Dekonstruksi Paman Dhoplang

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Pagelaran," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Pagelaran," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Sejak kecil, karena tumbuh di ruang antara kultur nahdliyin dan kultur kejawen, saya sama sekali percaya pada eksistensi para wali. Seandainya dalam kultur nahdliyin itu seorang yang dikategorikan sebagai wali, gampangnya, adalah yang memiliki seabrek keanehan dan kelebihan, meskipun al-Hikam mewanti-wanti bukanlah hal itu yang menjadi ukuran kedekatan seseorang dengan Tuhan, tapi sifat khariqul ‘adah itu tetap saja menjadi pertimbangan sebagian besar orang nahdliyin—minimal seandainya mereka tak dapat berjalan di atas dedaunan, melipat ruang dan waktu, kemampuan menerawang masa depan, doa mereka mustajab—untuk menilai seseorang sebagai wali atau bukan.

Namun sangat menarik ketika eksistensi para wali itu diterawang lewat perspektif para penganut kejawen atau kapitayan. Persis catatan al-Hikam, seorang wali itu ternyata tak tergantung pada seandainya ia ingin pergi ke Jogja atau Mekkah sekalipun cukup dengan laiknya bermimpi dimana waktu sehari pun adalah berjalan selama 2 menit pada ukuran waktu obyektif. Melainkan, ia adalah seorang yang sudah mampu melepaskan segala ikatan, “uwal ing pepali.” Demikianlah penjelasan Paman Dhoplang tempo hari ketika aku kembali untuk singgah dan mencoba memecahkan kebisuannya.

Pada dasarnya, tilikan Paman Dhoplang yang karib dengan kapitayan itu tak terlalu jauh dengan tilikan al-Hikam dimana konon istiqamah adalah melebihi 1000 karamah yang menunjukkan bahwa bukanlah sifat-sifat khariqul ‘adah yang menjadi ukuran seseorang itu wali atau bukan. Sebab, konon, jin pun dapat menerka isi hati manusia atau menerawang suatu tempat yang jauh secara detail—meskipun kata Paman Dhoplang ketika meramalkan pilpres atau sekedar meramalkan angka togel yang keluar terbukti meleset, yang artinya sebenarnya jin pun juga memiliki keterbatasan .

Konon, saat pilpres—tanpa perlu menyebutkan yang mananya—terjadilah sebuah pertarungan dan perjanjian antara wali Jawa dan wali Arab dalam urusan merekayasa takdir (bukankah dalam al-Hikam wali itu adalah seorang yang exorbitant dalam pengertian Derrida, yang dapat keluar dari orbit?). Pihak yang menjadi pemenang mestilah menghormati hak-hak sang tuan rumah yang selama ini diinjak-injak adalah salah satu perjanjiannya.

“Wali-wali Jawa itu adalah setabah-tabahnya wali,” kata Paman Dhoplang sembari menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok kelobot-nya.

“Tengoklah Eyang Ismaya dan Syekh Subakir atau Sabdopalon dan Brawijaya V, perjanjian-perjanjian antara orang yang tak diundang dan sang tuan rumah selalu terjadi, dilanggar, diperbarui, dan dilanggar lagi.”

Apakah berpolitik, yang tentu saja dalam arti pragmatisnya mesti membuka ruang untuk segala tipu daya, tak lazim atau bahkan tak diperkenankan di dunia para wali, batinku ketika mencerna kata-kata Paman Dhoplang yang sepertinya mahal untuk berbicara terang-terangan.

Pada kisah pewayangan sebenarnya para wali itu juga berpolitik, sejauh wali itu sepadan dengan Kresna yang merupakan awatara, titisan dewa Wisnu. Dan Kresna pun ternyata, karena keterlibatannya dalam politik, mesti juga memetik karmanya: mati ngenas tanpa satu pun kawan dalam upayanya menebus dosa.Kresna juga adalah awatara atau manusia setengah dewa yang mata batinnya adakalanya buram dalam memandang persoalan. Penyingkiran Boma Narakasura, dari sudut-pandang kepatutan, adalah bukti bahwa awatara dapat pula berlaku laiknya manusia. Maka, aku kira, benarlah kisah Paman Dhoplang bahwa wali-wali yang yang kalah dalam pilpres dahulu mesti dapat menata pengikutnya untuk mematuhi segala kepatutan dan perjanjian itu. Sebab, bagi Derrida, pada akhirnya dekonstruksi sebagai sebuah “exorbitant method”—atau dalam konteks para wali dikenal sebagai khariqul ‘adah—tak selamanya mesti mengundang optimisme buta pada segala apa yang “akan datang” (to come).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article