Hasrat yang Terkebiri: Radikalisme di Balik RUU HIP

Heru Harjo Hutomo
8 Min Read
"The Unconcealed," 60x109 cm, Kapur di Atas Papan (Karya: Heru Harjo Hutomo)
"The Unconcealed," 60x109 cm, Kapur di Atas Papan (Karya: Heru Harjo Hutomo)

jfID – Ada yang menarik dari pernyataan kepala BNPT yang baru untuk tak mengaitkan radikalisme dan terorisme dengan agama. Tak usah melacak kembali pengertian radikalisme dan terorisme secara filosofis, sebab jelas tak akan menemukan ujungnya. Yang terpenting, dari berbagai kasus radikalisme dan terorisme di Indonesia, tak semua aksi radikalisme dan terorisme bermotifkan agama. Sekalipun memakai embel-embel agama tetap kebanyakan pelaku teror yang terafiliasi dengan IS (Islamic State) seperti sama sekali tak mengenal agama, persis organisasi IS internasional itu sendiri.

Seusai peristiwa bom Surabaya pada tahun 2018 lalu saya sempat melakukan penelitian singkat tentang teks dan bahasa yang digunakan oleh kalangan yang ditengarai berpaham Islam radikal dan para pelaku teror. Dari berbagai surat yang ditinggalkan oleh para teroris sebelum melakukan aksi bom bunuh diri, saya menemukan beberapa hal yang penting untuk diketahui oleh publik.

Pertama, bahwa para teroris yang umumnya berinduk pada IS tak meletakkan teror sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan tertentu, tapi teror itu sendirilah yang menjadi tujuannya (Petaka Melankolia dan Sekelumit Bom Surabaya, Heru Harjo Hutomo, dlm. Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan, idenera.com, 2019). Dalam kajian motif tentu hal ini merupakan sesuatu yang absurd di mana, dalam kamus kriminologi, kejahatan selalu saja diasumsikan beranjak dari motif tertentu. Logikanya sama seperti saat pilpres 2019 lalu, ada satu varian “jaringan” yang sejatinya tak peduli pada para kandidat presiden dan wakil presiden ataupun, taruhlah, “ideologi” yang mereka bawa. Laiknya bocah yang telah mengalami mimpi basah dan belum memiliki hak politik, jaringan itu identik dengan pragmatisme dan hedonisme belaka. Mereka cukup memanfaatkan keadaan, mencoba bermain dengan sebisa mungkin untuk berada pada posisi kubu yang tengah kuat secara mental. Mereka ikut nimbrung, bahkan mengawali provokasi untuk mencaci kubu lawan dengan memainkan politik rendahan (ad hominem) yang cukup merusak nalar sekaligus ruang publik. Tapi begitu hari yang paling menentukan mereka seperti seorang penjahat kelamin yang setelah menodai sang target lenyap entah ke mana. Dan, seusai sang pemenang diputuskan, mereka akan tampil laiknya pahlawan kesiangan yang tak tahu wirang.

Pragmatisme dan hedonisme inilah sebentuk—seandainya bisa disebut—“ideologi” yang mendasari jaringan radikalisme kontemporer. Taruhlah kasus penusuk mantan pejabat negara setahun lalu yang saya sangsikan kemampuannya mengaji (Bertolak Dari yang Ada, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Jaringan semacam ini sebenarnya hanyalah sekumpulan bedebah yang memakai kemasan agama tertentu ataupun ideologi sekular semacam nasionalisme semu untuk menutupi kebusukannya. Maka tak heran seandainya terdapat pula kalangan non-muslim yang menjadi bagian dari mereka (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Pada wilayah taktis dan strategis jaringan radikalisme dan terorisme kontemporer tampak memilih pendekatan purba: premanisme dengan segala perang wilayahnya (Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterorisme Sejak Dini, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).

Kedua, seandainya mau memeriksa bahasa kalangan radikal, baik oral maupun tertulis, sebenarnya menyingkapkan apa yang saya sebut sebagai communication breakdown seperti halnya disonansi dalam musik, karena ekspresi bahasa mereka sarat kekerasan verbal dan simbolik yang mengacaukan fungsi komuni (communion) bahasa (Menangkap Kata Rupa dan Rupa Kata, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Potensi Radikalisme dalam RUU HIP       

Radikalisme yang tak memakai embel-embel agama sekalipun dapat pula ditemukan pada konsep atau paham yang notabene sekular. Beberapa waktu lalu publik Indonesia diramaikan oleh RUU HIP yang akan memeras Pancasila menjadi Trisila yang bagi sebagian kalangan Islam dianggap berpotensi menyingkirkan peran agama dalam kehidupan politik Indonesia. Saya pribadi menganggap hal ini sebagai semacam ke-utun-an yang menandakan kemunduran cara berpikir dan kehidupan politik.

Tahun 2000-an, bagi orang yang melek keadaan, adalah tahun di mana apa yang disebut sebagai postsekularisme mengemuka dengan ditandai kembalinya agama ke ruang publik yang selama ini dipinggirkan oleh modernitas. Secara simbolis peristiwa 9/11 atau peledakan WTC merupakan titik kulminasi perepresian agama di ruang publik. Tak menjadi soal apakah peristiwa itu baik atau buruk karena merupakan sebentuk aksi terorisme. Tapi secara sosiologis peristiwa itu menandai sebentuk kemuakan pada modernitas yang ternyata menyajikan pula sejumlah persoalan sebagaimana konservatisme abad pertengahan: krisis humanisme, ekologis, dst. Bisa jadi pada tataran etis kembalinya agama ke ruang publik juga mengindikasikan kebutuhan etika pada tataran politik praktis. Kebutuhan ini saya kira juga kentara dalam kehidupan sosial-politik Indonesia kontemporer (Perspektif Moral dalam Politik, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Saya pribadi tak mengaitkan RUU HIP tersebut dengan isu komunisme sebagaimana yang dikhawatirkan oleh sebagian orang Islam. Saya kira yang patut diwaspadai, selain tak adanya urgensi dalam pengesahan RUU itu, adalah potensi berkembang-biaknya apa yang pernah saya sebut sebagai “nasionalisme masturbasif” yang tak juga kalah membahayakan dari radikalisme Islam yang sama-sama mengancam masa depan demokrasi deliberatif Indonesia seperti yang telah disarikan oleh sila ke-4 Pancasila (Corona, Ancaman Radikalisme, dan Masa Depan Demokrasi Deliberatif Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Lebih jauh, dalam konsep Trisila yang terkristalisasi dalam Ekasila (gotong-royong), apa pengertian “budaya” sebagaimana yang kerap dikoarkan oleh kalangan yang mengklaim diri sebagai “nasionalis” seperti yang tercermin dari konsep “ketuhanan yang berkebudayaan”? Bukankah selama ini mereka sama sekali jauh dari “budaya” karena—seandainya pengertian “budaya” di sini dikaitkan dengan warisan masa lalu—identik dengan feodalisme yang selama ini mereka tolak dengan klaim egalitarianisme (Politik Islam Kebangsaan vs. Politik Nasionalisme: Menakar Rivalitas Antara Khofifah dan Risma, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev)? Bukankah klaim “nasional” sendiri tak dapat diukur atau bahkan tak ada dalam kenyataannya sebagaimana “Indonesia” itu sendiri yang merupakan hasil negosiasi (Konstruksi dan Dekonstruksi Identitas, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev)?

Ketika klaim-klaim tersebut tak cocok dengan praktiknya sudah pasti yang akan terjadi adalah sebentuk penyeragaman atau perepresian identitas. Dengan kata lain, kembalinya proyek usang sekularisasi yang terbukti gagal menangani berbagai problem kontemporer. Seandainya radikalisme Islam adalah sebentuk ekspresi kekalahan atas modernitas dengan wujud pengagungannya pada masa silam (masa nabi dan sahabatnya), maka nasionalisme di balik RUU HIP adalah ekspresi kekalahan pula atas postmodernitas dengan wujud pengagungannya pada masa kemerdekaan (Soekarno). Kedua kecenderungan politik tersebut saya kira sama-sama merepresentasikan hasrat yang terkebiri dan berupaya mencari pemenuhannya yang, celakanya, sekedar angan di mana ketika dihentak oleh satu pertanyaan barangkali akan terdiam: “Ketika kamu menikah atau mati, cukupkah Pancasila sebagai dasar persaksian dan pengesahan atas apa yang kamu lakukan?” (Pancasila Sebagai Sebentuk Nalar Publik, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article