Demokrasi “Mati Suri” Terkebiri Oligarki Kekuasaan

Herry Santoso
4 Min Read

jfID – BUMBUNG KOSONG ditengarai cenderung merebak di berbagai daerah dalam kontestasi Pilkada Serentak 2020, seperti di Kota Surakarta, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Kediri, Kota Tangerang Selatan, Kota Medan, dan lain-lain. Hal tersebut merupakan fenomena politik yang tidak lazim lantaran pilkada praktis terkooptasi oligarky kekuasaan dari pusat yang berbau “aji mumpung”. Sungguh, hal tersebut amat disesalkan oleh masyarakat bawah sebagai pemegang “kartu kekuasaan”  (power card holder) lantaran pusat telah mengalami “kebudegan politik” (political deafness) yaitu kondisi yang cenderung tidak mendengarkan hati nurani rakyat yang pada gilirannya rakyat tidak mempunyai hak politik di tanah kelahirannya sendiri, dan fenomena tersebut merupakan awal daripada petaka demokratisasi “mati suri”.

Menabur Benih Politik demi 2024

        Tidak dapat dipungkiri pada pemerintahan Jokowi Jilid-2 ini seolah PDIP mulai menabur benih  politik untuk Pilpres 2024. Sebab sudah menjadi rahasia umum kesuksesan PDIP di Pilkada Serentak 2020 adalah merupakan starting point kesuksesan di Pilpres 2024 nanti yang tentunya medan yang akan dihadapi lebih terjal daripada pilpres-pilpres sebelumnya karena tidak semua parpol yang senapas dengan PDIP (baca : nasionalis) akan padu dalam satu koalisi kelak. Partai Demokrat misalnya, tetap dibayangi oleh atmosfer “sakit hati”, juga di Golkar friksi-friksi di intern belum tuntas, Nasdem yang pasang-surut, PKB yang cenderung menunggu isyarat dari langit (Langitan, Red) dan lain-lain bisa menjadi kerikil tajam koalisi kelak. Untuk itu pilkada sungguh merupakan “kunci pas” yang harus dimenangkannya !

        Sayangnya memenangi pilkada memang tidak semudah membalik telapak tangan. Belakangan rakyat sebagai penentu di lapangan sudah mencium gelagat oligarky kekuasaan. Rakyat agaknya tidak butuh pemimpin yang populis akan tetapi butuh sosok pemimpin “berpengalaman” yang memahami denyut nadi dan napas kehidupan di daerahnya. Dari sini adalah benar jika Pilkada 2020 sebagai “batu uji” kecerdikan rakyat dalam berhadapan dengan arogansi kekuasaan.

Bumbung Kosong

      Fenomena bumbung kosong agaknya mulai merebak di berbagai tempat pilkada. Hal tersebut merupakan refleksi dari rakyat bawah yang ingin menggeliat dari model “karbitisasi” calon pemimpin yaitu calon pemimpin drop-dropan yang sengaja dipaksakan oleh pusat untuk memimpin daerah. 

       Paling tidak ada lima hal yang menjadi indikator gagalnya seorang calon seorang pemimpin di kontestasi politik.

      Pertama, pusat selalu merasa yang Paling berhak menentukan nasib rakyat. Kedua, pusat merasa yang paling laik melahirkan pemimpin baru di suatu daerah. Ketiga, pemimpin yang tidak dikenal oleh rakyat sebagai pemegang kartu kekuasaan. Keempat, institusi politik pusat yang selalu mengatur jaringan institusi politik di bawahnya (daerah), dan kelima,  politik uang (money politic). 

      Nah, dengan demikian fenomena bumbung kosong sungguh sebagai bentuk kemunduran demokrasi, atau demokrasi mati duri lantaran terkooptasi oleh arogansi kekuasaan. Bagaimana? ***

Penulis adalah seorang jurnalis, pemerhati sosial, politik, dan budaya , tinggal di Blitar, Jawa Timur

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article