Desekrasi

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
Ilustrasi Gitaris (pixabay)
Ilustrasi Gitaris (pixabay)

Never in the wrong time or wrong place

Desecration is the smile on my face

The love I made is the shape of my space

My face, my face

Desecration Smile, RHCP

jfid – Frusciante, barangkali, adalah sedikit dari gitaris yang tak percaya bahwa musik yang bagus adalah musik yang kompleks secara musikal—tentu saja tanpa mengurangi kualitasnya. Ada satu anggapan dalam dunia apapun bahwa kualitas tak pernah ditentukan oleh tetek-bengek yang bersifat teknis. Terkadang orang akan kewirangan dengan sikap songong-nya ketika melihat seseorang yang terkesan apa adanya padahal ia sudah melampaui segala hal yang bersifat teknis.

Taruhlah almarhum Harry Roesli yang pernah membuat lagu dengan hanya memakai gitar bolong bersenar satu jauh sebelum Brushy One String popular dengan salah satu single-nya: Chicken In The Corn. Padahal, Harry Roesli adalah seorang guru besar psikologi musik jebolan universitas Belanda. Dapat kita bayangkan bagaimana sendainya seniman musik yang kerap bercelana pendek itu masih hidup di hari ini, tentu berkali-kali ia akan dikuliahi kembali tentang musik.

Sebagaimana sang dewa gitar, Jimi Hendrix, John Frusciante, gitaris yang keluar-masuk grup band RHCP tersebut, terkesan begitu sederhana dan minimalis dalam bermain gitar. Terkadang ia cukup menggunakan dua atau tiga senar untuk mengiringi Anthony Kiedis bernyanyi. Sebagaimana lagu Scar Tissue dimana bagian intro dan baitnya cukup memetik dua senar yang ketika didengarkan seperti rhythm sekaligus melodi yang berjalan bersamaan. Padahal, Frusciante hanya memakai dua senar sekaligus dua nada berbeda dengan oktav yang berbeda pula. Ketika didengarkan secara tersendiri pun permainan Frusciante akan terdengar enak di kuping, seolah permainan tunggal antara rhythm dan melodi sekaligus.

Tentu, teknik permainan gitar Frusciante tak kompleks hingga siapa pun seolah dapat memainkannya sepersis gitaris yang tak memiliki gitar signature laiknya gitaris-gitaris besar lainnya itu. Tapi, yang membuat ia hebat adalah penemuan permainan gitar yang seolah begitu khas dirinya.

Entah kenapa, Frusciante laiknya Derrida dalam dunia filsafat dan kajian budaya yang hanya menulis esai dan tak secara khusus membuat buku laiknya para pemikir lainnya. Dekonstruksi yang ia racik sendiri pun tak secara khusus terumuskan dalam satu buku tersendiri sebagaimana Heidegger dalam Being and Time yang secara panjang lebar berupaya menjelaskan pendekatan filsafatnya terlebih dahulu. Tapi begitu membaca teks-teks Derrida orang seperti hanyut dalam kerumitan berbagai buku tebal yang serius ketika digamblangkan semuanya akan dapat membuat pening kepala dan lambaian tangan.

Apa yang kira-kira akan dilakukan orang sekaliber Frusciante ataupun Derrida ketika ada orang-orang yang secara songong memandangnya rendah atau bahkan berupaya menolaknya dengan alasan kualitas, peraguan akan sisi teknis, dan keseriusan dalam berkarya—seperti kisah Derrida yang pernah ditolak berbagai filosof besar Universitas Cambridge atas rencana pemberian Dr. H.C. padanya?

Senyum desekrasi, barangkali itulah yang akan mereka lakukan. Desekrasi adalah sebuah ekspresi yang tak menghormati apapun yang dianggap terhormat dan agung. Ibarat kita dimana setiap menit selalu dijejali dengan peringatan supaya menghormati seseorang yang sebenarnya adalah saudara atau bahkan kawan akrab kita. Sementara, orang-orang songong yang berani malu itu, celakanya, justru secara personal sama sekali tak mengenali orang-orang yang diagungkannya tersebut.

Kita masih ingat sosok Mbah Liem atau KH. Muslim Rifa’I Imam Puro yang terkenal nyleneh itu. Banyak orang yang tak mengenalnya konon kewirangan ketika melihat sosok yang suka berpakaian apa adanya dan bertingkah laiknya manusia kebanyakan itu sangat dihormati oleh seorang Adurrahman Wahid yang pasti tergopoh-gopoh untuk segera menghampirinya begitu merasakan kehadirannya. Terkadang, penampilan yang bersifat teknis memang kerap menipu, sebagaimana permainan gitar Frusciante dalam lagu Snow dimana bagian intro dan baitnya cukup menggunakan tiga senar tapi tak banyak orang yang dapat menirukannya. Sebab, kecepatan petikannya adalah 104 BPM dengan lebih dari 8 nada yang dihasilkan.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article