka (bibir tersenyum) dan ruang duka (mata rembes). Ruang inilah yang pernah saya sebut sebagai ruang ambang (Ruang Ambang Pewayangan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)     

ShareTweetSendShare

Related Posts

90% Warteg akan Terpukul Tutup di Tahun 2021, UKM Lainnya Bagaimana?

3 hari ago

Kendala Madura tak Segera jadi Provinsi

6 hari ago
Gambar ilustrasi (produksi: Mardigu Wowiek)

Perang Yuk dengan Tiongkok dan Amerika

1 minggu ago

Perdagangan Komoditas Kelautan – Perikanan Teluk Saleh

1 minggu ago
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo saat sidak Gudang Pupuk di Indramayu

Syahrul Yasin Limpo Jabat Menteri Pertanian, Kelangkaan Pupuk tak Selesai

2 minggu ago
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping (Foto: AFP)

Pasti di Take Down Lagi Informasi tentang Tiongkok ini (Baca Cepat)

2 minggu ago
Load More
Next Post

DPD II KNPI Lobar dan Polda NTB Bincang Soal Aquarium Pembangunan Wilayah Indonesia Timur

Discussion about this post

POPULER

  • Baca
  • Opini
  • Berita
Foto : Direktur Nusa Tenggara Development Institute (NDI) Abdul Majid, S.Hi., bersama Ketua Mataram Care Society (MCS), Taufik Hidayat
Berita

NDI dan MCS Pertanyakan Posisi Direktur RSUP NTB yang Lowong

25/01/2021
Opini

90% Warteg akan Terpukul Tutup di Tahun 2021, UKM Lainnya Bagaimana?

22/01/2021
Foto : ketua Dekranasda Provinsi NTB, Hj. Niken Saptarini Widyawati Zulkieflimansyah
Berita

Dekranasda NTB Dukung Kerajinan Tenun Ikat

22/01/2021
Foto : Wakil Gubernur NTB Dr.Hj.Sitti Rohmi Djalillah saat meresmikan Lapak Desa Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur
Berita

Umi Rohmi Dorong Produk Pringgasela Mendunia

22/01/2021
Jurnal Faktual

© 2020

Informasi

  • Pedoman
  • Redaksi
  • Periklanan
  • Privacy Policy
  • Tentang
  • Rilis Berita
  • Saran Translate

Terhubung

No Result
View All Result
  • Opini
  • News
    • Birokrasi
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Wisata
    • Profil
    • Polling
  • Kirim Tulisan
  • Login
  • Sign Up

© 2020

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.