Harimaumu Bahasamu

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Communi(cati) on," 35x47 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017.
"Communi(cati) on," 35x47 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017.

jfid – Dalam madzhab filsafat analitis kedudukan bahasa sangatlah pokok. Terkadang, kekacauan dan tragedi dapat terjadi akibat kesimpangsiuran bahasa yang dipakai. Pada kisah pewayangan, saat Adipati Karna hendak menghadapi Arjuna, dan ketika ia cukup tahu bahwa ia hanya kalah ganteng di hadapan para dewa dan bidadari atas adiknya tersebut, ia menyuruh Hadimanggala untuk pulang ke Awangga dan meminta sedah pada isterinya, Surtikhanti. Namun faktor usia tua membuat Patih Hadimanggala terengah-engah dan salah ucap dalam menyampaikan pesan sang adipati.

Sedah , yang merupakan bahasa halus dari daun sirih, di mulut Hadimanggala yang tua menjadi terdengar seda yang berarti meninggal. Tanpa berpikir panjang, Surtikanthi pun akhirnya menghunus patrem atau keris kecilnya dan menghunjamkannya ke perutnya sendiri sebagai sebentuk belapati pada suaminya.

Pada kisah lain, tragedi semacam itu juga dapat dijumpai pada kisah kematian Rsi Drona. Saking saktinya, Drona hanya dapat dibunuh oleh sebuah tipu daya bahasa yang diracik Kresna. Karena tak terkalahkan dalam perang Bharatayudha, Kresna akhirnya menyuruh Bima Sena untuk membunuh gajah yang bernama Hestitama dan kemudian disuruh untuk mengabarkan ke seantero ksetra bahwa Aswatama, putra semata wayang Rsi Drona, telah mati. Mendengar berita itu Drona pun segera merengek dan hilang kesadaran yang akhirnya mengantarkannya pada tertebasnya kepalanya di palagan.

Demikianlah bahasa yang ternyata dapat menyebabkan kekacauan dan tragedi. Pada kedua kasus yang berangkat dari kisah pewayangan di atas, ternyata faktor kegigihan dan kehebatan seseorang dapat dikalahkan oleh pemanfaatan bahasa. Maka, maraknya hoaks yang terjadi beberapa tahun belakangan ini pada dasarnya adalah dalam rangka mengacaukan dan bahkan menghancurkan segala sesuatu yang dianggap “tak terkalahkan,” atau setidaknya ketika hal itu roboh, akan mengubah segala tatanan yang ada. Sesuatu yang dianggap “tak terkalahkan” itu bisa jadi adalah Pancasila dan bahkan agama, sebab fungsi dan peran keduanya di negara ini bersifat penting.

Pancasila tak terpungkiri memang menjadi sasaran utama, siapa pun tahu itu ketika melek atas apa yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Namun agama, bagi sementara orang, dianggap tak pula menjadi target “perusakan.” Bagi para Nahdliyin, sepertinya siapa pun pernah diusik keyakinannya atas praktik-praktik keagamaan yang dilakoninya. Tak semata yang menyangkut praktik kemasyarakatan dan kenegaraannya, target “perusakan” ternyata jauh melampaui itu semua. Praktik-praktik keagamaan yang bersifat privat sekalipun juga menjadi target. Taruhlah perkara tawasulan yang memang khas kaum Nahdliyin. Atau perkara-perkara pendidikan anak, perintah-perintah untuk membelak hak, keyakinan-keyakinan yang bersifat sufistik yang semuanya sebenarnya tercantum dalam al-Qur’an.

Saya kira, kita patut sadar bahwa kita tengah menghadapi orang-orang yang lihat dalam memanfaatkan bahasa. Setidaknya, hoaks-hoaks dan permainan-permainan bahasa yang mengancam hal-hal yang mendasar semacam ini bersumber dari kalangan nihilis yang hidup dan matinya memang tak untuk apapun (Ingusan, Merendahkan dengan Cercaan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article