Diplomasi Mineral Kelas Dunia

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read
Gambar Ilustrasi: Mardigu Wowiek
Gambar Ilustrasi: Mardigu Wowiek

jfID – Masih ingat komentar beberapa pengamat ekonomi internasional yang menyatakan keheranannya tentang strategi Amerika “ngerjain” Indonesia selama lebih dari 40 tahun. Lalu, sekarang Tiongkok mengerjain dengan cara yang sama, namun tetap Indonesianya ngak belajar banyak, kenapa ya?

Kita tahu di tambang grassberg freeport itu menghasilkan copper atau tembaga, dan produk tambang tersebut yang berupa concentrate di kirim ke pabrik di luar Indonesia. Bukan hanya menghasilkan tembaga murni outputnya, tetapi juga gold, platinum dan banyak unsur mineral tanah jarang lainnya.

Sekedar mengingatkan, freeport adalah kontraktor pertambangan yang hanya menghasilkan copper concentrate.

Apa itu concentrate? Hasil tambang tidak murni tembaga tetapi masih ada unsur mineral lainnya ikut. Apa itu mineral lainnya?

Masih ada emas, platinum bahkan uranium (bagian dari mineral tanah jarang- rare earth)

Apa yang Indonesia dapat? Indonesia dapat, hanya pajak dari transaksi COPPER.

Lalu entah mengapa Indonesia minat masuk ke pemilihan tambang copper tadi? Ini banyak membingungkan pengamat ekonomi. Karena tambangnya copper, ya hasilnya copper. Tembaga.

Freeport bukan tambang emas, kalau tambang emas, mana emasnya? Atau gold concetrate, atau ingot atau dore, bahkan bulion! Ngak tuh. Hasilnya copper concentrate. Slim dari anoda copper.

Produk concentrate tadi di bawa ke smelter di Jepang dan smelter milik group Rio Tinto. Di sinilah pemilik smelter yang untungnya terbesar karena mereka melakukan refining, atau pemurnian yang memisahkan copper, asam sulfat, emas, platinum, dan unsur tanah jarang lainnya.

Mulai faham apa yang di maksud di awal tulisan ini tentang kebingungan pengamat ekonomi akan cara bernegara Indonesia yang aset natural nya tidak membuat keuantungan maksimum buat negaranya karena kalah diplomasi dalam negosiasi di tambang, salah satunya tembaga di Papua ini.

Lalu, terjadi lagi baru-baru ini. Yaitu, di dunia nikel. Tambang nikel di Indonesia hanya menghasilkan batuan nikel, pabrik smelter nikel nya yang di bangun bukan pemurnian hanya smleter pembuang impuritis. Tidak menghasilkan nikel 99,9% namun, hanya menghasilkan produk yang TIDAK LEBIH 25% saja kadar nikelnya bahkan 40% nikel ngak mau, (baca : ngak boleh).

Persis seperti copper concentrate nya freeport, smelter nikel 25% tadi hanya membuang impurity pengotor saja dimana kalau 99,9% nikel, kebuang semua unsur yang mahal dari nikel tersebut yang menjadi target utama.

Bahkan di 40% kadar nikelnya, kebuang itu mineral yang mereka incer.

Kalau di 25% kadar nikel, ferro nya masih ada lithiumnya masih ada. Ini di “crack” dulu nanti di Tiongkok, baru di proses pemurnian semuanya, dapatlah ferro, nikel, lithium dan beberapa unsur lainnya yang mereka butuhkan.

Indonesia? Ya hanya dapat pajak transaksi nikel!

Sama ya seperti freeport dengan coppernya, nikel juga sama, di buang pengotornya, impuritiesnya lalu yang penting penting di smelting dan di purifikasi (metal refining) di tempat lain. Wis paham? Jadi kedepan bagaimana harusnya? Sebentar kita lanjut dulu ndongengnya.

Kemudian yang paling terbaru adalah tin atau timah. Ini menjadi mainan baru karena apa mineral ikutan dari TIN?

Ya benar ada THORIUM. Mantap sekali. Thorium adalah mineral tanah jarang – rare earth yang saat ini di incar oleh negara yang mau jadi super power atau sudah jadi super power sebagai pengganti uranium untuk PLTN tenaga thorium.

Ada 4 negara yang saat ini agresive urusan thorium yaitu Israel, Amerika, Rusia, dan Tiongkok.

Jadi nanti apa yang di tambang , yak betul sekali timahnya atau TIN nya dengan kadar di bawah 40% karena di pastikan thorium, osmium- mineral yang bagus buat membuat laras senjata mineralnya. Semua mineral ikutan itu di pastikan TIDAK DI BAYAR dan di pastikan MASIH NGIKUT dalam jumlah besar dalam TIN tadi.

Pastikan germainumnya, pastikan lead-nya semua juga masih ikut dalam TIN tadi atau dalam bahasa kimianya Sn stannnum. Jadi smelter yang di bangun pastikan bukan pemurnian refining Tin tetapi hanya membuang imputities agar kerja di tempat pabrik pembelinya nanti unsur pengotor, limbah B3 nya masih di Indonesia.

Pastikan pajak ekspornya murah dan pastikan buat peraturan tambang rakyat harus punya smelter atau rakyat atau pemilik tambah timah harus menjual ke smelter yang biasanya sudah di miliki asing yang mau mengambil thorium, osmium, germanium dan lain sebagainya.

Bagi saya, mudah mudahan saya salah lagi dalam menganalisa ekonomi seperti ratusan analisa saya yang salah dan tidak ada benernya ini. mohon maaf sekali lagi atas analisa abal-abal. Yang niatnya dalam mengingatkan ke masyarakat adalah ingin semua refining, cracking, purifikasinya ada di Indonesia.

Tambangnya di Indonesia ya harusnya SMELTER nya SUMURUPING GENI nya sampai refiningnya harus di buat di Indonesia, cintailah harta kekayaan alam Indonesia ini. Jangan sampahnya di Indonesia, di bayar sedikit, yang untung negara lain.

Karena akan indah kalau seperti halnya kelolaan chock point selat Malaka kita mainkan dalam diplomasi logam tanah jarang ini. Wui, Indonesia mengendalikan 2 negara super power yang bertikai Tiongkok dan Amerika. Kereen. Bukan jadi mengikuti maunya mereka, tetapi posture atas di mainkan, minimum sejajar, Punya khan strateginya?

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article